IBTimes.ID – Ibadah haji, sebagai tradisi ziarah terbesar di dunia, mengandung makna spiritualitas yang kaya dan mendalam. Lewat ibadah haji, seseorang tidak hanya semakin memahami hakikat ibadah atau ritual dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi bisa semakin bersikap terbuka terhadap segala jenis perbedaan, inklusif, dan rendah hati.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Amin Abdullah, dalam webinar internasional bertajuk “The Road to Mecca” (Perjalanan ke Mekah) yang diadakan oleh Institut Leimena dan galeri seni kontemporer di Los Angeles, Amerika Serikat (AS), Bridge Projects. Webinar ini adalah bagian dari pameran bersama “We Are All Guest Here” yang mengangkat tema ziarah dari berbagai perspektif agama.
“Hikmah spiritualitas dari perjalanan ibadah haji adalah transformation of life, mengubah cara pandang terhadap dunia, lebih terbuka, merangkul, dan ramah terhadap segala jenis perbedaan,” ujar Amin Abdullah, Jumat (17/12/2021).
Amin membahas praktik, makna, dan tujuan ibadah haji berdasarkan pengalaman pribadinya, serta analisis keagamaan dan antropologi. Mantan rektor UIN Sunan Kalijaga itu telah melakukan 5 kali ibadah haji, yaitu 4 diantaranya saat masih menjadi mahasiswa program doktor di Departement of Philosophy, Middle East Technical University, Ankara, Turki, yaitu tahun 1984, 1986, 1988, dan 1990, lalu perjalanan ke-5 tahun 2002 atas undangan pemerintah Arab Saudi.
Amin Abdullah menjelaskan bahwa ibadah haji di Arab Saudi adalah rukun Islam kelima yang penting, tapi tidak wajib kecuali bagi mereka yang “mampu” dalam arti sehat, mempunyai biaya, dan tersedia tempat di Mekah.
Ibadah haji telah dilakukan sebelum kerasulan Muhammad, kemudian diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW. Selama hidupnya, Nabi Muhammad SAW hanya satu kali menjalankan ibadah haji, yaitu tahun ke-10 A.H. (Hijriah)/632 A.D (Masehi).
“Menunaikan ibadah haji adalah cita-cita umat Islam di seluruh dunia. Mereka rela antre sampai 30 tahun, menabung bertahun-tahun untuk biaya ke tanah suci. Hal itu didorong fondasi teks Alquran dan contoh Nabi Muhammad saat menjalankan haji wada,” imbuhnya.
Menurutnya, tidak berlebihan jika ibadah haji menjadi ritual keagamaan paling fenomenal dalam dunia modern. Meskipun penganut agama lain memiliki ritual ziarah senada, jumlah umat yang berkumpul di satu tempat tidak sebanyak dalam ibadah haji.
Ia menyebut ibadah haji seolah perjalanan menyongsong kematian. Ia menjadi saksi sejarah tragedi tahun 1990 di terowongan Mina dimana 1.426 jemaah haji meninggal dunia akibat tabrakan arus jemaah yang berjalan kaki dari dan ke tempat pelontaran jumrah di Mina.
“Saya hampir terkena musibah tersebut. Alhamdulillah, dapat terhindar dari musibah setelah menerobos turun keluar dari jembatan menghindari berdesakannya lautan manusia,” ujarnya.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga tersebut mengatakan ibadah haji pada dasarnya bagian dari tradisi perjalanan spiritual yang universal. Ia mengingat perjalanannya ke kompleks peribadatan dan pendidikan agama Budha di daerah perbukitan di luar kota Chiang Mai, Thailand, atau saat mengunjungi makam Santo Paulus di Roma, Italia.
Di dua tempat itu, ia bisa merasakan suasana khusyuk dan khidmat dari para peziarah lain seperti yang dia rasakan saat mengunjungi makam Nabi Muhammad SWT di Madinah atau tempat ziarah lain di Mekah.
“Rasa khusyuk dan khidmat saya rasakan tanpa sama sekali mengubah akidah dan keyakinan saya sebagai seorang Muslim yang taat,” kata Prof Amin.
Menurutnya, pemaknaan yang tepat akan ritual ibadah haji seharusnya membawa seseorang kepada toleransi beragama. Semua tradisi ziarah pada dasarnya berimplikasi kepada pembangunan kemanusiaan yaitu solidaritas dan saling menolong sebagai sesama makhluk Tuhan.
“Apa yang diharapkan dari ibadah haji? Harapan utama adalah haji mabrur, haji yang dapat membawa perubahan yang baik dalam kehidupan,” kata Prof Amin.
Sementara itu, Chair Bridge Projects, Roberta Green Ahmanson, mengatakan pameran bersama “We Are All Guest Here” adalah bagian dari program pertunjukan festival Yahudi, Sukkot, atau Hari Raya Pondok Daun, yang dimulai pada hari ke-15 bulan ke-7 dalam kalender Ibrani. Festival itu diperingati umat Yahudi sebagai masa pengembaraan di Gurun Sinai ketika Musa memimpin mereka ke luar dari Mesir menuju Kanaan.
“Jadi karena Sukkot berakar pada ziarah suatu umat, kami merencanakan program yang membicarakan pentingnya ziarah dalam agama-agama lain, termasuk pembicaraan tentang ziarah Budha, Hindu, dan Kristen. Misalnya, mereka pergi ke Santiago de Compostela (Spanyol), Roma, dan Yerusalem, serta tentu saja ibadah haji sebagai ziarah luar biasa yang sangat penting untuk umat Islam,” kata Ahmanson.
Pameran “We Are All Guest Here” menampilkan instalasi seni karya 7 seniman yaitu Brody Albert, Susy Bielak, Mira Burack, Rael San Fratello, SaraNoa Mark, Adam W. McKinney, dan Jenny Yurshansky yang menerjemahkan aspek-aspek tradisi Yudaisme untuk menghasilkan karya seni yang berdialog dengan praktik ritual dan keagamaan, serta isu sosial politik saat ini.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Institut Leimena menyambut baik kerja sama dengan Bridge Projects yang secara inovatif memperkenalkan topik penting ziarah dalam konteks kesenian, spiritualitas, dan tradisi berbagai agama.
“Ini juga sejalan dengan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang tengah kami lakukan bersama berbagai kalangan untuk meningkatkan saling pemahaman dan menghormati antar umat beragama yang berbeda,” kata Matius.
Reporter: Yusuf