Hubungan agama dan politik adalah salah satu persoalan klasik yang hingga kini belum dianggap selesai, dan barangkali juga memang tidak akan pernah mencapai titik final. Mengingat, isu agama dan politik itu sifatnya stigmatis dan dinamis.
Isu yang paling utama adalah kesejahteraan. Kenyataan bahwa umat Islam pernah berjaya di masa lalu dan keinginan untuk kembali mengulang sejarah dengan mengadopsi cara lama (katakanlah khilafah), bahwa hanya dengan cara itulah kesejahteraan dicapai.
Selain itu, hubungan sentimentil dengan Barat sebagai imperialis (musuh) dan Islam yang tertindas; melahirkan sikap tersendiri dari negara-negara muslim terhadap Barat.
Berangkat dari stigma tersebut, perbincangan mengenai hubungan agama dan politik yang oleh sebagian pihak dianggap sudah selesai, kembali didiskusikan (Sunaryo, 2020).
Agama dan Sekularisme
Agama pernah diprediksi akan hilang dari kehidupan manusia yang semakin modern dan rasional. Namun dalam kenyataannya, agama tidak betul-betul lenyap. Oleh banyak cendekiawan, prediksi tersebut dianggap keliru. Prediksi itu tidak didasarkan pada hakikat manusia yang selalu memiliki hasrat pada Yang Transenden (Tuhan).
Dalam sejarah sekularisasi di Barat (Eropa, Amerika) yang sudah berlangsung ratusan tahun, tetap saja pada kenyataannya juga tidak betul-betul menihilkan agama secara total dari kehidupan publik dan politik. Agama masih hadir meski dalam wajah yang sudah disesuaikan dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa simbol keagamaan juga masih tetap dipertahankan.
Bicara mengenai sekularisme, ada dua pemahaman yang sering muncul; pertama, sekularisme dipahami sebagai paham yang anti terhadap agama, kedua, sekularisme dipahami sebagai paham pemisahan urusan agama dan negara (politik). Dari dua pemahaman ini, pemahaman kedua yang sering kali dipahami secara umum ketika menyebut sekularisme.
Dari kenyataan itu, muncul pertanyaan bagaimana kemudian Islam memandang sekularisme. Olivier Roy dalam Secularism Confronts Islam menyatakan bahwa Islam dan sekularisme tidak sejalan. Menurut kodratnya, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (Sunaryo, 2020).
Problem Negara Islam
Di banyak negara-negara dengan penduduk muslim, sebagian besar menjadikan Islam sebagai fondasi negara, sebut saja misalnya; Iran, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Yaman dan Mauritania. Sementara negara-negara muslim lain, meski tidak menyebut secara eksplisit, masyarakatnya melihat posisi agama sebagai wujud yang penting dalam kehidupan.
Namun di antara negara agama yang disebut di atas, beberapa masih terjebak dalam situasi problematis, misalnya Arab Saudi dan Iran karena subjektivitas mazhab (sunni-syiah) ditambah lagi Iran menganggap Saudi lebih pro dan tunduk terhadap Barat (Budhy Munawar Rachman, 2023).
Sikap saling membatalkan legitimasi tersebut mengandung arti bahwa kedua-duanya tidak mungkin sama benar. Yang mungkin adalah salah satunya benar dan satunya lagi salah, atau kedua-duanya salah, sedangkan yang benar adalah sesuatu yang ketiga, yakni masing-masing dari keduanya sama-sama mengandung unsur kebenaran dan kesalahan.
Relasi Agama dan Politik di Indonesia
Dalam konteks kita di Indonesia, relasi agama dan politik (negara) pada dasarnya sudah diformulasikan secara moderat (wasathiyah). Negara tidak didasarkan pada agama tertentu, namun peran agama tidak dinegasi dalam kehidupan bernegara. Formulasi ini merupakan jalan tengah antara model negara muslim yang sekuler seperti Turki atau negara agama seperti di beberapa negara Timur Tengah.
