Opini

Ibn al-Ha’im, Cendekiawan Yerusalem yang Hampir Terlupakan

4 Mins read

Yerusalem adalah tempat istimewa, karena merupakan kota suci bagi tiga agama besar dunia, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Kota ini memiliki situs-situs penting yang saat ini masih terjaga, seperti Masjid Al-Aqsa, Kubah Batu, dan Gereja Makam Kudus. Selain makna religiusnya yang mendalam, Yerusalem atau ibu Kota Palestina ini juga memiliki sejarah yang panjang. Sejarah yang dimana, kota ini dulunya pernah menjadi rumah bagi banyak cendekiawan, baik pria maupun wanita, bahkan setelah pertengahan abad ke-20.

Namun sayangnya, meskipun kota ini pernah menjadi rumah bagi banyak cendekiawan Muslim untuk singgah ke Masjidil Al-Aqsa. Sekaligus tempat cendikiawan muslim mengajarkan ilmunya kepada masyarakat Yerusalem. Sayangnya, kita saat ini sangatlah jarang mengenal cendekiawan Muslim Palestina yang berasal dari kota suci Yerusalem tersebut. Salah satu cendekiawan Muslim yang kurang dikenal, bahkan sudah mulai hampir dilupakan adalah Ibn al-Ha’im.

Ibn Al-Ha’im dikenal sebagai salah satu cendekiawan terkemuka Palestina pada abad pertengahan. Beliau dikenal sebagai seorang guru, penulis, dan polymath karena ia ahli dalam berbagai banyak bidang keahlian. Mulai dari ahli hukum, tata bahasa, teolog, dan matematika. Sebagai seorang polymath, ia menaruh minat khusus pada cabang matematika praktis. Lebih khususnya pada perhitungan suksesi (hisab al-fara’idh). Karena alasan ini, ia juga dikenal sebagai Ibn al-Ha’im al-Fara’idhi.

Mengapa Ibn Al-Ha’im Kurang Dikenal dalam Sejarah?

Ibn al-Ha’im sebagai seorang cendekiawan dan Matematikawan Muslim, namanya jarang dikenal dalam sejarah, karena sumber-sumber yang membahas biografinya sangatlah sulit ditemukan. Kurangnya literatur yang berbahasa Indonesia, hilangnya manuskrip yang membahas biografi cendekiawan tersebut. Kemudian kiblat pendidikan zaman modern cenderung mengarah ke Barat, dan tidak jarang cendekiawan terdahulu itu tidak menuliskan biografi hidupnya.

Baca Juga  Pentingnya Cerdas dalam Beragama

Tentu hal-hal ini membuat cendekiawan Islam, seperti Ibn al-Ha’im mulai tenggelam oleh waktu namanya dan mulai tergantikan dengan kisah cendekiawan dari Barat yang lebih populer saat ini. Maka tidak mengherankan, apabila di zaman modern ini, banyak generasi Islam di Indonesia yang lebih mengenal tokoh-tokoh dari Barat daripada cendekiawan Islam. Nama Ibn al-Ha’im kurang terkenal karena tulisan-tulisan yang membahas sejarah Ibn al-Ha’im sangatlah sedikit dan kisahnya dianggap kurang populer.

Salah satu rujukan utama yang membahas mengenai Ibn al-Ha’im hanya terdapat dalam karya al-Uns al-Jalil bi-Tarikh al-Quds wa al-Khalil atau Sejarah Agung Yerusalem dan Hebron. Buku ini ditulis oleh sarjana Palestina Mujir al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad al-‘Ulaymi al-‘Umari (w. 928 H/1522 M). Rujukkan ini dianggap sebagai sumber abad pertengahan paling komprehensif tentang sejarah Yerusalem.

Selain itu, sejumlah informasi dalam tulisan ini juga merujuk pada tesis magister berbahasa Arab karya Dr. Khudayr ‘Abbas al-Minshidawi dan juga tulisan Salim Al-Hassani, salah satu Profesor Emeritus Teknik Mesin di Inggris, sekaligus Presiden Yayasan Sains, Teknologi, dan Peradaban (FSTC). Hanya rujukan inilah yang sejauh ini ditemukan ada membahas kisah Ibn al-Ha’im.

