Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah air.
Diskusi pro-kontra mengenai hukum musik dalam Islam memang tidak ada habisnya. Setiap kalangan memiliki pemahaman sendiri terhadap teks-teks Qur’an maupun Hadits yang berkaitan dengan hukum musik. Terkhusus pembahasan fiqh musik dari perspektif studi hadits, dimana terdapat beberapa hadits yang secara jelas mencela musik beserta alatnya, hingga disandingkan dengan judi dan khamr.
Hal tersebut menjadi pemantik utama akan polemik hukum musik dalam Islam yang berkepanjangan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kebutuhan manusia akan keindahan estetika seni merupakan hal fundamental yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan.
Apalagi di era sekarang, dunia musik telah menjelma menjadi ladang ekonomi yang merangkul berbagai macam elemen masyarakat.
Melalui dalam tulisan kali ini, penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran dari salah satu ulama reformis Azhar, Yusuf al-Qaradawi. Beliau mengkiritik dan membaca ulang teks-teks hadits yang membahas keharaman musik dalam hukum fiqh, sehingga syariat Islam dapat dipandang dengan kacamata progresif.
Hadist Ma’azif dan Tanggapan Yusuf al-Qaradawy
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya: Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’
Yusuf al-Qaradawi menjelaskan bahwa mereka yang mengharamkan musik menjadikan hadits ini sebagai dalil mereka, karena hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam sahihnya.
Mereka berpendapat bahwa setiap hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, telah teruji keabsahannya. Sebagaimana pendapat Imam Ibnu taimiyah dalam kitabnya al-Istiqomah: “Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari adalah shahih.
Berbeda dari pendapat di atas, Yusuf al-Qaradawi memiliki pandangan tersendiri. Meskipun sepakat bahwa mayoritas hadits dalam Sahih Bukhari telah teruji kesahihannya, namun baginya, ada beberapa hadits didalamnya merupakan hadits dha’if. Salah satunya yaitu hadits mengenai ma’azif (alat musik seperti gitar, rebana dll).
***
Yusuf al-Qaradawy menukil pendapat Ibn Hazm, yang memandang lemah hadits ini. Dimana hadist ma’azif telah terputus sanadnya antara Imam Bukhari dan perawi yang bernama Hisyam Ibn Amr, menjadikan hadits ma’azif masuk dalam kategori Mu’allaq, (dha’if secara sanad).
Ibn Hazm juga juga menyatakan bahwa terdapat rawi majhul yang tidak diketahui identitasnya, yang terletak di tingkatan sahabat, yang bernama Abu Amr atau Abu Malik.
Memang, para ulama hadits berbeda pendapat mengenai status Hisyam Ibn Amr dan Abu malik sebagai salah satu perawi. Sebagian ulama seperti Ibn Hibban dan Ath-Thabrani menyatakan bahwa Hisyam bin Amr adalah guru Imam Bukhari, sehingga sanad hadits ini tersambung.
Sebagaimana dipaparkan secara gamblang oleh Ibn Hajar dalam kitabnya Hadyu Saari’. Namun, beberapa ulama lain dan salah satunya Ibn Hazm mengkritik status Hisyam Ibn Amr sebagai perawi yang pernah bertemu dengan Imam Bukhari.
Sehingga masalah pengharaman musik menurut Yusuf al-Qaradawi merupakan masalah khilafiyah yang tidak sepatutnya seorang mukmin yang mengharamkan musik dengan landasan hadits ini, menyesatkan saudaranya yang berbeda pandangan dengannya.
Hadist Ghubaira’ dan Tanggapan Yusuf Qardlawy
Hadits lain yang menjadi landasan kalangan yang mengharamkan musik beserta alatnya secara mutlak adalah:
روى الإمام أحمد وغيره بإسناد صحيح إلى ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله ﷺ قال: (إن الله حرّم عليكم الخمر والميسر والكوبة والغبيراء, وكلّ مسكر حرام).
Artinya: “Sesungguhnya Allah swt. Mengharamkan Khamr, Judi, alat musik perkusi, dan alat musik petik. Dan setiap yang memabukan adalah haram”.
Dalam hadits ini, secara literal Allah Swt mengharamkan alat musik dan menyandingkannya dengan judi dan khamr, sehingga kalangan yang mengharamkan musik, memasukkan musik ke dalam daftar dosa besar.
Yusuf al-Qaradawi menanggapi hadits ghubaira’ ini dengan mengkritik kabsahan hadits dan letak pendalilannya. Adapun dari segi keabsahan, beliau menukil pendapat Imam Syaukani dalam kitab Nailul Author yang menyatakan bahwa dalam hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Al-Walid ibn Abduh yang meriwayatkan dari Ibnu Umar yang ditetapkan sebagai perawi yang majhul (tidak diketahui identitasnya).
Dalam ilmu mustholah hadits, ketika rawi tidak dapat diketahui identitasnya, akan mustahil untuk diteliti dan dihukumi apakah perawi tersebut tsiqah atau tidak. Sehingga jatuhlah derajat hadist tersebut menjadi dha’if.
Dalam ilmu mustholah juga dibahas, bahwa salah satu syarat mengamalkan hadist dha’if adalah dengan tidak berhubungannya hadist tersebut terkait masalah halal-haram dalam syariat.
***
Yusuf al-Qaradawi juga mengkritik hadist tersebut dari segi pendalilannya. Beliau berpendapat bahwa al kubah juga mengandung ma’na lain dalam bahasa arab. Sebagaimana Ibnu Arabi mengartikan al kubah sebagai permainan dadu, yang identik dengan judi, sehingga Rasulullah Saw menyandingkan keduanya.
Sebagian ulama juga menafsirkan lafazh al-ghubaira sebagai khamr yang terbuat dari gandum dan jagung. Maka penafsiran al kubah sebagai permainan dadu dan ghubaira sebagai khamr dari jagung lebih tepat. Sehingga keduanya disandingkan dengan khamr dan judi yang memiliki keterikatan yang kuat.
Sehingga di akhir sabdanya, Rasulullah Saw menutup dengan pernyataan, “setiap yang memabukkan adalah haram”. Adapun bila lafzh ghubaira masih diartikan dengan alat musik perkusi, dan al kubah dengan alat musik petik, sejatinya tidak tepat apabila digunakan untuk mengharamkan musik secara mutlak.
Sebab Rasulullah menyandingkannya dengan khamr dan judi, maka cukup tepat untuk dipahami apabila alat musik yang haram adalah ketika digunakan untuk memeriahkan pesta perjudian dan mabuk-mabukan.
Kesimpulan
Polemik hukum musik dalam lingkup fikih merupakan perkara rumit. Para ulama sudah berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits ketika menetapkan kesahihannya. Maka dari itu, seyogyanya kita sebagai umat muslim untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam perdebatan panjang yang berujung pada saling caci maki dalam masalah khilafiyah ini.
Cukup bagi kita untuk saling menghormati dan bertoleransi, sehingga umat tidak terpecah belah karena masalah yang seharusnya tak perlu diperdebatkan secara membabi buta.
Sebelum menutup tulisan, perlu digarisbawahi bahwa Yusuf al-Qaradawi juga tidak menghalalkan musik secara mutlak, sebab hukum Islam bergantung pada tujuannya (al-umuur bi maqaashidiha) dan terletak pada esensinya (al’ibrah bil musammayat laa bil asmaa’ wal anaawin).
Sebagaimana Quraish Shihab yang menganalogikan alat musik seperti pisau. Dimana hukumnya melekat pada esensi pisau tersebut saat digunakan.
Maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya musik itu diperbolehkan secara kondisional dan diharamkan secara kondisional. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Editor: Soleh