Perspektif

I Boe’ Bainea: Totem yang Masih Terjaga

5 Mins read

Totem | Salah satu yang menghidupkan budaya dan tradisi di Indoesia pada umumnya dan di Gowa pada khususnya adalah kepercayaan terhadap binatang/hewan tertentu yang dianggap bertalian hubungan darah dengan manusia.

Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religous of the Religous Life, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar, (IRCiSoD, Jogakarta, 2011), ia menyebutnya sebagai totem.

Secara bahasa, totemisme berasal dari kata dotem, yaitu istilah yang digunakan oleh Ojibwa, orang Algonquin dari Amerika Utara, untuk menunjukkan keanggotaan klan.

Pembahasan tentang totemisme pertama kali ditulis pada 1791 oleh seorang pedagang bernama James Long.

Kepercayaan totemisme dianggap sebagai agama primitif oleh banyak pemikir Eropa awal abad ke-19.

Totem dalam kajian kebudayaan adalah seekor binatang/hewan jelmaan manusia dan dipercaya sebagai makhluk suci. Bahkan pada beberapa suku di Nusantara, termasuk suku Makassar masih mempercayai totem tersebut.

Totem juga berfungsi sebagai pengikat secara emosional dan sosial dalam sebuah masyarakat. Dengan adanya totem, masyarakat bisa lebih bersatu dalam segala aspek.

Dalam tulisan ini, akan dibahas tentang totem yang masih dipercaya oleh masyarakat Dusun Garentong, Desa Rappoala, Kec.Tompobulu, Kabupaten Gowa.

Totem tersebut adalah seekor sidat atau orang Makassar menyebutnya ‘Kalengkere’. Menurut penuturan Dg. Pipa (anggota Ke-Pinatian) Kalengkere tersebut dinamai I Boe Bainea dan memiliki ciri-ciri yaitu bibir berwarna merah dan berukuran lebih pendek dibandingkan sidat pada umumnya.

Totem ini juga yang menjadi objek penelitian saya pada saat menyusun skripsi yang berjudul Tradisi Accera’ Pabballe di Dusun Garentong, Desa Rappola, Kec.Tompobulu, Gowa (Tinjauan Fenomenologi Agama) pada tahun 2016 silam.

Tentang I Boe

Kalengkere tersebut dipercaya sebagai penjelmaan dari seorang nenek yang dipanggil I Boe. Berdasarkan penelitian lapangan yang saya lakukan, I Boe diperkiran hidup pada akhir abad ke 17 atau awal abad ke 18. Jika dianalisis lebih jauh, kampung Garentong pada waktu itu masih hutan dan penghuninya hanya beberapa keluarga kecil I Boe’.

Hingga saat ini, keberdaan I Boe masih dipercaya oleh masyarakat luas. Bahkan ia dianggap masih hidup di sebuah hulu sungai di daerah hutan yg bernama Batarayya.

Penamaan hutan dengan nama Batarayya sepertinya terkait juga dengan nama salah satu Karaeng (Raja) di Gowa pada masa sebelum Tumanurung Bainea yaitu Batara Guru.

Batara Guru sendiri merupakan salah satu dari empat Karaeng pada masa lalu, yaitu Tatali, Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka.

Baca Juga  Literasi Digital: Refleksi Dua Bulan Belajar di Rumah

Terkhusus bagi keluarga yang masih memiliki hubungan darah dengan I Boe, ada pantangan yang tidak bisa dilanggar. Pantangan tersebut adalah tidak boleh makan sidat apalagi sidat tersebut memiliki bibir merah. Jika pantangan tersebut dilanggar, maka akan berakibat orang yang bersangkutan mengalami gatal, sakit sampai kematian.

Sebenarnya jika kita mencari fakta, sidat yang memiliki bibir merah adalah sidat jenis albino. Sidat albino sendiri merupakan sidat langka yang hidup di dataran tinggi Kabupaten Gowa.

Karena fisiknya yang memilki ciri yang lekat dengan perempuan yaitu bibir merah, maka itu semakin memperkuat kepercayaan masyarakat terutama keluarga bahwa I Boe masih ada hingga saat ini dan masih melihat anak cucunya dari alam yang berbeda.

Kisah I Boe sendiri seperti ini. Dulu ada perempuan yang sudah sangat berumur. Seorang perempuan yang hingga saat ini hanya dipanggil I Boe’. Boe’ sendiri dalam bahasa Makassar berarti nenek moyang. Waktu itu musim panen padi. I Boe’ karena sudah sangat tua ia tinggal d rumah bersama beberapa cucunya.

***

Jelang sore hari, I Boe’ menyuruh salah satu cucunya untuk menemui ibunya yang tengah panen padi. Apalagi waktu itu sudah senja. Ketika ibu sang anak ini pulang, ia pun bersih-bersih lalu naik rumah.

Di atas rumah, ia tidak menemukan I Boe’. Ia pun mencari seisi rumah. Tidak lama mencari, si anak hanya mendengar suara I Boe’. Namun anehnya hanya suara yang terdengar. Suara itu berasal dari dalam baranneng (gerabah).

Si anak heran kenapa I Boe’ bisa masuk ke dalam baranneng. Setelah diperiksa, ternyata tubuh dari I Boe’ sudah berubah bentuk menjadi kalengkere’ (sidat). Saat itu I Boe’ berpesan bahwa yang dia alami adalah kuasa Tuhan.

Setelah nanti seluruh tubuhnya berubah jadi sidat, I Boe menginginkan supaya dibawa ke hulu sungai agar bisa hidup lebih lama. Hulu sungai yang terdekat dari Garentong berada di sebuah hutan kecil yang disebut hutan Batarayya. Dikaki hutan ini ada hulu sungai yang besarnya sekitar setengah ukuran lapangan sepak bola dewasa.

Setelah I Boe’ berubah menjadi kalengkere, si anak mencari beberapa orang untuk mengangkut baranneng. Baranneng kemudian ditandu 4 orang. Setelah sampai di hulu sungai kalengkere pun dimasukkan. Hal aneh terjadi setelah 4 orang penandu kembali ke Garentong.

Ternyata ketika sampai di rumah, baranneng tempat I Boe’ tadi sudah ada. Baranneng yang berisi air ini kemudian diangkat lalu disimpan di atas loteng. Setelah peristiwa aneh yang beruntun ini, informasi tersebar ke sekitar kampung Garentong.

Baca Juga  Kalung Anti Virus: Indonesia Anti Kepakaran?

Beberapa sanak yang jauh pun berdatangan untuk memastikan kejadian aneh dan langka ini. Setelah sanak keluarga berkumpul maka diadakanlah sebuah upacara untuk mendoakan keselamatan I Boe.

Sejak saat itu, I Boe’ pun dipercaya sebagai sosok yang mendapat anugerah dari Tuhan dengan cara diubah bentuk fisiknya. Dengan cara itu I Boe bisa berumur panjang supaya bisa melihat keadaan anak cucunya. Sejak saat itulah lahir tradisi Accera’ Pabballe.

Accera’ Pabbale

Accera’ berarti darah mengalir/menetes. Pabballe berarti obat. Jadi secara keseluruhan berarti ritual yang dilakukan dengan mengorbankan hewan tertentu seperti ayam, kambing, sapi, dan kerbau. 4 jenis hewan inilah yang biasa di-tinjakkan (diniatkan) untuk dikorbankan di Barannenga atau Batarayya.

Menurut hemat penulis, tradisi ini sudah berlangsung sekitar 400 tahun lebih. Tradisi ini biasa dilakukan setiap malam senin, kamis, dan jumat. Tiga waktu ini dipilih sebagai hari yang sakral untuk Accera’ Pabballe.

Dalam tradisi suku Makassar khususnya di Gowa dataran tinggi, ada berbagai macam bentuk penghormatan kepada leluhur. Di antaranya pangangadakkang, ulu ere, accaru, accera’ pabballe.

Pangangadakkang dulunya adalah sebuah sistem nilai kehidupan dan saat ini pangangadakkang adalah bentuk penghormatan kepada leluhur yang punya kelebihan misalnya seorang pemimpin yang bijaksana, adil, perintis. Pangangadakkang dari kata ‘ada’ yang berarti menghargai.