Mengenal Biografi Ibn Al-Ha’im

Ibn al-Ha’im al-Maqdisi lahir di Kairo sekitar abad ke-14 atau sekitar tahun 1354-1412 Masehi). Nama lengkapnya memang panjang, tetapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan al-Maqdisi, karena hampir seluruh masa hidup dewasanya ia habiskan di Yerusalem. Sejak kecil ia tumbuh di lingkungan yang dekat dengan ilmu. Di rumahnya, di kawasan Al-Qarafah al-Sughra, ia belajar menghafal Al-Qur’an dan mempelajari hadis. Dia juga belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu dasar Islam. Masjid dan majelis di sekitar Al-Azhar menjadi tempat ia menimba pengetahuan, sekaligus menempa wataknya yang dikenal tekun dan rendah hati.

Baca Juga  Hari Air Sedunia: Peran Perempuan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Ketika beranjak dewasa, ia meninggalkan kota kelahirannya dan memilih menetap di Yerusalem. Di kota suci itu ia berguru pada ulama-ulama besar. Mulai dari Siraj al-Din al-Bulqini, Al-Taqi bin al-Hatim, Abu al-Hasan al-Jalawi al-Maliki, dan Al-Jamal al-Amyuti. Dari berguru dengan ulama besar inilah, nama serta reputasi Ibn Al-Ha’im semakin membuat namanya mulai dikenal oleh masyarakat Yerusalem.

Ibn al-Ha’im dikenal sebagai cendekiawan dengan wawasan luas. Beliau menguasai banyak bidang sekaligus, mulai dari fikih, ilmu aljabar, tata bahasa, hingga puisi. Keahliannya tidak hanya terletak pada penguasaan teori, tetapi juga pada kemampuannya menjelaskan dengan jelas dan sederhana. Bahkan persoalan ilmiah dan matematika yang rumit bisa ia uraikan, sehingga mudah dipahami. Reputasi ini membuatnya dihormati oleh para ulama di Yerusalem. Puncaknya, ia dipercaya memimpin madrasah al-Salihiyah, salah satu pusat pendidikan paling bergengsi di kota suci tersebut.

Mengamalkan Ilmu dan Menghasilkan Karya untuk Masyarakat

Keilmuannya tidak berhenti pada dirinya sendiri, melainkan berlanjut melalui generasi yang ia bimbing di Yerusalem. Salah satu muridnya yang berpengaruh adalah Ibnu Hajar al-Asqalani. Seorang ulama besar bermazhab Syafi’i dari abad ke-8 Hijriah (1372–1449 M) yang dikenal sebagai ahli hadits terkemuka dan pengarang banyak kitab masyhur, seperti Fath al-Bari (penjelasan Shahih Bukhari) dan Bulugh al-Maram. Hal ini menunjukkan, betapa luas pengaruh Ibn al-Ha’im dalam membimbing generasi ulama berikutnya di Yerusalem dan sekitarnya.

Selain itu, agar pengetahuannya bisa bermanfaat besar bagi peradaban Islam. Ibn Al-Ha’im juga menuliskan pengetahuannya yang miliki ke dalam bentuk karya tulis. Bahkan semakin produktifnya, ia berhasil menerbitkan sebanyak 43 karya tulis. Salah satunya karya tulisnya adalah kitab  Al-Luma’ fi al-Hisab. Kitab matematika ini pada bagian pertama membahas perkalian bilangan bulat dengan bilangan bulat, bagian kedua membahas pembagian, dan bagian ketiga membahas pecahan. Risalah-risalah ini masih dipakai dan dipelajari oleh ilmuwan dan sejarawan hingga saat ini.

Baca Juga  Islam dan Etika Kerja: Hindari Toxic Productivity

Pada usianya yang sekitar 60 tahun, pada awal abad ke-15. Ibn al-Ha’im wafat dan dimakamkan di Ma’man Allah, salah satu pemakaman paling bersejarah di kota itu. Selama hidupnya, dirinya telah mengajarkan ilmunya dan juga telah berhasil melahirkan banyak murid berpengaruh.

Ibn al-Ha’im adalah cendekiawan Yerusalem yang hebat, tapi sayangnya hampir terlupakan namanya oleh waktu. Dia adalah sosok cendekiawan yang suka mengamalkan ilmunya. Dia pandai matematika, bahasa, dan hukum Islam, serta telah menghasilkan karya tulisan yang sangatlah banyak. Meski hidupnya sudah lama berlalu, ilmunya tetap hidup lewat murid-murid dan tulisannya. Kisahnya mengingatkan kita untuk tidak melupakan para cendekiawan Islam masa lalu. Mari kita jaga warisan mereka, agar semangat belajar mereka terus hidup di generasi sekarang.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *