Islam sebagai agama yang universal, mengatur berbagai macam hukuman, salah satunya adalah kasus pidana. Dalam terminologi fikih, hukum pidana disebut juga sebagai Fiqh Jinayah.
Salah satu kasus hukum pidana dalam Islam adalah pencurian (sariqah). Islam sebagai agama hukum, memiliki sanksi dalam menghadapi kasus pencurian. Hukuman bagi kasus pencurian (sariqah) adalah potong tangan. Allah Swt. berfirman:
Adapun seorang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagi siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah 5: 38)
Ayat ini lazim diketahui maknanya oleh orang awam secara literal. Bahkan, tidak jarang orang mengaggap hukuman ini tidak manusiawi dan terkesan sangat sadis. Dalam proses penegakan hukuman ini, kasus pencurian (sariqah) dalam Islam memiliki syarat yang ketat. Bahkan seseorang dapat dikatakan sebagai terdakwa apabila memenuhi kriteria khusus.
Dalam pandangan Quraish Shihab, tidak semua pencuri itu otomatis tangannya harus dipotong, melainkan harus dilihat berapa nilai barang yang dicurinya serta di mana barang itu dicuri.
Definisi mencuri menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah adalah.
Mengambil secara sembunyi-sembunyi barang berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang wajar, dan si pencuri tidak diizinkan untuk memasuki tempat itu”.
Kapan Hukum Potong Tangan Berlaku?
Beliau menjelaskan bahwa hukuman dapat dijatuhkan apabila kasus pencurian ini adalah barang yang berharga. Mayoritas ulama berpendapat bahwa nisabnya adalah seperempat dinar, sehingga tidak dapat dilakukan hukuman potong tangan jika tidak sampai seperempat dinar.
Beliau mengutip pendapat Imam Sya’rawi, seperempat dinar atau tiga dirham setara dengan 60 dollar Amerika. Selain itu juga, dalam Al-Qur’an menggunakan kata sariq (sang pencuri) yang memberikan kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang mencuri. Berbeda seandainya ayat ini menggunakan kata yasriq (yang mencuri).
Dari makna yang demikian, dapat kita pahami bahwa tidak serta merta seorang yang pertama kali mencuri langsung dihukum potong tangannya. Syarat-syarat demikian menurut beliau sangat langka, bahkan beliau mengutip pendapat Muhammad Quthub bahwa, “Sepanjang empat ratus tahun sejak datangnya Islam, hanya enam kali sanksi potong tangan diterapkan”.
Mencegah Tindak Pencurian
Islam selain melarang pencurian, juga melarang pemilik harta untuk membuka peluang bagi pencuri untuk melakukan kejahatan.
Quraish Shihab mengutip hadis Nabi, “Hindarilah menjatuhkan hukuman bila ada dalih untuk menghindarinya”. Lebih lanjut beliau menceritakan bahwa Sayyidina Umar ibn Khattab pernah tidak menjatuhkan hukum potong tangan atas kasus pencurian sebab masa tersebut sedang mengalami masa krisis atau panceklik.
Bahkan, beliau tidak menjatuhkan hukum potong tangan atas kasus pencurian kepada sekelompok karyawan yang mencuri unta dari majikannya. Dikarenakan majikannya tidak memberikan upah yang wajar.
Walaupun demikian, bukan berarti para pelaku itu terbebas dari hukuman sama sekali, mereka hanya terbebas dari sanksi berupa hukuman potong tangan.
Sanksi hukuman yang diberikan sebagai gantinya adalah ta’zir (kebijakan hakim sendiri), yaitu hukuman yang lebih ringan dari hukuman yang telah ditetapkan apabila ada dalih lain yang melatarbelakangi kasus pencurian tersebut.
Maka dapat dipahami bahwa kasus pencurian ini memiliki syarat yang ketat dan alasan yang jelas, sehingga hukum tersebut dapat ditegakkan. Di satu sisi juga, ada yang memahami bahwa sanksi hukuman potong tangan ini adalah batas maksimal, yaitu hukum yang tertinggi, sehingga hakim dapat mengambil ta’zir (kebijakan) berdasarkan illat (sebab) yang berlaku.
Tafsir Majazi dari Potong Tangan
Alternatif tafsir lain, menurut beliau sebagian ulama menjelaskan bahwa perintah “potonglah kedua tangannya” merupakan makna majazi, yaitu lumpuhkan kemampuannya.
Pelumpuhan yang dipahami para ulama yaitu penjarakan pelaku. Tangan dimaknai sebagai kekuasaan, maka cara meminimalisir kekuasaan atau potensi para pelaku pencurian adalah dengan dipenjarakan. Upaya memenjarakan juga sama maknanya dengan memotong potensi seseorang untuk melakukan pencurian.
Dalam memahami ayat ini, selain kita melihat redaksi “potonglah kedua tangannya”, kita juga perlu memperhatikan ayat selanjutnya yaitu “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.
Allah Maha Pengampun
Sifat Allah yang Maha Pengampun (Al-Ghaffar) mengisyaratkan adanya keringanan dan peluang untuk bertaubat. Menurut Imam Al-Ghazali, Sifat Al-Ghaffar yaitu menampakkan keindahan dan menutupi keburukan.
Seseorang dapat dibuka aibnya oleh Allah tatkala melakukan kesalahan yang berulang-ulang, karena dalam diri manusia tersebut tidak ada niat untuk memperbaiki dirinya lebih baik lagi.
Sedangkan untuk kesalahan yang aib tutupi hingga manusia tidak mengetahuinya, Allah membuka peluang untuk bertaubat. Jikalau Allah Maha Pengampun, manusia pun harus memiliki sifat pengampun dalam memandang dosa manusia yang lainnya, tentunya berdasarkan illat (sebab) yang berlaku.
Editor: Yahya FR