Ulu ere dari kata ulu (kepala, pusat, hulu). Sedangkan ere (berair). Ulu ere ini adalah tradisi mendatangi hulu air tertentu sebagai bagian dari rasa sukur atas kehidupan yang sumbernya dari air. Ini juga bagian dari pengormatan kepada leluhur yang merintis irigasi.

Accaru adalah menyimpan beberapa jenis makanan seperti songkolo, ayam, telur dan ikan. Makanan ini disimpan di atas daun pisang lalau diletakkan di persimpangan/pertigaan jalan. Kegiatan accaru dianggap bisa menghalau setan-setan jahat yang akan masuk di kampung atau rumah. Terakhir adalah accera pabballe seperti yang disebutkan sebelumnya.

Lalu apa semua tradisi di atas dibolehkan? Saya tentunya tidak berhak untuk memberikan penilaian salah atau benar. Semuanya dikembalikan kepada niat setiap orang yang melakukan tradisi tersebut di atas.

Dalam mengkaji agama dan budaya sangat penting dilakukan pendekatan fenomenologi agama. Fenomenologi akan memberikan pemahaman bahwa semua objek pada hakikatnya itu benar.

Baca Juga  RUU-HIP: Tafsir Penguasa atas Pancasila?
***

Dalam melihat objek (tradisi tertentu) itu bersifat epoche (menunda semua penilaian) dan eidos (bersimpati terhadap tradisi agar menemukan hakikatnya). Kemunculan Fenomenologi Agama sebagai sebuah pendekatan ilmiah dikaitkan dengam filsuf Jerman, Edmund Husserl (Fenomenologi Agama, Mariasusai Dhavamony, Penerbit Kanisius, Jogjakarta, 1995).

Dalam hal ini, I Boe’ Bainea yang fisiknya berubah menjadi sidat (kalengkere) itu benar karena dituturkan secara turun temurun dan keturunannya masih bisa dijumpai seperti Dg Pipa yang juga anggota ke-Pinatian.

Jadi sekali lagi tergantung niat. Orang bisa saja berkunjung ke Barannenga karena semata-mata ingin melihat benda-benda antik seperti ganrang (gendang), poke (tombak), batu 3 buah berbeda ukuran yang semakin kecil semakin berat, pappinatian (simbol untuk pemuka agama dulu). Ini semua tentunya mengandung nilai sejarah yang bertalian dengan kehidupan orang Garentong pada masa lalu.

Sedangkan di hutan Batarayya di sana terdapat beberapa nisan yang masih misteri hingga saat ini. Anda pun akan menjumpai banyak jenis ayam kampung yang hidup bebas tanpa ada rasa takut untuk diburu. Menangkap hewan atau binatang apa saja di sini “haram”.

Menurut Daniel L. Pals dalam bukunya Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif (IRCiSoD, Jogjakarta, 2012) sejak dahulu masyarakat sudah banyak yang mensakralkan pepohonan atau tumbuhan.

Pohon selain dianggap sebagai Axis Mundi (titik pusat dunia) juga dianggap sebagai sumber sakral kehidupan. Seperti halnya hutan Batarayya yang juga terdapat pohon-pohon besar di dalamnya dianggap sangat sakral oleh masyarakat sekitar.

Apa saja yang ada kaitannya dengan hutan Batarayya seperti binatang itu tidak boleh diganggu dan tidak diperkenankan untuk menebang pohon jika tidak ada izin dari Pinati.

Di sisi lain bagi para pengunjung hutan Batarayya bisa berenang gratis di hulu sungai sambil menikmati dinginnya air dan segarnya cuaca. Jika beruntung I Boe akan menampakkan diri dengan ciri bibir merah dari balik bebatuan.

***

Satu hal lagi di sini siapa saja bebas datang tanpa pesan tiket dan tentunya tidak tersentuh komersialisasi seperti kebanyakan tempat-t empat tradisi lainnya.

Dan hingga saat sini, I Boe masih jadi leluhur kebanggaan. Jadi antara mitos dan fakta belum ada titik tengah. I Boe sepertinya tetap eksis di tengah moderennya zaman dan pesatnya digitalisasi. Orang-orang jauh yang bertalian darah dengan Boe’ tetap banyak yang datang.

Editor: Yahya FR

Irwan
1 posts

About author
Mengajar di MA DDI Nurussalam, Lassa-lassa, Gowa.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds