Ubudiah dalam Islam yang telah diatur syariat, seperti salat dan puasa, jika dilihat secara sederhana tampak sebagai ibadah yang tidak memiliki nilai keterhubungan dengan dunia sosial.
Padahal, keduanya seperti dua sisi keping mata uang yang saling terikat. Relasi antar dua aspek tersebut bisa dilihat dari spirit filosofis yang diterjemahkan ke dalam wilayah aksiologis.
Untuk menjelaskan konsep ini, dapat bertolak dari penafsiran QS. Al-Hajj: 77:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ۩ ٧٧
“Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.”
Menurut pandangan Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir, ayat di atas dimaksudkan untuk memperkukuh ikatan dengan Allah, melatih jiwa manusia, dan mengupayakan keadilan sosial.
Relasi dengan Allah terkandung dalam redaksi perintah salat, dengan dua aspek penting di dalamnya: rukuk dan sujud. Rukuk bermakna menunduk pada Allah; sujud bermakna tunduk dengan bagian paling mulia dari tubuh manusia: wajah.
Redaksi wa’budu memberikan instruksi menyembah dan beribadah kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah lain, seperti zakat, puasa, dan haji.
Semua bentuk ibadah ini seyogyanya dilakukan dengan optimal, dengan cara disandingkan melalui kebaikan yang bisa mendatangkan rida Allah, semisal peribadatan sunah dan, yang paling utama, berbuat kebajikan.
Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah, memahami maksud kebajikan pada ayat tersebut menempatkan kebajikan dalam aspek yang luas. Sihab mengatakan bahwa kebajikan itu adalah seluruh perbuatan positif yang menampung seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi, baik berdasar wahyu maupun nilai yang sesuai dengan tujuan syariat; baik berupa hukum undang-undang maupun tradisi adat. Artinya kebaikan universal.
Kualitas Ibadah
Kualitas ibadah menjadi titik tolak untuk berhubungan secara personal dengan Tuhan, tetapi lebih dari itu ibadah tersebut harus memiliki relasi dengan kebajikan-kebajikan lain.
Artinya, ibadah privat diimbangi dengan nilai perilaku positif. Sedangkan, yang disebut kebajikan sendiri adalah nilai kebaikan secara umum: Termasuk amal yang menciptakan hubungan baik dengan Tuhan (vertikal), atau menciptakan hubungan baik dengan sesama manusia (horizontal).
Secara substantif, penafsiran-penafsiran di atas memberi dampak khusus terhadap keberagamaan seseorang: Ia harus mampu beribadah sebaik yang ia bisa, lalu menerjemahkan ke dalam kehidupan sosial di mana ia hidup.
Salat, misalnya, secara filosofis bisa dilihat sebagai ibadah yang mengingatkan manusia bahwa dirinya adalah hamba, yang melatih kesadaran seseorang bahwa—sebagai hamba—ia memiliki kelemahan dan sekaligus kewajiban beribadah.
Pada level horizontal, aspek filosofis itu memberikan kesadaran bahwa sebagai seorang hamba ia tidak memiliki daya untuk berbuat “onar” di ruang publik, karena terikat perintah Tuhan untuk berbuat baik sesuai tuntunan agama.
Melalui cara pemahaman seperti ini, salat yang tampak bersifat ibadah ritual an sich memiliki hubungan dengan aspek yang lebih luas. Bahkan, ia terkait dengan bagaimana seorang hamba bereksistensi di masyarakat.
Pengaitan Ibadah Ritual dengan Amal-Amal Sosial
Tidak hanya pada ibadah salat, seluruh ibadah harus dilihat melalui keterkaitan dualisme semacam itu.
Sekurang-kurangnya, meski seseorang tidak selalu mampu melihat aspek filosofis dari ibadah yang bisa diterapkan pada dunia sosial, seseorang tetap bisa berpegang teguh bahwa ibadah kepada Allah harus dilakukan beriringan dengan perbuatan kebajikan secara umum.
Terlebih lagi, Islam memuat banyak ajaran mu’amalah yang kentara manfaatnya bagi banyak pihak.
Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Menurut Zuhaili dan Shihab, supaya manusia mendapat kebahagiaan, sebagaimana pungkasan ayat di atas.
Melalui al-Hajj: 77 ini, tampak bahwa poin-poin yang digagas tafsir-tafsir tersebut cukup lengkap—untuk tidak mengatakan menyeluruh—meski mereka tidak merinci dalam koridor visi dualisme.
Aspek ibadah seorang hamba, dan kebajikan yang harus dilakukan, tidak lain demi kebahagiaannya sendiri, baik di dunia maupun akhirat.
Dengan demikian dapat disimpulkan, ibadah yang bersifat privat harus memiliki visi mewarnai ruang publik dengan sikap-sikap positif, produktif, dan membangun.
Ibadah ritual dan ibadah sosial harus dipajang dalam satu etalase yang sama, sehingga agama benar-benar hadir untuk memberi kedamaian bagi banyak pihak, menghindari wajah agama yang kontra poduktif terhadap kemaslahan publik.
Kerusakan agama tidak lain dapat dilihat sebagai kegagalan melihat dualisme ibadah:. Itulah mengapa terdapat seseorang yang rajin salat dan puasa, tetapi ringan melakuan terorisme kepada pihak yang mereka anggap kafir.
Artinya, tidak ada korelasi dualisme ibadah. Dan inilah yang harus diperhatikan bersama. Kerangka dualisme ini perlu menjadi pemahaman umum agar Islam dan syaritatnya mencapai tujuan teringginya: Rahmat bagi semesta.
Editor: Yahya FR