Mazhab fikih Islam Hanafi adalah mazhab hukum Islam yang muncul pertama kali dari kalangan Sunni. Sesuai namanya, mazhab Hanafi ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 81 H, dan meninggal pada tahun 150 H.
Mazhab Hanafi
Nama Abu Hanifah ialah gelar, sedangkan nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Gelar tersebut diberikan pada Imam Mazhab Hanafi ini oleh masyarakat Kufah lantaran ketekunannya dalam beribadah, kejujuran, dan kecenderungannya pada kebenaran.
Saat usia anak-anak, Imam Abu Hanifah telah hafal al-Qur’an. Ia juga belajar hadis kepada Sahal bin Sa’ad al-Saidy di Madinah dan Amr bin Wailah di Mekkah. Perjalanannya menekuni hadis kemudian membuahkan karya di bidang hadis, yakni Musnad Abi Hanifah.
Sementara itu, Abu Hanifah juga belajar fikih Islam kepada Hammad bin Abi Sulaiman; salah seorang pakar fikih Islam rasionalis di Kufah. Abu Hanifah juga belajar kepada banyak ulama lain melalui dialog dan pertukaran ide. Baik saat menunaikan ibadah haji, maupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya.
Ia juga sempat mukim di Mekkah beberapa tahun dan mempelajari hadis-hadis Nabi. Serta mendalami ilmu agama lainnya, dari tokoh-tokoh yang sempat dijumpai. Imam Abu Hanifah kemudian merumuskan sembilan kaidah-kaidah hukum, di antaranya sebagai berikut.
Sembilan Kaidah Hukum Imam Abu Hanifah
Ada sembilan kaidah hukum dalam mazhab Hanafi. Kaidah-kaidah tersebut merupakan kaidah berdasar pandangan fikih Imam Abu Hanifah. Pertama, kepastian penunjukkan makna umum serupa dengan kepastian penunjukkan makna khusus.
Kedua, pendapat seorang sahabat yang berbeda dengan dalil umum berarti pengkhususan (takhsis) terhadap dalil tersebut.
Ketiga, banyaknya orang yang meriwayatkan hadis tidak berarti menunjukkan bahwa riwayat tersebut unggul (rajih).
Keempat, tidak boleh mengambil kesimpulan hukum dari syarat atau sifat yang ada dalam sebuah teks dalil.
Kelima, tidak boleh menerima hadis dengan seorang perawi (khabar ahad) yang memuat larangan atau keharusan tertentu. Sedangkan, situasi dan kondisi realitas memaksa untuk melanggarnya (‘umum al-balwa).
Keenam, penunjukkan makna perintah kepada wajib secara pasti diambil jika tidak ada faktor lain yang memalingkannya.
Ketujuh, jika perawi hukum adalah orang yang faqih (memiliki kedalaman dalam ilmu fikih), namun perilakunya bertentangan dengan hadis yang diriwayatkannya. Maka yang dijadikan pegangan adalah perilaku hukumnya, bukan riwayat yang disampaikannya.
Kedelapan, mendahulukan qiyas jali daripada khabar ahad yang bertentangan dengannya. Kesembilan, boleh mengambil hukum melalui Istihsan dan meninggalkan Qiyas jika situasi mendesak untuk melakukannya.
Dalam kaitan dengan istihsan, Imam Abu Hanifah pernah mengatakan. “Kami tahu bahwa Istihsan adalah hasil pemikiran (ra’yu) yang lebih bagus dari apa yang kami perkirakan. Namun, jika ada seseorang yang datang kepada kami dengan membawa pemikiran yang lebih bagus dari Istihsan, maka kami akan menerimanya.”
Secara umum, murid Abu Hanifah dibagi menjadi dua kelompok besar. Yakni kelompok yang tidak selalu mendampinginya, dan kelompok yang selalu mendampinginya (mulazamah daimah); sekaligus mengambil ilmu darinya sampai Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Imam Abu Hanifah sangat mencintai mereka dan memiliki perhatian khusus terhadap mereka.
Hubungannya dengan mereka ibarat seorang ayah dengan anaknya sendiri. Abu Hanifah mengasihi mereka dan memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan. Bahkan Imam Abu Hanifah menikahkan mereka jika sudah mencapai batas umur menikah.
Imam Hanafi dan Karyanya
Abu Hanifah tidak meninggalkan satu karya pun kecuali artikel-artikel pendek yang ditulis atas namanya. Misalnya al-fiqh al-akbar, al-‘Alim wa al-Muta’allim, suratnya kepada Usman al-Bitti, dan artikelnya yang menyanggah pandangan Qadariyyah.
Kesemua artikel ini berbicara soal ilmu Kalam dan nasehat kebaikan. Tidak ada satu pun buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah mengenai hukum Islam. Namun, para muridnya telah banyak berjasa membukukan pemikiran dan pandangan-pandangannya.
Di antara muridnya, yang paling banyak berjasa adalah dua murid agung yang dalam jangka sangat lama mendampinginya. Yakni Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansari yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Abu Yusuf, dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
Imam Abu Yusuf hidup sekitar 32 tahun setelah wafatnya Imam Abu Hanifah. Ia telah membukukan pendapat Imam Abu Hanifah dalam beberapa karya. Di antaranya Kitab al-Atsar, sebuah kitab yang berisi sebagian besar fatwa murid Nabi (tabi’in) dari kalangan pakar fikih daerah Iraq. Dan pemikiran hukum Islam Imam Abu Hanifah.
Ikhtilaf Ibn Abi Laila, yakni kitab yang berisi perbedaan pandangan hukum antara Imam Abu Hanifah dan hakim Ibn Abi Laila. Dan kitab ini lebih condong pada pendapat Imam Abu Hanifah.
Ar-Radd ‘ala Siyar al-‘Auza’i, yakni kitab yang berisi pendapat al-Auza’i mengenai hubungan antara kaum muslimin dan non-muslimin pada saat perang dan jihad. Dan buku ini lebih condong pada fikih Iraq.
Dan Kitab al-Kharaj, yakni berisi sistem keuangan bagi Negara Islam. Hal itu lantaran terkadang Imam Abu Yusuf berbeda pendapat dengan gurunya, yakni Imam Abu Hanifah. Terkadang pula membela pendapat gurunya dengan argumentasi yang mendetail.
Sementara itu, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani tidak begitu lama mendampingi Imam Abu Hanifah dalam majelisnya. Namun, ia telah menyempurnakan pelajarannya kepada Imam Abu Yusuf.
Pembukuan yang ia lakukan merupakan model pembukuan fikih pertama yang mengomplikasi berbagai corak fikih. Dalam hal ini, ia bekerja sama dengan guru keduanya, yakni Imam Abu Yusuf.
Akhir Hayat
Sebenarnya terdapat banyak karya, namun hanya enam karya yang dipandang sebagai rujukan fikih utama. Yakni Kitab al-Asli atau al-Mabsuth, Kitab az-Ziyadat, Kitab al-Jami’ as-Saghir, Kitab al-Jami’ al Kabir, Kitab as-Sair as-Saghir dan Kitab as-Sair al-Kabir.
Sebagian kitab ini telah ditelaah bersama gurunya dan sebagian lainnya ditelaah sendiri. Kitab yang mengandung kata ‘kabir’ berarti ditelaahnya sendiri, sedangkan yang ada kata ‘saghir’ ditelaah bersama gurunya.
Keenam kitab tersebut kemudian disebut Dhahir ar-Riwayah. Kandungannya harus diikuti dan tidak boleh dilakukan tarjih (seleksi keunggulan) atasnya, kecuali dengan tarjih khusus.
Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab dalam keadaan shalat. Pada saat itu, diceritakan bahwa ada lebih dari 5.000 orang yang menyalatkan jenazahnya.
Editor: Zahra/Nabhan