IBTimes.ID – Prof. I Gusti Ngurah Sudiana menyampaikan bahwa moderasi beragama di Indonesia sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kerajaan, ada dua agama besar, yaitu agama Siwa dan Budha. Siwa dan Budha menyatu sehingga digambarkan oleh Mpu Tantular dengan “Bhineka Tunggal Ika”. Menurut I Gusti Ngurah Sudiana, ini adalah modal dasar moderasi beragama di Indonesia yang ada sejak zaman kerajaan.
Menurutnya, sekarang Indonesia mempunyai modal dasar beragama berupa modal kultural yang sangat baik dan mengakar. Nilai-nilai seperti tenggang rasa, toleran, tepo seliro (tenggang rasa), dan menghargai keragaman menjadi filosofi kehidupan masyarakat di Indonesia. Dan nilai-nilai itu diajarkan oleh seluruh agama yang hidup di Indonesia.
Hal ini ia sampaikan dalam Webinar “Moderasi Beragama dalam Tradisi Agama-Agama di Indonesia” yang diadakan oleh Convey Indonesia bersama PPIM UIN Jakarta. Webinar yang diadakan pada Jumat (26/6) ini mengundah tokoh dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Dalam webinar ini ia menceritaka tentang kerukunan umat beragama di Bali.
I Gusti Ngurah Sudiana dan Moderasi Beragama
Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar ini menyebut bahwa moderasi beragama pada agama Hindu memiliki banyak filosofi yang dipraktikkan oleh masyarakat untuk menjaga perdamaian dan kerukunan. Seperti konsep Menyama Braya. Menyama berarti bersaudara, persaudaraan dengan seluruh masyarakat, tanpa memandang suku dan agama.
“Menyama di dalam Kitab Weda dianggap sebagai norma. Di Bali ini menjadi sangat terkenal. Nilai ini bisa digunakan untuk menjaga kerukunan umat beragama sehingga agama-agama yang ada di Bali bisa menyatu, dan tidak ada sekat sama sekali dari sisi sosial,” jelasnya.
Ia juga menceritakan budaya Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berarti engkau adalah aku, aku adalah engkau. Sehingga tidak boleh saling menyakiti. Di Bali, bangunan, tempat suci, dan tempat umum melambangkan moderasi beragama. Misalnya, ada bangunan yang didalamnya ada seluruh tempat ibadah, dalam satu area. Ada Pura, Masjid, Gereja, Wihara, Klenteng, dan lain-lain. Pura-Pura yang lama selalu memiliki tempat pemujaan untuk berbagai agama.
“Bangunan-bangunan tersebut sejak zaman Singosari sampai sekarang masih terpelihara dengan baik. Ada juga tradisi yang masih kental, yaitu hubungan dengan keluarga puri dengan keluarga muslim. Ketika ada upacara keagamaan Hindu di Puri, keluarga muslim ikut datang untuk membantu. Mereka bekerja berdasarkan keikhlasan karena hubungan yang baik. Semacam gotong-royong menyiapkan upacara yang akan dilaksanakan,” ujarnya.
Ia menyebut setelah upacara selesai keluarga muslim dan keluarga Hindu makan dalam satu meja yang sama, namun dengan masakan berbeda karena menghargai beberapa pantangan makanan haram oleh muslim. Mereka juga saling memberikan makanan ketika hari raya, baik hari raya Hindu maupun Islam.
“Ketika ada hari raya Nyepi, bersamaan dengan hari raya lain misalnya hari Jumat, umat muslim salat di masjid terdekat, tidak mengumandangkan adzan, dan berangkat dengan jalan kaki. Kalau bersamaan dengan hari raya Kristen, umat Kristiani mencari Gereja terdekat, dan sebelum jam 6 pagi sudah menyelesaikan semua kebaktian. Dialog-dialog moderasi beragama di Bali selalu dibangun baik melalui tradisi, tempat suci, upacara keagamaan, dan lain-lain,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y