Tafsir

Ibadah kepada Allah Bukanlah Sekedar Kewajiban

2 Mins read

Hak dan kewajiban merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Hak merujuk kepada segala sesuatu yang didapatkan, sedangkan kewajiban merujuk kepada segala sesuatu yang harus dikerjakan demi tercapainya hak-hak yang diinginkan.

Dalam Islam, konsep hak dan kewajiban ini biasanya terkait dengan konsep taqwa, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Praktik hak dan kewajiban dapat kita lihat dalam hubungan suatu negara dengan warga negara. Seorang warga negara diwajibkan membayar pajak, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam undang-undang perpajakan. Setelah kewajiban tersebut terpenuhi, maka warga negara akan mendapatkan hak berupa kehidupan yang makmur sebab tahap pembangunan yang maju.

Hubungan antara hak dan kewajiban, setidaknya dapat dijadikan sebuah analogi yang dapat menyangkal pernyataan ibadah kepada Allah merupakan suatu kewajiban’. Dikarenakan pada hakikatnya, Tuhan Yang Maha Sempurna jelas tidak membutuhkan apapun dari makhluk ciptaan-Nya, melainkan makhluk-Nyalah yang membutuhkan-Nya.

Makna Ibadah kepada Allah

Ibadah berasal dari akar kata ‘abada ya’budu ‘abdan wa ‘ibaadatan. Kata ibadah merupakan isim mashdar yang artinya penyembahan. Penyembahan biasanya dilakukan oleh yang rendah terhadap yang lebih tinggi, yang lemah terhadap yang lebih kuat. Oleh karena itu, dalam beribadah hanya boleh dilakukan kepada Allah SWT, zat Yang Maha Kuat dan Yang Maha Perkasa.

Al-Qur’an surah al-Fatihah (1): 5, yaitu “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan” adalah ilustrasi paling mendasar tentang makna penyembahan atau ibadah itu, bahwasannya ibadah hanya dapat dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan yang disembahnya.

Dalam Islam, untuk menjaga kemurnian seseorang dalam beribadah agar hanya tertuju kepada Allah, dianugerahkanlah suatu konsep dan pijakan ibadah yang disebut tauhid. Tauhid adalah konsep dan laku mengesakan Allah untuk tujuan memurnikan makna ibadah, dan juga untuk menegaskan bahwa seorang hamba benar-benar membutuhkan-Nya.

Baca Juga  Apakah Allah Bisa Tertawa?

Ibadah adalah Kebutuhan Seorang Hamba

Ibadah bukanlah suatu kewajiban, melainkan kebutuhan bagi seorang hamba. Salah satu perintah mengenai penyembahan terhadap-Nya, tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2): 21.  Dalam ayat ini, penyembahan ditujukan kepada Rabb yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, yaitu Tuhan pemilik seluruh alam. Rabb atau Tuhan pemilik seluruh alam menjadi satu-satunya yang pantas menerima pujian, sesembahan, dan pengabdian di antara semua yang ada di seluruh jagat raya ini. Hal ini tentu disebabkan oleh peran-Nya dibalik keberadaan al-‘aalamiin.

Maka, seperti yang telah ditulis oleh Muhammad Rusli Malik dalam karyanya yang berjudul Tafsir Al-Barru: Menerangi Sukma, Meluruskan Nalar, dan Menyingkap Tirai Kebenaran, pemaknaan terhadap perintah penyembahan yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 21 ini tidak bisa dimaknai sebagai sikap egoisme Tuhan untuk disembah. Melainkan dimaknai sebagai seruan Allah kepada manusia agar mengharmonisasikan dirinya dengan seluruh realitas yang telah Dia ciptakan.

Tentulah perintah penyembahan tersebut tidak bisa dimaknai dengan sikap egoisme Tuhan, karena Tuhan telah memiliki kesempurnaan yang terpatri dalam diri-Nya. Maka, Ia tidak butuh disembah juga tidak membutuhkan apapun dan siapapun. Akan tetapi, apapun dan siapapun yang berwujud sebagai makhluk-Nya inilah yang pasti akan membutuhkan Tuhan. Bagaimana tidak membutuhkan, tanpa Tuhan makhluk-makhluk-Nya tersebut tentu tak akan ada di semesta ini.

Puncak dari Ibadah adalah Ketakwaan

Masih berdasarkan QS. Al-Baqarah (2): 21, tersurat pesan bahwa Allah menyeru kepada seluruh manusia agar menjadi manusia yang bertakwa. Hal ini dapat kita lihat melalui penggalan ayat, la’allakum tattaquun. Takwa tersebut dapat dicapai dengan melakukan satu-satunya cara, yakni beribadah kepada Allah, Tuhan semesta alam sesuai dengan kalimat sebelumnya, u’buduu rabbakum.

Pelaksanaan ibadah dalam hal penyembahan terhadap-Nya, ini tidaklah memiliki batasan niat dan jenisnya. Allah membukakan peluang sebesar-besarnya untuk melakukan ibadah. Jadi, kata “u’buduu” dalam ayat ini tak hanya diartikan sebagai ibadah dalam pengertiannya yang sempit, seperti salat, puasa, zakat, dan haji saja.

Baca Juga  Yang Luput dari Pembahasan Kisah Ashabul Kahfi

Maka nantinya, bentuk penerimaan dan pelaksanaan ibadah seorang hamba yang akan mengantarkannya kepada strata paling rasional dan paling bebas dari kecemburuan sosial, yakni strata ketakwaan. Disebut demikian, karena strata yang berdasarkan takwa tak akan menimbulkan ketidakadilan.

Sementara itu, ketidakadilan tidak akan timbul disebabkan oleh penilaian strata yang didasarkan pada keintensifan dan kesempurnaan ibadah seorang hamba, yang mana hanya Allah Yang Maha Adil satu-satunya penilai strata ketakwaan hamba-Nya.

Editor: Revoluna Syide Khaidir

Avatar
16 posts

About author
Sekretaris Bidang Pers dan Jurnalistik Badan Eksekutif Siswa Madrasah Aliyah Al-Ishlah (BESMA), 2019/2020; Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds