Review

Hussein Nasr: antara Tuhan, Manusia, dan Alam

3 Mins read

Kita berada pada millenium modern beserta hiruk pikuk yang membersamai perjalananya. Lepas renaissance menegaskan kehadirannya, rasionalisme telah menjadi tumpuan manusia untuk mengarungi berabad-abad zaman hingga kehidupan kita dewasa ini. Dentuman itu sesungguhnya tiba dari Barat. Lepas daulat Tuhan direnggut oleh para pemikir rasionalis, kini daulat Tuhan dipegang oleh manusia. Tetapi bukan tanpa bahaya, kedaulatan manusia atas bumi tak seindah harapan manusia atas apa yang mereka sebut sebagai kesejahteraan.

Justru berkebalikan yang terjadi kini ialah segala hal di luar manusia telah didominasi oleh manusia itu sendiri. Persoalan menyeruak kala segala hal di luar manusia itu diekploitasi, dikuras, dihabisi oleh kerakusan manusia atas nama kemanusiaan.

Seyyed Hossein Nasr tiba dalam masalah yang pelik itu, tepat pada ketegangan antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas serta moral. Ia memandang bahwa manusia tengah mengalami ‘kegersangan hidup’ justru saat ia merasa bahwa kita mengalami kemajuan. Dalam buku-bukunya, Nasr banyak mengkritik persoalan manusia. Pada kesempatan ini, kita mengulas satu buku di antaranya: Antara Tuhan, Manusia dan Alam.

Permasalahan yang Didera Alam

Mula-mula Nasr melancarkan kritik pada modernitas. Menurutnya, di masa sekarang orang tengah hidup di dunia barat yang urban. Mereka secara intuitif merasakan sesuatu yang kurang dalam dirinya. Hal ini justru karena manusia telah meninggalkan lingkungan mereka sejauh mungkin. Alam telah didesakralisasi, padahal seharusnya alam ditempatkan sebagai teman yang dinikahi, berbahagia atas atasnya tetapi bertanggung jawab pula. Berkebalikan dengan itu, pada masa modern alam telah dilacurkan oleh manusia, dinikmati tanpa tanggung jawab.

Menurut Nasr, dominasi terhadap alam telah menyebabkan terkurasnya ruang bernafas, kepadatan, kemacetan kota, pengrusakan sumber daya alam, hancurnya keindahan alam dan beribu-ribu masalah yang lain. Dalam kondisi yang demikian runyam, para filsuf, dan teolog memilih untuk tidak berbicara, sangat jarang muncul suatu argument. Dominasi terhadap alam telah merampas peran manusia sebagai penjaga dan pemelihara alam.

Baca Juga  Holy Adib: Kritik atas Penggunaan Bahasa

Nasr memandang bahwa orang-orang sebetulnya menyadari banyaknya kerusakan alam dan lingkungan, namun tidak banyak yang menyadari bahwa kerusakan tersebut bermula dari runtuhnya harmoni antara manusia alam dan Tuhan. Lanjut Nasr, problem tersebut bermula dari Barat kala mengabaikan metafisika dan atau mereduksinya menjadi rasionalistik. Filsafat pada perjalanannya lalu ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan belaka.

Dalam soal itu, Nasr berpendapat bahwa hanya Scientia Sacra yang mampu memandang pengetahuan yang bukan sekadar fakta buram belaka. Lebih lanjut, menurutnya hanya dengan menghubungkan kembali agama dan sains, maka diharapkan sains dapat berjalan dengan bijaksana (tidak merusak).

Sebab Intelektual dan Sejarah

Seyyed Hossein Nasr mengulas ihwal musabab dari segala problematika kita dewasa ini. Menurutnya, akar sejarah dan intelektual yang menyeret kita pada zaman ini adalah semenjak filsafat Aristoteles berkembang. Kemudian hal inilah yang menandai berakhirnya filsafat yang sudah lama berkembang di dunia timur. Abad pertengahan diakhiri dengan pandangan alam yang simbolik dan kontemplatif sebagaian besar kemudian digantikan dengan pandangan yang rasionalistik. Akibatnya, kosmologi perlahan menjadi rumit untuk dipahami.

Pada abad-17, langkah terakhir dari sekularisasi kosmos oleh para filsuf dan saintis renaissance. Pada waktu itu elemen filsafat sedikit banyak masih hidup. Tiba abad-18, persoalan terletak pada manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia yang dipandang sebagai makhluk hidup tanpa tujuan selain menguasai bumi (antroposentris). Kemudian pada abad-19 visi mengenai realitas menjadi sepenuhnya dilupakan dalam alam semesta, metafisika lalu kehilangan status objektif dan ontologisnya.

Korelasi Metafisika dan Alam

Hilangnya pengetahuan metafisika dalam amatan Hossein Nasr telah menjadi musabab bagi raibnya harmoni antara manusia dan alam. Padahal, bila ditinjau dari peradaba timur, dalam Tradisi China misalnya, khusus dalam ajaran Taoisme dan Neo Konfusionisme. Pemujaan terhadap alam dan pemahaman mengenai metafisika sangatlah penting, ajaran yang hampir sama juga ada di Jepang.

Baca Juga  Muhammadiyah: Ada Pelanggaran HAM di Wadas

Dalam Islam sendiri, hubungan manusia dengan alam merupakan relasi yang tidak dapat dipisahkan. Islam memandang kemunculan manusia di dunia demi memperoleh pengetahuan total mengenai benda untuk menjadi manusia universal. Dalam hal ini, metafisika merupakan iman yang aman dan tiada mengganggu. Metafisika dan doktrin kosmologis timur bagi Nasr dapat membantu memulihkan visi spiritual alam yang menjadi dasar dari Sains.

Nasr memandang bahwa manusia pada hakikatnya berada di antara ciptaan spiritual dan material, serta pula memiliki keduanya. Baginya, tradisi panjang dan visi spiritual dengan doktrin fisik yang menjadi landasannya harus kembali dihidupkan. Khsusunya dalam dunia kristen bilamana perjumpaan manusia dan alam tak dikehendaki menorehkan bencana.

Penerapan dalam Situsi Kontemporer

Nasr berharap akan kembalinya tradisi metafisika yang pada waktunya dapat meremajakan kembali teologi dan filsafat. Sains dalam perjalannya harus didera dengan kritisme yang sadar dan cerdas akan penerapannya. Tidak lain,demi kehadiran sains agar tidak menjadi bencana bagi alam dan manusia.

Melalui penemuan kembali metafisika, maka revitalisasi teologi dan filsafat alam dapat memberi batasan bagi penerapan sains dan teknologi yang membabi buta. Nasr memandang perbedaan situasi zaman dahulu dengan masa sekarang, menurutnya jika di zaman dahulu manusia harus diselamatkan dari alam. Sekarang ini alam harus diselamatkan dari manusia, harus diharmonisasikan. Demikian hal itu adalah tugas bagi siapa saja yang mengaku ber-Tuhan. Baginya, siapapun yang percaya dengan Tuhan, ia pula harus berdamai dengan ciptaan-Nya ‘alam dan manusia’.

Refleksi Kita di Masa Kini

Nasr telah menulis catatan ini berpuluh-puluh tahun silam, tetapi kritik dan refleksinya masih sesuai dengan zaman kini. Kita tengah mengalami beragam macam kasus kerusakan dan pengrusakan lingkungan, kerusakan itu berjalan secara tanpa sadar sebagai akibat dari kepongahan manusia dalam mendominasi dan mengeksploitasi alam. Dalam keadaan demikian itu, para pemikir dan agamawan acapkali diam. Lebih parahnya lagi, mereka pula yang memberi legitimasi bagi pengrusakan alam.

Baca Juga  Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Ajak Jaringan FKUB Wujudkan Pelestarian Lingkungan di Seluruh Indonesia

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr pada zaman ini seidealnya dapat menjadi refleksi filosofis serta teologis untuk membaca kemungkinan gagasan teologi dan filsafat lingkungan di masa mendatang. Bahwa, di hari-hari mendatang jangan lagi ada kerusakan dan pengrusakan lingkungan yang membabi buta. Kesemuanya itu berpulang kepada kemampuan kita untuk mengharmonisasikan kembali antara laju Iptek, spiritual dan moral.

Editor: RF Wuland

Avatar
12 posts

About author
Ketua Bidang Riset Teknologi DPP IMM
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds