Dear anak-anakku pemuda pemudi harapan bangsa yang kelak akan disebut-sebut terus sebagai bonus demografi kemudian dipertanyakan sumbangsihnya pada negara oleh penguasa
Bung Karno pernah bilang begini dalam sebuah pidatonya, “Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Dan beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Tentu saja sebagai anak ibu, haram hukumnya bagi kalian memahami secara tekstual kalimat yang diucapkan Bung Karno itu. Jangankan Semeru, gunungan setrikaan saja para orang tua itu sulit mencabut dari akarnya. Ibarat peribahasa, patah tumbuh hilang dipakai, dicuci, dijemur, ditumpuk lagi sampai oligarki tumbang dari muka bumi.
Lebih dari setengah abad kemudian, putri Si Bung yang pernah jadi presiden juga, mempertanyakan sumbangsih anak-anak muda bagi bangsa dan negara. Tidak perlu bertanya mana yang semestinya lebih digugu dari omongan keduanya. Karena politisi itu biasa berkata lain di mulut lain di atas perut.
Si Bung itu waktu bicara begitu, tentu saja tidak memasukkan pertimbangan bagaimana kalau 10 pemuda yang disodorkan padanya adalah jenis-jenis pemuda yang tulisan-tulisannya bikin merah telinga tapi tak bisa disuap dengan jabatan komisaris. Apakah dia akan tetap bersedia mengguncang dunia bersama mereka atau terguncang-guncang sendiri.
Putri Si Bung yang baru-baru ini mempertanyakan sumbangsih pemuda sambil mengomel mereka hanya bisa demonstrasi dan membakar fasilitas umum saja itu juga mungkin sudah lupa kursi presiden untuknya tempo hari itu asalnya dari mana.
Tak perlu gentar kalau hanya dipertanyakan sumbangsih untuk mementahkan kritik. Kata Gus Ulil, sudah ndak di dalam kekuasaan, ndak kritis pula, trus apa gunanya?
Nak, dulu kita pernah punya satu pemuda yang bahkan andai sendirian saja tulisan-tulisannya tetap akan mengguncang dunia. Tapi di kemudian hari, ketika ia rajin mengkritik Si Bung, maka terdepaklah ia dari pentas. Pemuda itu, andai masih hidup dan diminta nyetatus tentang keadaan saat ini, mungkin hanya perlu ongkang-ongkang kaki sambil meng-copy–paste tulisan-tulisannya di masa lalu tanpa mengubahnya satu kata pun.
***
“Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri”, tulisnya, yang dimuat oleh Pandji Masyarakat dan kemudian membuat majalah itu dibredel, serta Buya Hamka pimpinannya masuk bui.
Pemuda itu, usianya baru delapan belas ketika menulis tentang Hindania dan Wolandia, cerpen pertamanya yang menggambarkan betapa tajam penanya dan betapa jernih ia membaca situasi global. Beberapa tahun kemudian, ketika memasuki usia dua puluh limaan, bersama 3 orang temannya, ia ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena tulisan-tulisannya dianggap terlalu provokatif menghasut publik melawan pemerintah penjajah kolonial. Lima setengah bulan ditahan di penjara Belanda tak membuat semili pun surut keberaniannya. Apalah ibumu ini Nak, yang hanya diancam report akun saja sudah mendelep khawatir jatuh miskin.
Indonesia akhirnya merdeka, Nak, dan ia menepati sumpahnya. Ia kemudian menjadi orang nomer 2 di Republik. Andai hanya kekuasaan tujuannya tentu langkahnya hanya tinggal sejengkal saja. Tetapi ia memilih mengundurkan diri dari posisi itu ketika merasa sudah tak bisa lagi seiring sejalan sepemikiran, memilih terjun ke dunia akademik, mengajar. Tapi, baru 4 tahun saja, mendadak diberhentikan oleh pemerintah. Memang setelah menjadi akademisi pun tak surut kritiknya.
Kata nenekmu, satu potong nama ibu ia ambil dari nama istri pemuda yang pernah bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka itu. Karena nenekmu mengaguminya. Agak aneh sebenarnya, mantan aktivis GSNI yang bahkan pernah menjabat ketua ranting dan hafal mars marhaen sampai sekarang. Justru menyematkan nama istri orang yang tak terhitung kali menyerang Si Bung dengan keras, ke nama putrinya.
Sempat ibu bertanya, jawabannya “Bung Karno perempuannya banyak, aku tidak suka.” Oh ternyata personal issue. Karakter-karakter kharismatik badboysme flamboyanensis tidak masuk dalam hitungan nenekmu. Naturally, solehah dia.
Nak, masanya ibu, masanya nenekmu, masanya orang-orang tua sudah lewat. Kami bahkan tak lagi pernah membicarakan hal-hal semacam ini. Kami sibuk bertengkar tentang cucian, jemuran, dan masakan yang aneh rasanya karena bawangnya lupa dimasukkan. Tapi dalam suratan sejarah, Nak, pembawa tongkat estafet idealisme dan energi untuk memperbaiki keadaan itu selalu menjadi tugas kaum muda.
Jangan pernah menyalahi takdir dengan menjadi pemuda yang berpikir praktis dan pragmatis saja macam orang-orang tua. Berpikirlah merdeka, bercita-citalah yang tinggi seperti dicontohkan oleh para pendahulu kita. Kata Gus Ulil lagi, yang di luar kekuasaan tugasnya mengkritik. Yang di dalam tugasnya mendengarkan dan memperbaiki kebijakannya jika dikritik. Itu sudah.
Editor: Yahya FR