Opini

Identitas Lokal: Kunci Pemenangan Pilkada dan Harmoni Warga Yogyakarta

4 Mins read

Momentum ketika Pilkada

Mengulas kembali Pilkada di Yogyakarta 2024, hal ini cukup menarik untuk dibahas dimana pada tanggal 27 November 2024 merupakan momentum penting dalam demokrasi di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pilkada di kota ini menjadi sebuah ciri khas ketika calon dalam ajang kontestasi pilihan bupati dengan pendekatan identitas lokal. Pendekatan dengan keterkaitan politik dan budaya yang kental, sehingga calon yang menggunakan pendekatan budaya ini dapat mengetahui karakter pemilih. Pencalonan mereka tidak terasa hanya tampil terdaftar dalam partai politik saja melainkan melakukan bauran politik-budaya.

Untuk itu, pembahasan kali ini cocok dengan perjalanan kelima Bupati terpilih periode satu tahun ini.  Dibalik pilkada rutin yang kerap terjadi di berbagai provinsi di Indonesia yang menentukan kemenangan melalui jumlah penghitungan suara dan kemenangan tiap kandidat, pendekatan budaya sebagai identitas lokal sangat efektif untuk menentukan kemenangan. Hal ini bahkan lebih relevan daripada program teknokratis. Identitas lokal ini memperkuat kedudukan pasangan calon sebagai simbol, memori kolektif, dan sebagai cara membangun keharmonisan warga Yogyakarta. Untuk memberikan rasah bahwa “ini rumah saya” dan “mereka penting dipilih agar budaya tetap lestari”.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah dengan status keistimewaannya dimana kepala daerahnya atau gubernurnya merupakan simbol politik. Selain itu, tradisi Jawa yang terpatenkan gairahnya di ruang publik melengkapi bingkai keadaban dan budaya. Sentimen yang terbangun terhadap budaya kuat sehubungan dengan rasa tepa selira di kehidupan sosial yang tinggi. Dalam konteks ini, sering kali terdapat acara-acara tradisional seperti upacara tradisional, penggunaan bahasa halus, dan tata krama, menjadi bagian aturan tak tertulis dalam regulasi yang selalu ditanamkan. Menjadi sebuah kebiasaan baik untuk sopan santun sebagai aktivitas kesehariannya.

Baca Juga  Muhammad Iqbal (2) : Jalan Politik Kemerdekaan dan Nasionalisme

Kedekatan Budaya Sebagai Faktor Penting

Dengan demikian, kedekatan budaya inilah yang menjadi faktor penting bagi calon bupati agar selaras dengan hati pemilih. Tentu karena kehidupan sehari-hari warga Yogyakarta sangat kental dengan praktik tradisi seperti tata krama, bahasa halus, dan menyelenggarakan acara-acara tradisional. Sehingga, preferensi politik yang terbentuk tidak hanya melihat janji paslon melainkan melihat kesesuaian kultural yang disandingkan dengan personalnya. Bupati layaknya seperti pemilihan kepala daerah, karena gubernurnya merupakan Raja yang berdasarkan turun temurun dari anak Raja sebelumnya.

Salah satu contohnya adalah pemilihan wali kota Yogyakarta. Pada masa kampanye itu Hasto Wardoyo menggunakan pendekatan politik budaya dengan turun jalan membangun kedekatan dengan masyarakat. Kampanye dilakukan melalui penggunaan bahasa halus dan tata krama, sehingga memunculkan sosoknya sebagai pemimpin yang mengayomi dan selaras dengan budaya lokal. Kemudian beliau juga memakai narasi Hasta Jogja Mulia yakni komitmen menciptakan keadilan, kemakmuran, lestari, dan berkeadaban dalam masyarakat. Membangun kedekatan dengan para komunitas budaya, seperti seniman, budayawan, komunitas paguyuban dan kampung, serta pelaku UMKM. Hal ini menjadi penguat citra pemimpin yang memanusiakan manusia. Menggunakan simbol kebudayaan ketika menghadiri upacara tradisional, berbusana pada momen tertentu, pengutipan falasafah jawa pada pidatonya sehingga cenderung mudah diterima masyarakat. Justru dengan budaya dapat mengurangi tendensius politik, stabilitas dan pengabdian kepada masyarakat.

Saat kampanye, Hasto Wardoyo dan tim pemenangan melakukan aksi sosial membangun kedekatan dengan bersih-bersih sampah keliling di 14 kemantren yang menyentuh nilai gotong royong. Pasca Pemilu, Hasto mengadakan Jogja Festival Forum dan Expo. Kegiatan ini menampilkan pertunjukan musik, simposium, srawung, dan dialog kreatif. Tujuannya adalah sebagai ajang promosi “Yogya kota festival dunia”. Penampilan budaya lokal dilakukan dengan mengadakan “nusantara menari” yang menghadirkan penari dari berbagai daerah. Mereka tampil dan memperlihatkan keragaman budaya, serta memberikan dukungan revitalisasi ruang budaya di Yogyakarta. Selain itu, juga terdapat merti budaya undhuh-undhuh untuk merayakan tradisi syukur hasil bumi. Terdapat juga festival andong tradisional untuk menekankan pentingnya pelestarian andong sebagai simbol budaya di masa sekarang.

Baca Juga  Pilkada dan Harapan Munculnya Pemimpin Perubahan

Kebudayaan yang tidak Terpisahkan

Hal ini persis seperti apa yang dibahas oleh Clifford Geertz (1980) yaitu konsep negara teater sebagai model pemerintahan yang dekat dengan tradisi dan upacara. Festival, tradisi syukur, tata krama sopan santun, dan memekarkan budaya yang ada dapat dipergunakan sebagai tindakan politik secara halus. Raja sebagai kepala daerah sekaligus menjaga keseimbangan budaya melalui acara-acara tradisi. Justru dengan penekanan pada tradisi dan pertunjukan budaya dapat memperkuat hubungan dekat dengan masyarakat yang juga mengeskpresikan politik halus.

Keunikan di Yogyakarta juga secara harmonis terbentuk dalam pertunjukan budaya yang dijadikan satu ekosistem kraton. Para bupati di Yogyakarta melakukan pertunjukan sesuai arahan Raja. Sleman yaitu kirab bregodo, Gunungkidul yaitu Edukasi Satriya, Kulonprogo Siraman Pusaka, serta Bantul yaitu Adiluhung dan Garebeg Sekaten dengan membawa gunungan dari Kraton ke pantai selatan. Tradisi ini dilakukan sebagai wujud berbagi berkah serta rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus simbol penyelarasan dunia. Gunungan ini melambangkan limpahan reseki dan kesuburan dari Tuhan.

Rangkaian aktivitas kebudayaan yang melibatkan Hasto Wardoyo, baik pada fase kampanye maupun setelah resmi menjabat sebagai Wali Kota Yogyakarta, memperlihatkan bahwa kebudayaan diposisikan sebagai bagian integral dari strategi politik dan tata kelola pemerintahan. Pada masa kontestasi elektoral, pendekatan berbasis nilai dan identitas lokal seperti kebersamaan, kesederhanaan, dan kedekatan dengan warga, berfungsi membangun kepercayaan publik. Selain itu juga untuk menghadirkan wajah politik yang selaras dengan karakter sosial masyarakat Yogyakarta yang menjunjung harmoni dan tradisi

Setelah terpilih, orientasi tersebut berlanjut dalam bentuk dukungan nyata terhadap kegiatan seni, pelestarian tradisi, serta pembukaan ruang dialog antara pemerintah dan komunitas budaya. Konsistensi ini menunjukkan bahwa penggunaan budaya tidak berhenti sebagai simbol kampanye, melainkan berkembang menjadi kerangka kerja pemerintahan. Budaya juga dapat memperkuat legitimasi kepemimpinan dan mendorong partisipasi masyarakat. Kehadiran kebudayaan di ruang-ruang publik menjadi sarana untuk memperkuat rasa memiliki warga terhadap kota serta menjaga kohesi sosial

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Persia di Timur Tengah

Dengan demikian, praktik politik yang dijalankan Hasto Wardoyo dapat dipahami sebagai pendekatan politik berbasis kebudayaan. Pendekatan ini memanfaatkan nilai dan simbol lokal untuk membentuk orientasi publik, memperluas dukungan sosial, dan menciptakan stabilitas dalam demokrasi lokal. Dalam konteks Yogyakarta, strategi ini menunjukkan bahwa kebudayaan tidak hanya berfungsi sebagai warisan, tetapi juga sebagai modal politik yang efektif ketika dijalankan secara konsisten. Strategi akan membentuk aturan tidak tertulis dalam membuat kebijakan publik.

Editor : Ikrima

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Articles
Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read
Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial…
Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read
Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *