Oleh: Muh. Akmal Ahsan
Ada yang menarik dalam momen diskusi saya bersama kawan HMI beberapa tahun silam. Kekuatan kuantitas IMM di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menurut kawan saya ini tidak sesuai dengan kualitas kemandirian gerakannya. Maka sambil bercanda ia mengatakan “IMM itu Ikatan Mahasiswa Manja”.
Sejak ucapan itu dilontarkan hingga kini saya masih terus mencari jawaban atas pernyataan itu. Sampai pada saat ini, saya menjabat sebagai Pimpinan Cabang di IMM AR. Fakhrudin Kota Yogyakarta.
Ikatan Mahasiswa Manja
Benarkah IMM manja? Itu rumusan persoalan dasar untuk memandang tapak gerakan IMM.
Menurut saya, ikatan ini belum dapat sama sekali disebut sebagai organisasi yang mandiri, berdiri di atas kaki sendiri. Dalam banyak kesempatan IMM masih mengekor kepada Muhammadiyah (jika tidak ingin dikatakan menyusu). Setidaknya hal itu dapat dilihat dari dua alasan.
Pertama, dalam konteks perkaderan tampak organisasi ini terbius oleh kebijakan-kebijakan kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Kurang lebih banyak menguntungkan Ortom Muhammadiyah, termasuk IMM.
Kemudahan dalm menjaring kader kian menjadikan IMM santai. Seolah-olah tak punya kemandirian untuk berinovasi menjaring mahasiswa tanpa bantuan kebijakan legal-formal yang dalam beberapa hal telah menjadikan kader tumpul inovasi. Hal demikian berimbas pada ketidakseriusan pimpinan organisasi untuk benar-benar mandiri melahirkan generasi.
Sebaliknya, IMM tampak ekslusif jika dibandingkan dengan organisasi lainnya. Perihal itu pula yang menjadikannya “pongah”. Seolah-olah merasa cukup padahal kebesarannya kerap hanya sebab bantuan kebijakan kampus Muhammadiyah.
Stigma negatif “katak dalam tempurung”pun tak dapat dihindarkan. Kebijakan kewajiban Darul Arqam Dasar bisa jadi pisau yang berbalik membunuh orientasi IMM.
Menyoal Pendanaan dari PTM
Kedua, kegiatan atau aktivitas organisasi secara finansial tampak sangat bergantung pada sumbangan dari Muhammadiyah dan institusi lainnya. Tidak hanya fasilitas sekretariat, PTM juga memberikan pendanaan yang konsisten pada Ortom yang satu ini.
Hingga pada saat tulisan ini digoreskan, belum ada inovasi ekonomi dari IMM untuk menjadikan dirinya mandiri dalam berorganisasi. Tentu kita sangat mengharapkan ada perputaran ekonomi yang tersistem dengan baik. Sehingga IMM tidak melulu mengharapkan uluran tangan dari Muhammadiyah dan institusi lainnya.
Lagi pula, ada Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan dalam organisasi yang pada dasarnya diharapkan mampu menjadi lokomotif gerakan. Guna membawa organisasi ini mandiri secara finansial.
Sifat Manja dan Pragmatisme Kader
Sifat manja telah menguburkan kekuatan pikiran dan gerakan kader untuk menghasilkan inovasi dobrakan yang produktif. Hal demikian terjadi sebab telah terbiasa dalam bantuan serta uluran tangan. Permisif.
Maka hasilnya kader terjerembab dalam budaya instan. Di mana gerakan tidak dimulai dari keringat paling dasar, namun atas dorongan dari kekuatan-kekuatan lainnya. Inilah alasannya pula mengapa IMM kerap kali kaku untuk menghasilkan produktifitas gerakan yang memuaskan.
Bukan hanya itu, beberapa kader menjadikan kesempatan ini untuk meraup untung sendiri. Maka proposal seringkali dimainkan, menghadirkan kegiatan-kegiatan yang tidak tentu arahnya namun menghasilkan uang yang banyak. Di sinilah permulaan kader kehilangan jati diri dan integritasnya.
Saya seringkali bertanya “apakah ada yang sia-sia dalam ber-IMM?” jawaban atas pertanyaan itu menggelar dalam sikap dan tindakan kader. Jika organisasi hadir untuk memandirikan maka sia-sialah kita ber-IMM. Jika perkaderan diciptakan untuk membentuk generasi yang berdikari, maka sia-sialah kita bila masih berlindung dalam ketiak Muhammadiyah dan institus-institusi lainnya.
IMM dan organisasi Mahasiswa lainnya tampak sering mengecam pragmatisme, budaya instan dan sikap acuh tak acuh. Namun etika inteleketual paling dasar ialah mempraktikkannya dalam jejak individu sebagai kader.
IMM telah berusia 55 tahun, usia yang tak lagi muda. Maka ia adalah refleksi paling utama betapa selama ini IMM masih terjerambab dalam budaya yang manja. Lebih-lebih lagi sikap pragmatis dalam bergerak dan menjalankan roda organisasi. Kita harus berdiri, mandiri dan berpijak di kaki sendiri tanpa menghilangkan komunikasi lintas-institusi.
Membayangkan Visi Kemandirian IMM
Saya membayangkan betapa kuatnya IMM bilamana memiliki sistem ekonomi di tubuh organisasi. Tempat dimana mereka mampu mengembangkan minat kewirausahaannya sambil membantu ekonomi organisasi.
Suatu masa yang menggembirakan, dimana kader tak lagi bertekuk lutut pada kebijakan-kebijakan PTM. Sebab telah mampu membentuk dirinya sendiri, mandiri dalam segala aspek. Menjauh dari anggapan Ikatan Mahasiswa Manja. Maka saat-saat itu adalah saat yang paling “puncak” bagi IMM. Sebuah organisasi yang membuktikan mampu mengurusi komunitasnya sendiri sebelum mengabdi dalam komunitas masyarakat yang lebih luas.
Paling tidak, Muhammadiyah telah memberi teladan demikian dari masa ke masa. Muhammadiyah telah membuktikan dirinya mandiri dan kuat dalam segala hal. Maka tak pernah ia menetek dalam kuasa negara sebab telah rampung dalam dirinya sendiri.
Hanya dengan demikian kita dapat keluar dari stigma negatif sebagai organisasi yang manja, pemalas, dan selalu berlindung pada ketiak Muhammadiyah. Demikian itu pula jalan terang untuk berjalan dengan kaki yang kuat dan nalar yang tetap utuh.
*) Ketua Bidang RPK PC IMM AR Fakhruddin, Yogyakarta