IBTimes.ID – Apakah kontributor IBTimes bisa mencapai 1000 penulis? Sebuah tantangan bagi jajaran manajemen redaksi IBTimes untuk bisa mewujudkannya. Dengan format media komunitas yang terbuka untuk semua kalangan, juga dengan kelonggaran standar jurnalistik yang mengikuti selera kaum milenial yang cenderung fleksibel, maka obsesi mewujudkan 1000 kontributor IBTimes tampaknya bukan sesuatu yang mustahil.
Penulis di Era Medsos: Siapa Saja tentang Apa Saja
Kabar “matinya kepakaran” bukan isapan jempol belaka. Dunia medsos telah mewujudkannya. Sekarang, siapa saja bisa mengomentari isu-isu apa saja, dengan basis pengetahuan ala kadernya. Dengan kompetensi penulis di era medsos yang ala kadarnya justru kadang membuat beberapa isu menjadi viral. Komen-komen bertaburan di jejaring medsos: mendukung, kontra, atau hanya sekedar kasih jempol (like).
Dari kalangan netizen yang aktif di medsos, muncul beberapa profil dan akun yang memiliki banyak pengikut. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung: ribuan, bahkan sampai ratusan ribu hingga jutaan. Biasanya disebut influencer. Nah, inilah posisi yang menggeser peran kepakaran. Seorang pakar yang tidak terbiasa menggunakan medsos ketika mengunggah status akan kalah pengaruhnya dengan influencer.
Kadang para influencer mengunggah status tentang isu yang sedang aktual. Walaupun bukan kompetensinya, tetapi karena pengaruh influencer, isu menjadi dinamis dan mengalir terus. Di sinilah kepekaan para pengelola media massa online untuk berburu update status yang kira-kira layak dijadikan konten media. Kalau tulisan kurang panjang (maklum, biasanya hanya komen singkat), maka ada resep jitu: “panjangin dikit bro.” Status yang tadinya hanya dua atau tiga paragraf, kalau ditambah empat atau lima paragraf, maka jadilah sebuah artikel layak publis di media online.
Mereka Tidak Butuh Identitas Formal
Percaya atau tidak, kaum milenial memang kelewat pede dengan tampilan mereka. Lebih percaya diri tampil sebagai diri sendiri ketimbang berasosiasi atau membawa identitas organisasinya. Dunia internet yang ibarat “rimba maya” menjadi ajang ngeksis para netizen, khususnya para influencer, karena fasilitas yang nyaris serba ada dan serba mungkin telah terpenuhi.
Walhasil, para netizen atau bil-khusus para influencer memang tidak butuh identitas formal. Sekat-sekat ideologi, kelompok, organisasi, nyaris tidak berpengaruh bagi para netizen atau influencer untuk menjalin relasi atau berkomunikasi dengan pihak lain. Percaya atau tidak, IBTimes yang merupakan “Kanal Islam Berkemajuan” sudah berkali-kali menerima dan mempublis tulisan-tulisan dari kalangan non Muhammadiyah, bahkan dari kalangan non-muslim. Bener lho!
Dengan karakter masyarakat dunia maya yang demikian, maka kebutuhan media massa berbasis komunitas yang bersifat terbuka mutlak dibutuhkan. Tentu saja dengan visi pengelolaan yang moderat dan inklusif, bahkan harus terbuka untuk semua kalangan lintas ormas, lintas budaya, lintas iman, dan seterusnya.
Target 1000 Penulis
Dengan membaca karakteristik masyarakat dunia maya yang memang berbeda jauh dengan dunia wadag pada umumnya, dengan kepekaan redaktur IBTimes menyiris status-status media sosial yang potensial dibuat konten media, juga dengan memanfaatkan peran para influencer, maka mimpi mewujudkan 1000 penulis menjadi sangat mungkin.
Di era matinya kepakaran saat ini, manajemen media massa, terutama media online, memang harus berubah total. Perspektif media massa juga harus berubah, terutama pandangan tentang kaidah-kaidah jurnalistik konvensional. Sebab, era post-truth dan post-fact saat ini telah mengubah (tepatnya: memaksa berubah) media massa online untuk berlomba menyuguhkan narasi-narasi dengan framing masing-masing.
Dengan menjadikan IBTimes sebagai media berbasis komunitas yang terbuka untuk siapa saja, maka peran dan partisipasi netizen, influencer, dan juga pakar keilmuan akan menjadi kekuatan besar dalam rangka merebut narasi di media sosial. Mimpi 1000 penulis IBTimes tampaknya akan segera menjadi kenyataan. (Pemred)
Editor: Azaki K