Perspektif

Ibnu Sina dan Eksperimen Manusia Melayang

4 Mins read

Kurang lebih satu milenium yang lalu, Ibnu Sina menuliskan eksperimen mental yang masyhur dikenal sebagai ‘Manusia Melayang’. Bukan main bahwa percobaan pikiran itu disebut para filsuf sebagai salah satu argumen filosofis-psikologis yang paling banyak berpengaruh dan memantik diskusi. Beberapa bahkan menyatakan kemampuannya untuk mematahkan juga melampaui ‘Cogito Ergo Sum’ ala Cartesian yang muncul sekitar lima abad berikutnya.

Dalam tulisan ini, kami mengajak sidang pembaca untuk turut mengenalnya. Mari bayangkan skenario berikut:

Tuhan baru saja menciptakan seorang manusia, yang baligh, dengan akal yang sempurna. Namun, manusia itu kini dalam keadaan melayang di sebuah ruang dimana ia tidak akan jatuh karena tiada ujung di dasar. Pula tidak ada yang akan mengangkatnya, atau ia juga tidak akan mencapai suatu tempat dimana ia bisa berpijak pada sesuatu. Ia hanya menggantung bebas di tengah-tengah antara dua titik.

Tapi cahaya juga tidak nampak sama sekali. Suara-suara sirna. Suatu kesunyian total menghinggapi. Tubuh manusia itu juga tidak terbebani apapun, tidak ada pakaian sehelai yang menempel di tubuh. Tetapi ia juga tidak merasa malu karena tiada siapa-siapa selainnya. Bagian-bagian tubuhnya, kedua tangan dan kaki, tidak bersentuhan. Sungguh manusia ini terisolasi dari segala di luar pikirannya.

Mengenali Jiwanya

Lantas apa kiranya yang dipikirkan oleh manusia ini? Ketika ia baru saja diciptakan dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah tabula rasa: suatu kertas kosong. Ia belum belajar satupun kata, dan ia tidak mengingat nama-nama dari segala benda. Apa itu bulan, bintang, langit, air dan api? Baginya, itu semua asing.

Tidak hanya sampai disitu. Semua indranya tidak mendapat stimulasi. Dan tubuhnya tidak dalam keadaan kekurangan ataupun kelebihan. Ia tidak kepanasan, ataupun kedinginan. Jika segalanya sudah tidak dapat mengganggu pikirannya, maka apa yang mungkin sedang ia pikirkan?

Baca Juga  Corona, Antara Hati-hati dan Panik

Manusia ini, menurut Ibnu Sina, menyadari satu hal yang pasti. Selain pasti, satu hal itu juga begitu dekat. Meskipun begitu, seringnya si manusia melayang dan bahkan kita sendiri tidak sadar akan satu hal itu.

Satu hal itu adalah jiwa. Atau, mungkin juga bisa disebut atau dipadankan dengan diri. Sebab jiwa itu adalah diri manusia. Bagaimana bisa demikian? Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa manusia itu telah mengeliminasi segala rangsangan dari jasadnya sehingga tidak ada yang rangsangan yang tersisa selain dari jiwanya. Maka, apa jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan ‘apakah aku?’ selain merujuk kepada jiwa sendiri?

Dari argumen ini, Ibnu Sina ingin menunjukkan bahwa manusia melayang akan lekas sadar bahwa jiwa dan tubuhnya berbeda. Bahwa dirinya tidak mungkin merupakan sesuatu yang telah diabaikan dalam proses refleksi imajinatif ekstrim di atas.

Kata Ibnu Sina juga, manusia melayang akan tahu bahwa jiwa adalah apa yang ia sadari–sekaligus menyadari. Dalam kata lain, jiwa adalah subjek sekaligus objek yang berpikir dan dipikirkan oleh aktivitasnya. Masalahnya, jiwa punya keterbatasan dalam berapa banyak hal yang bisa disadarinya dalam satu waktu.

Sebab itu maklum bila kita kadang tidak menyadari adanya jiwa kita, karena seringkali jiwa kita berfokus kepada hal-hal lain di luar dirinya. Seperti kala kita memikirkan ujian besok, atau menu makan malam apa nanti. Kita sering lupa, bahwa yang sedang mencemaskan semua itu adalah jiwa atau diri kita, bukan fisik kita.

Argumen ini kemudian dikembangkan untuk menyatakan hal berikut. Bahwa jiwa adalah hal yang immaterial. Ia dibalut oleh fisik, sebatas substansi yang mengada dalam tiga dimensi. Jiwa menggerakkan fisik untuk memenuhi keinginan jiwa. Bukan sebaliknya yang berlaku.

Baca Juga  Pulangkan Eks-ISIS!

Aku Ada, Maka Aku Berpikir

Lanjut Syaikhul Rais, setiap manusia entah apakah dia dalam keadaan terjaga, mabuk atau bahkan terlelap, senantiasa memiliki pengetahuan tentang dirinya. Pandangan ini ia tekankan untuk menolak pendapat bahwa manusia hanya akan menyadari dirinya ketika sedang memikirkan sesuatu yang lain.

Kata Aristoteles, sang filsuf besar Yunani, hanya dengan memikirkan sesuatu, maka barulah kita sadar bahwa diri kita ada sebagai subjek yang sedang memikirkan. Bagi Ibnu Sina, dalam kenyataannya kesadaran diri tidak hanya berlaku ketika manusia sedang memikirkan yang lain.

Sebagaimana eksperimen yang disebutnya, kita dapat menyadari eksistensi ‘aku’ ketika tidak ada satu hal lain lagi yang tersisa untuk dipikirkan. Nyatanya bahkan, kesadaran mengenai ‘aku’ ini datangnya jauh lebih dulu ketimbang pengetahuan-pengetahuan lain.

Akhirnya, argumen penutup Ibnu Sina sangat sederhana: bagaimana mungkin mengetahui suatu tindakan tanpa mengetahui pelaku tindakannya? Demikianlah jika kita rangkum akan timbul semacam diktum,”Aku ada, maka aku berpikir’. Bukan sebaliknya sebagaimana Descartes.

Namun, selintas beberapa orang dapat menyalahpahami Ibnu Sina dan menganggap argumennya mengandung falasi secara logika. Kata mereka, adalah kesimpulan yang meloncat untuk mengatakan bahwa: “Jika aku mengetahui A namun tidak mengetahui B, maka A dan B pastilah berbeda”.

Demikian itu sangat mungkin bila seseorang belum mengerti konstruksi ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.

Argumen Epistemologis: Ilmu Huduri dan Ilmu Husuli

Pengetahuan mengenai ‘Aku Ada’ adalah suatu kepastian yang mustahil ditolak menurut Ibnu Sina. Sebab, merujuk kepada bangunan epistemologis Islam, ia adalah pengetahuan yang sifatnya huduri. Ilmu huduri adalah ilmu yang hadir langsung esensinya (ke-apa-an) dalam jiwa. Pengetahuan macam ini tidak diperantarai yang lain.

Ketika kita mengantuk misalnya, kita pasti ‘tahu’ bahwa ada ‘Aku’ yang sedang dilanda ‘kantuk’. Pengetahuan ini tidak perlu dicari, atau disimpulkan dari data macam-macam. Cukup berefleksi, dan kita bisa menjangkau langsung eksistensi kita dan eksistensi rasa kantuk tadi.

Baca Juga  Peta Perlawanan Masyarakat Pesisir

Sama halnya dengan saat seseorang lapar, haus, atau kondisi-kondisi selainnya. Semua kondisi jiwa itu bisa lekas dirasakan seseorang. Semua manusia dapat langsung tahu, ketika ‘sensasi’ itu hadir dalam pikirannya. Bahwa ‘aku lapar’ atau ‘aku haus’ demikian jelas bagi dirinya.

Hal ini beda misalnya dengan pengetahuan kita tentang bintang. Pengetahuan ini diperantai berbagai hal. Mulanya, kita harus melihat objek bintang itu. Jika tidak melihatnya, maka minimal seseorang harus bercerita dulu pada kita tentang adanya sesuatu yang ‘bersinar, kerlap-kerlip’ kala petang.

Berikutnya, seseorang harus menamainya, ‘bintang’ dan membisiki kita,’itu bintang!’ maka barulah kita tahu itu bintang. Pengetahuan jenis inilah yang disebut dengan pengetahuan kehasilan, atau pengetahuan yang diperantarai.

Catatan Penutup

Sebagian mengatakan bahwa eksperimen manusia melayang merupakan bukti bahwa Ibnu Sina mendukung asholatul wujud (keutamaan ada). Namun, harus diingat bahwa argumen ini tidak mendiskusikan ‘Ada’ atau eksistensi secara luas. Melainkan, hanya salah satu ‘Ada’ (yaitu ‘Diri’) sebagaimana dimengerti dalam konteks Heideggerian.

Toh juga diskursus asholatul wujud baru berkembang setelah masa Ibnu Sina. Yakni dimulai oleh serangan Suhrawardi dengan asholatul mahiyah-nya, dan kemudian puncaknya pada Mulla Sadra yang meneguhkan asholatul wujud dengan dalil-dalil burhan yang dapat diterima para filsuf.

Terakhir, penting diingat bahwa eksperimen manusia melayang tidak terjadi di alam eksternal, melainkan di alam mental. Maka, kurang tepat untuk menarik kesimpulan mengenai alam eksternal menggunakan data alam mental. Sebabnya sederhana: bisa jadi apa yang berlaku di kedua alam itu berbeda.

Editor: Yahya FR

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds