Ilmu Gharib al-Hadis | Hadis mulanya merupakan bahasa lisan kemudian berubah menjadi bahasa teks setelah terjadi proses transformasi. Hal ini menjadi pertanyaan besar apakah esensi dari bahasa yang meliputi rasa dan karsa bisa terwakili dengan bahasa teks yang pembukuannya pun tidak disaksikan oleh pelaku dan saksi-saksi kejadiannya.
Berangkat dari itu, perlu adanya peninjauan hadis secara etimologi sebagai upaya dalam melestarikan bahasa hadis sehingga tidak asing diterima generasi yang semakin menjahui zaman Nabi Saw.
Peninjauan hadis dari segi dirayah-nya yang lebih spesifik dalam membahas istilah yang sulit dikenal atau sering disebut Ilmu Gharib al-Hadis. Dengan adanya pembahasan secara khusus ini, diharapkan generasi yang semakin menjauhi bahasa hadis bisa memahami lebih tepat arti kosakata hadis itu sendiri. Sehingga dengan pemahaman yang tepat akan dihasilkan hukum yang tepat pula.
Pengertian Ilmu Gharib al-Hadis
Ibnu Shalah men-ta’rif-kan Ilmu Gharib al-Hadis sebagai ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafaz-lafaz dalam matan Hadis yang sulit lagi sukar dipahamkan, karena jarang sekali digunakan.
Ilmu ini membahas dan menjelaskan hadis Rasulullah Saw yang sukar diketahui dan dipahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau bahasa Arab pasar. Sedangkan, menurut Ulumul Hadis, ilmu ini menyingkap apa yang tersembunyi dalam lafaz hadis. Ibnu Shalah dalam buku Ulumul Hadis menyatakan:
“Ilmu untuk mengetahui lafaz matan hadis yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali dipakai”. Kitab yang cukup baik dalam masalah ini adalah An-Nihayah fi Gharibil Hadis wal Atsar, karya Ibnu Atsir.
Perintis Ilmu Gharib al-Hadis adalah Abu Ubaidah Ma’mar Ibnu Mutsan at Taimi, seorang ulama hadis yang berasal dari Basrah. Beliau meninggal tahun 210 H (Rahman Fathur, 1997, 16).
Macam-Macam Hadis Gharib
Hadis Gharib dari segi tempat kesendiriannya terbagi menjadi dua macam: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisby.
(1) Gharib Muthlaq atau Fardu Mutlaq. Gharib Muthlaq atau Fardu Mutlaq yaitu bilamana ke-gharib-annya terletak pada asal sanadnya. Artinya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi sendirian pada asal sanadnya. Contohnya sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang, malu itu salah satu cabang dari iman”.
Periwayat hadis tersebut sesudah sahabat Abu hurairah Ra, hanya seorang tabi’in Abu Shahih.
Dari Abu Shahih pun, hanya diriwayatkan oleh Abdullah ibn Dinar. Dari Ibnu Dinar, diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal terus Abu Amir. Dari Abu Amir diriwayatkan oleh tiga orang rawi yang seorang dari mereka adalah sanad pertama Imam Bukhori, yaitu Abdullah ibn Sa’id dan Abdun ibn Humaid, dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim (Subhi As-Shalih, 1995: 25)
(2) Gharib Nisby atau Fardu Nisby. Gharib Nisby atau Fardu Nisby yaitu hadis yang ke-gharib-annya berada di pertengahan sanadnya. Artinya, semula diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal sanadnya, kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi dari mereka para perawi tersebut. Contohnya: Hadis Malik dari Az-Zuhri dari Anas Ra (Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, 1998: 21).
”Sesungguhnya Nabi Saw masuk ke kota Mekkah sementara di atas kepalnya alat penutu”. Hadis ini diriwayatkan oleh Malik dan Az-Zuhri.
Adapun berbagai ke-gharib-an atau ketersediaan yang dianggap sebagai Gharib Nisby antara lain:
Seorang perawi terpercaya secara sendirian meriwayatkan hadis.
Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara sendirian dari seorang perawi tertentu pula.
Para Muhadditsin mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk menafsirkan ke-Gharib-an matan Hadis. Di antara hal-hal yang dipandang baik untuk menafsirkan ke-Gharib-an hadis ialah:
- Hadis yang sanadnya berlainan dengan hadis yang bermatan gharib tersebut.
- Penjelasan dari Sahabat yang meriwayatkan hadis atau dari sahabat lain yang tidak meriwayatkannya.
- Penjelasan dari rawi selain sahabat.
***
Hukum dari banyaknya hadis gharib yang masuk dalam kategori dha’if inilah kemudian para ulama sangat berhati-hati terhadapnya dan melarang untuk memperbanyak periwayatan hadis jenis ini (Agus Solahudin, 2009: 17).
Imam Ahmad mengatakan: “Janganlah kamu tulis hadis-hadis Gharib, sebab ia adalah hadis-hadis mungkar yang umumnya bersumber dari para perowi dha’if.”
Kebanyakan para Muhadditsin menganggap bahwa perintis Ilmu Gharib al-Hadis itu adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna at-Taimy salah seorang Ulama Hadis yang berasal dari kota Basrah.
Ilmu yang telah dirintis oleh kedua ulama tersebut disempurnakan dan dikembangkan oleh ulama-ulama kemudian. Hingga melahirkan beberapa kitab Gharib al-Hadis yang sangat berguna dalam memahami hadis.
Kitab-kitab itu salah satunya, Gharib al-Hadis oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (157-224 H). Tidak sedikit para ahli ilmu yang memuji kitab itu sebagai kitab yang kaya akan faidah dan berharga.
Kesimpulan
Ilmu Gahrib al-Hadis adalah ilmu yang membahas tentang matan hadis yang sulit dan sukar untuk dipahami. Sehingga, membutuhkan keahlian yang khusus untuk memahaminya.
Objek dari Ilmu Gharib al-Hadis adalah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami maksudnya.
Hukum hadis Gharib begitu pula dengan hadis Fardu, kalau memang dibedakan, bisa berkedudukan sahih atau hasan jika ia telah memenuhi syarat-syaratnya. Namun, mayoritas hadis Gharib berkualitas dha’if.
Berangkat dari banyaknya hadis Gharib yang masuk dalam kategori dha’if inilah kemudian para ulama sangat berhati-hati terhadapnya dan melarang untuk memperbanyak periwayatan hadis jenis ini.