Falsafah

Ibn Arabi Bukan Penganut Panteisme

4 Mins read

Wahdat al-wujud (kesatuan wujud) merupakan istilah yang lazim disandarkan pada pandangan Ibn Arabi mengenai Tuhan dan alam raya, bahwa Tuhan dan alam raya beserta isinya tak dapat dibedakan. Meski sebenarnya istilah wahdat al-wujud sama sekali tidak pernah digunakan secara tegas oleh Ibn Arabi, istilah itu kerap dipadankan dengan panteisme.

Panteisme berasal dari dua kata: pan artinya semua, dan theos artinya Tuhan. Secara sederhana,  istilah ini bermakna semua adalah Tuhan atau Tuhan ialah imanen serta identik dengan alam raya.

Kita seharusnya berhati-hati untuk tidak tergesa-gesa memadankan satu pandangan dengan pandangan lain. Artinya, kita mesti melacak pandangan Ibn Arabi mengenai Tuhan dan alam raya dan juga menyelidiki definisi panteisme, yang kemudian kita lihat dengan jukstaposisi apakah keduanya benar-benar sama.

Wahdat al-Wujud dan Pandangan Ibn Arabi

Secara bahasa, wahdat al-wujud terdiri dari dua kata, wahdah dan wujud. Wahdah artinya tunggal atau kesatuan, dan wujud artinya ada atau eksistensi. Secara istilah, wahdat al-wujud menggambarkan kesatuan wujud antara Tuhan dan selain Tuhan. Sederhananya, karena Tuhan Yang Maha Wujud, berarti semua selain Tuhan tidak memiliki wujud.

Kata “wujud” dalam sistem pemikiran Ibn Arabi digunakan untuk menyebut eksistensi Tuhan, bahwa satu-satunya wujud adalah wujud al-Haqq atau wujud Tuhan, dan tidak ada wujud selain wujud-Nya. Yang berarti bahwa, apa pun selain Tuhan tidak memiliki wujud (‘adam).

Sebenarnya, Ibn Arabi menggunakan kata “wujud” juga untuk menunjuk sesuatu selain Tuhan. Tetapi, ia menggunakannya dalam arti metaforis (majazi) untuk menegaskan bahwa wujud hanyalah milik Tuhan. Sedangkan , wujud yang ada di alam raya, sebagai metafora, pada dasarnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepada alam raya. Atau wujud selain Tuhan sepenuhnya bergantung pada wujud Tuhan.

Baca Juga  Apa Bedanya Filsafat Islam dan Filsafat Muslim?

Di sini, Ibn Arabi memberikan analogi tentang cahaya matahari. Menurutnya, cahaya matahari hanya milik matahari. Cahaya itu hanya dipinjamkan kepada penghuni bumi.

Hubungan antara Tuhan dan alam raya sering digambarkan sebagai hubungan antara terang dan gelap. Ini berarti bahwa, tanpa cahaya matahari, alam raya akan menjadi gelap gulita. Dengan kata lain, alam raya ini sebenarnya tidak ada karena wujud hanyalah milik Tuhan.

Dengan demikian, pemaknaan wujud menunjukkan bahwa wujud Tuhan adalah satu-satunya wujud. Tidak ada keberadaan selain keberadaan-Nya.

Sederhananya, ini berarti bahwa apa pun selain Tuhan tidak memiliki wujud. Secara logika, dapat disimpulkan bahwa wujud tidak dapat diberikan kepada selain Tuhan (ma siwa Allah).

Topik sentral wahdat al-wujud adalah kesatuan Tuhan dengan alam raya atau dengan kata lain Tuhan meliputi semua. Dengan demikian, pengertian wahdat al-wujud berarti ajaran yang menyamakan Tuhan dengan alam raya atau menyamakan alam raya dengan Tuhan.

***

Secara kasar, pemahaman ini mengakui bahwa tidak ada perbedaan antara Tuhan dan makhluk; jika ada, maka hanya atas keyakinan bahwa Tuhan adalah totalitas. Sedangkan makhluk adalah bagian dari totalitas it. Tuhan tampak dalam segala sesuatu di alam raya. Semuanya adalah penampakan-Nya. Tidak ada apa pun di dunia ini selain Tuhan.

Jika demikian halnya, maka kita dapat menyimpulkan di sini dengan tergesa-gesa bahwa wahdat al-wujud itu sama dengan “panteisme”. Itulah jawabannya jika kita menyimpulkan dengan tergesa-gesa dan menyederhanakan masalah yang rumit ini. Dengan kata lain, sesederhana itu, tetapi wahdat al-wujud dalam pandangan Ibn Arabi tidak sesederhana itu.

Meskipun Ibn Arabi memahami wujud sebagai wujud tunggal yang dikaitkan dengan Tuhan, ia tidak sepenuhnya memahami realitas dalam pengertian monorealistik. Dia menggunakan istilah al-Haqq yang mengacu pada Tuhan dan al-khalq yang mengacu pada makhluk atau apa pun selain al-Haqq.

Seperti yang telah kita pahami sebelumnya bahwa satu-satunya wujud adalah al-Haqq. Maka pertanyaannya adalah, “Bagaimana posisi ontologis al-khalq (makhluk)? Apakah alam raya benar-benar identik dengan al-Haqq atau memang alam raya ini tiada sebab yang ada hanyalah al-Haqq?”

Baca Juga  Menyelami Dunia Cinta: Filosofi Cinta Menurut Kahlil Gibran

Ibn Arabi menjawab pertanyaan ini dengan sederhana tetapi sangat ambigu atau taks. Alam raya ini adalah al-Haqq dan bukan al-Haqq: “huwa la huwa” (Dia dan bukan Dia). Ini berarti bahwa alam raya ini adalah al-Haqq, tetapi pada saat yang sama, alam raya bukanlah al-Haqq (Noer, 1995).

Ada dua sisi ontologis yang disodorkan oleh Ibn Arabi. Pertama, sebagaimana umumnya dipahami, Tuhan itu imanen dan serupa dengan alam raya. Kedua, yang sering dilalaikan dalam pandangan Ibn Arabi, Tuhan itu sungguh transenden dan berbeda dari alam raya.

***

Kedua poin ini, meski bertentangan satu sama lain, merupakan pandangan Ibn Arabi, dan kita mesti mengafirmasi keduanya, tak dapat memilih salah satunya dan meninggalkan yang lain.

Memang tampak taksa. Ketaksaan penjelasan semacam itu diakui oleh Ibn Arabi sendiri. “Tidak ada persoalan yang lebih taksa atau lebih pelik atau lebih misterius dari masalah ini” (Noer, 1995). Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang yang salah paham dengan pandangan ontologi Ibn Arabi dan menuduhnya menyamakan Tuhan dengan makhluk.

Di sini kita melihat bahwa sebenarnya Ibn Arabi tidak pernah benar-benar menegaskan bahwa dunia ini sepenuhnya al-Haqq (Tuhan). Jika istilah wahdat al-wujud menggambarkan pandangan sistemik Ibn Arabi yang demikian, lalu pertanyaannya apakah wahdat al-wujud masih bisa dipahami sebagai panteisme?

Pengertian Panteisme

Definisi panteisme yang paling umum dikemukakan oleh Henry C. Thiessen: “Panteisme ialah teori yang menganggap Tuhan sebagai satu-kesatuan dengan alam raya. Tuhan adalah semuanya; semuanya adalah Tuhan” (Thiessen, 1979). Definisi-definisi lain panteisme akan bernada serupa.

Misalnya, E. R. Naughton mendefinisikan panteisme lebih jelas, “Panteisme … merupakan pandangan tentang realitas yang cenderung mengidentikkan alam dengan Tuhan atau Tuhan dengan alam. Panteisme menekankan imanensi Tuhan dalam alam dan tidak menekankan, atau mengabaikan, transendensi-Nya atas alam” (Naughton, 1967).

Baca Juga  Antropologi Agama: Pandangan Clifford Geertz (Bagian 1)

Dari dua definisi yang telah diajukan, kita dapat menyoroti beberapa poin penting panteisme.

Pertama, panteisme itu menekankan imanensi Tuhan (keserupaan Tuhan dengan alam) dan mengabaikan transendensi Tuhan (ketakterbandingan Tuhan dengan apa pun). Kedua, Tuhan dan alam raya dianggap identik satu sama lain dan semua adalah Tuhan.

Ibn Arabi Bukanlah Seorang Panteis

Tentu saja dari definisi-definisi tersebut kita sama sekali tidak dapat menegaskan bahwa wahdat al-wujud dalam pandangan Ibn Arabi sama dengan panteisme, karena Ibn Arabi masih sangat menekankan transendensi Tuhan atas alam raya. Bagian yang terakhir ini mengukuhkan bahwa Ibn Arabi bukanlah seorang panteis.

Artinya, meski wahdat al-wujud merupakan pandangan tentang kesatuan wujud yang dinisbahkan pada Ibn Arabi, sebenarnya Ibn Arabi tidak berhenti pada kesatuan wujud saja, yang bernada menyamakan Tuhan dengan alam raya, melainkan juga menegaskan secara teguh transendensi Tuhan, bahwa Tuhan sama sekali tak terjangkau oleh apa pun, sehingga Tuhan betul-betul tak serupa dengan apa pun.

Editor: Yahya FR

Angga Arifka
10 posts

About author
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds