Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, dan Ibnu Khaldun dari wilayah ini. Tapi pemikiran dan kehidupan tokoh-tokoh ini sebenarnya dipengaruhi oleh sebuah gerakan mesianis Al-Muwahhidun.
Kisah gerakan Al-Muwahhidun dimulai dengan seorang pemuda Berber dari suku Hargha yang tinggal di lembah Sus, selatan Pegunungan Atlas Tinggi. Pemuda ini bernama Muhammad bin Tumart. Menurut sumber-sumber zamannya, Ibnu Tumart berasal dari keluarga yang dikenal taat beragama.
Ibnu Tumart menunjukkan ketertarikan terhadap ilmu agama sejak muda, menghabiskan malam yang panjang di masjid membaca dengan cahaya lilin. Seperti pemuda lain yang menunjukkan bakat seperti itu, ia memulai perjalanan pendidikannya, talab al-‘ilm (mencari pengetahuan), sekitar tahun 1106M. Ia pergi ke Cordoba, kota yang saat itu tengah dipenuhi perdebatan antara fuqaha Maliki, yang bersimpati pada teologi Asy’ari dan ide-ide yang diungkapkan oleh al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya, dengan mereka yang menentang keras untuk mengubah sistem hukum mazhab Maliki yang sudah mapan.
Dia kemudian melakukan perjalanan ke timur melintasi Afrika Utara, bertemu dengan ahli fiqih dan hadits terkemuka mazhab Maliki, Abu Bakar Muhammad al-Turrushi di Alexandria, sebelum (mungkin) menuju ke Baghdad.
Ibnu Tumart dan Al-Ghazali
Banyak sumber sejarah menceritakan pertemuannya di Baghdad dengan ahli hukum dan teolog mazhab Syafi’i terkenal, al-Ghazali. Al-Ghazali kemudian memberinya misi untuk menggulingkan Dinasti Al-Murabitun/Almoravid, setelah dia mendengar bahwa seorang hakim Almoravid di kota Córdoba, Ibnu Hamdin, telah memerintahkan pembakaran karyanya yang terkenal, Ihya Ulumuddin.
Namun, kemungkinan bahwa Ibnu Tumart bertemu atau belajar dengan al-Ghazali diragukan oleh sejarawan Muslim seperti Ibnul Atsir al-Jazari, serta sejarawan barat modern karena masalah kronologis. Al-Ghazali telah pensiun ke kota Tus sebelum Ibnu Tumart bisa melakukan perjalanan ke Baghdad. Lebih mungkin dia mengunjungi Madrasah Nizamiyah di Baghdad, dimana al-Ghazali telah mengajar, kemudian menyerap ilmu dari ulama-ulama Syafi’i penerusnya.
Namun, inti dari cerita ini adalah untuk melegitimasi ajaran dan perilaku Ibn Tumart, yang berasal dari pandangan Ghazalian, tentang Islam dan menampilkan dakwahnya melawan dinasti Al-Murabitun sebagai seorang utusan ulama besar dari timur. Kontak simbolis Ibnu Tumart dengan Islam Ghazalian serta para ulama Syafi’i, Asy’ari, dan Sufi, menandai pendiriannya secara diametris bertentangan dengan banyak fuqaha Maliki di dinasti Al-Murabitun.
Biografinya, Kitab Akhbar al-Mahdi, yang ditulis oleh muridnya al-Baydhaq, merupakan hagiografi yang menceritakan kisah gurunya dan menampilkannya sebagai tipe ideal seorang muslim. Kitab Akhbar al-Mahdi juga merupakan teks yang dirancang untuk memuji pencapaian penerus Ibnu Tumart, yaitu Abdul Mu’min, dan menggambarkan pendirian kekhalifahan Al-Muwahhidun (Almohad) seperti yang ditahbiskan oleh Ibnu Tumart, daripada kisah langsung tentang kehidupannya.
Ibnu Tumart Mendakwahkan Ajarannya
Dalam bukunya, Al-Baydhaq mengkontraskan khotbah Ibnu Tumart yang fasih dan pembelajarannya di timur, dengan keterampilan retorika yang buruk dan pengetahuan terbatas dari para lawan bicaranya dari mazhab Maliki. Dia juga menggambarkan Ibn Tumart sebagai seorang moralis dan pengkhotbah yang bersemangat, jengkel dengan ketidaktahuan umat Islam tentang agama mereka sendiri. Dia memuji keberaniannya dan terkadang dorongan kekerasan atas kepatuhan publik terhadap nilai-nilai Islam yang membangun gagasan al-Ghazali tentang hisba (memerintah yang benar dan melarang yang salah).
Misi Ibnu Tumart untuk mereformasi praksis Islam membawanya ke dalam konflik tidak hanya dengan para ahli fiqh dan masyarakat umum, tetapi juga dengan otoritas politik pada masanya. Dia secara terbuka mencela mereka karena gagal dalam tugas mereka untuk menegakkan syariah dan agama dengan kekuatan politik.
Dari perspektif Islam, tujuan akhir kehidupan politik bukan semata-mata untuk menjaga keadilan dan kemakmuran duniawi, tetapi untuk mempersiapkan manusia menghadapi kehidupan akhirat dan para penguasa memiliki tanggung jawab yang berat untuk menempatkan rakyatnya di jalan menuju keselamatan abadi daripada kebinasaan.
***
Selama perjalanannya ke barat, dia bertanggung jawab untuk mengambil tindakan kekerasan terhadap praktik yang dianggap bertentangan dengan Islam, seperti minum anggur, mencampuradukkan pria dan wanita, dan pertunjukan musik, dan dia berbicara menentang keputusan fiqih yang ia anggap salah.
Ketika dia sampai di kota Marrakesh, Ibnu Tumart menyebut dinasti Al-Murabitun/Almoravid bodoh dan bergantung pada ahli hukum Maliki untuk memberikan kepemimpinan agama yang memadai bagi rakyat mereka. Konfrontasi antara Ibn Tumart dan Almoravid dimulai di masjid besar Marrakesh, di mana ia secara terbuka mengkritik penguasa Almoravid, Ali bin Yusuf, karena mengenakan litham (cadar) tradisional laki-laki suku Sanhaja dan duduk di atas jubah sutra yang mewah di masjid.
Aktivitasnya sering kali tidak disukai dan dia pernah diusir dari kota Tunis dan Bijaya secara bergantian. Dia mencari perlindungan dengan murid-muridnya, dimana di sebuah desa bernama Malala ia bertemu dengan seorang Berber muda bernama Abdul Mu’min bin Ali, yang nantinya akan menjadi penggantinya.
Ajaran Ibnu Tumart
Dari biografi al-Baydhaq dan buku A’azz ma yutlab (Panggilan Paling Mulia), kita dapat memperoleh wawasan tentang ajaran Ibnu Tumart. Didalamnya Islam disajikan sebagai tidak lebih dan tidak kurang dari monoteisme (tauhid) murni atau kepercayaan pada Tuhan dan Keesaan-Nya yang abadi, sebuah posisi yang diungkapkan dalam keyakinan (aqidah).
Menurut A’azz ma yutlab, tauhid terletak pada inti pesan yang dibawa oleh semua nabi dan rasul, yang dengan demikian adalah satu dan sama. Tidak ada monoteis sejati yang dapat memahami tauhid tanpa pengetahuan yang tepat tentang Al-Qur’an dan Hadis, dan pemahaman tentang ilmu-ilmu yang terkait, terutama metodologi Ilm al-hadits. Hanya dengan pemahaman ini yang memungkinkan seseorang untuk menilai setiap perkataan Nabi secara tepat dan menghilangkan keraguan (shakk) dan menghindari proposisi spekulatif (zann).
Akal atau logika dengan demikian menggabungkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum. Pendapat (ray) dan Interpretasi (tawil) memiliki tempatnya, tetapi hanya di tangan imam-mahdi dan penerusnya. Ini berbeda dengan para fuqaha Maliki dan ahli fiqh pada umumnya, dengan preferensi mereka mengambil sumber sekunder, yang mengandung tingkat keragaman, serta kontradiksi.
Pemikiran dan misi Ibnu Tumart berkembang dari perpaduan ide-ide keagamaan yang beredar di Andalusia, Ifriqiya dan Mashriq. Berbeda dengan preferensi akan budaya dari mazhab Maliki yang dipakai oleh dinasti Almurabitun, pemikiran Ibnu Tumart menunjukkan bentuk pemikiran hibrida Islam unik yang menyatukan sanad dari ilmu hadis, fiqih mazhab Zahiri dan Syafi’i, serta tindakan sosial (hisba) dan kegiatan spiritualis Ghazalian.
Ibnu Tumart juga menggabungkan pemikirannya dengan gagasan Syi’ah tentang imamah dan mahdi. Desa kelahirannya di Sus, memang daerah yang dikenal dengan kecenderungan pro-Ali sebelum penaklukan Almurabitun. Dari pencampuran berbagai pemahaman ini, ia menciptakan apa yang dianggapnya sebagai ajaran monoteistik murni (tauhid) yang dihidupkan kembali. Dari sinilah ia memberi julukan pada para pengikutnya al-muwahhidin (pendukung tauhid).
Editor: Soleh