Formulasi ini tentu bukan tanpa ancaman. Pihak-pihak yang berupaya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara bahkan juga sekularisasi terus dilakukan. Dan resistensi dari kelompok moderat dan nasionalis masih bisa membendung dorongan itu.
Kita mesti bersikap proporsional dalam melihat hubungan agama dan politik. Kelompok-kelompok agama tentu saja memiliki hak legitim untuk mengajukan pandangan keagamaannya di ruang publik. Namun pada saat yang sama, kelompok agama ini juga perlu mengembangkan sikap yang dewasa.
Mereka perlu menerjemahkan nilai-nilai keagamaannya agar kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi dan keadilan dalam masyarakat yang majemuk, bukan memaksakan kehendak apalagi mengatasnamakan Islam sebagai mayoritas.
Pada kasus ini, diskriminasi acap kali kita temukan pada kelompok-kelompok minoritas. Tentu hal ini kontra produktif dengan Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta); menjunjung tinggi nilai egaliter (kesetaraan), kebebasan, dan keadilan. Artinya, Islam tidak pernah bertentangan dengan demokrasi, justru keduanya memiliki titik temu yang sejalan (Budhy Munawar Rachman, 2023).
Mencari Titik Temu Agama dan Politik
Relasi Islam dengan realitas zaman mesti dipandang dalam posisi dialektis untuk menjawab kebutuhan. Sehingga perkembangan ke arah kemajuan (progresivitas) merupakan sebuah keniscayaan tanpa menghilangkan ajaran utama (maqashid) Islam itu sendiri.
Agar kemudian kita tidak terjebak pada situasi problematis sebagaimana telah diuraikan, kita mesti memahami bahwa apa yang dikehendaki Islam tentang tatanan sosial politik atau negara dan pemerintah ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide mutakhir tentang negara dan pemerintah itu. Mengenai hal ini, pembaruan dalam pemikiran Islam tentang relasi agama dan politik (negara) harus terus diupayakan sebagai sebuah cara untuk mencari titik temu diantara keduanya, yaitu:
Pertama, jalan demokrasi dan kebebasan untuk dunia muslim. Tak hanya Indonesia bahkan dunia akan menjadi lebih damai dan maju, jika negara mayoritas muslim hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan yang berkeadilan (inklusif).
Kedua, jika inginkan nilai islami memenuhi ruang publik, maka kepemimpinan atau pemerintahannya harus amanah, bersih, transparan, dan pro kepada kesejahteraan. Kepemimpinan ideal ini sangat linear dengan masyarakat berkemajuan yang berkeadaban.
Ketiga, rumah bersama kita bernama Indonesia. Pancasila menjadi platform bersama Indonesia yang beragam, atau mengutip Cak Nur (w. 2005), Pancasila merupakan common platform (konsensus dasar) sebagaimana Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw.
Keempat, pemikiran Islam mendukung transformasi dari teologi pluralisme ke civic pluralism. Hal ini meniscayakan Indonesia tanpa diskriminasi, artinya semua individu adalah warga negara yang setara, sejajar.
Kelima, demokratisasi dari bawah. Menumbuhkan ekonomi kerakyatan melalui kepemimpinan atau pemerintahan yang bersih, dan menyediakan ruang publik yang melindungi kesejahteraan dan keberagaman (pluralitas).
Umat Islam secara kolektif berkewajiban dalam upaya menanamkan nilai luhur Islam yang demokratis tersebut. Selain itu, kelompok muslim yang lebih moderat (misalnya NU, Muhammadiyah) harus lebih aktif, memberikan alternatif bagi komunitas muslim; sebuah model realisasi nilai-nilai Islam yang universal dalam kehidupan politik (publik), sebagai terjemahan dari Pancasila, memastikan negara hadir menjadi pelindung hak-hak dasar semua warga, tanpa memandang latar agama.
Editor: Soleh