Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya, ada mazhab-mazhab lain dalam fiqh Islam, salah satunya adalah mazhab Laitsy.
Mazhab tersebut dinisbahkan kepada Abu Al-Harits Al-Laits bin Saad bin Abdurrahman Al-Fahmi Al-Qalqashandi, seorang ahli hukum, ulama hadis, dan imam umat Mesir pada masanya. Ia dilahirkan di Qarqasyandah, sebuah desa di daerah Mesir Bawah, pada tahun 94 H/713 M. Kendatipun ia memiliki nisbah bahasa Arab (Al-Fahmi), ulama terkemuka Al-Dhahabi dalam karya besar ensiklopedinya yang berjudul “Siyar A`lam an-Nubala”, menyebutkan bahwa keluarganya dari Isfahan (Persia), dan ini kemudian menjadi rujukan umum bagi para penulis selanjutnya.
Al-Laits mendapat pendidikannya di tangan para pengikut Mesir, kemudian ia meninggalkan Mesir ketika ia berumur dua puluh tahun menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 113 H. Selama disana ia banyak belajar dan berdiskusi dengan para ulama Hijaz. Ia bertemu dengan Jafar bin Rabiah, Rafi mawla Ibnu Umar RA, Ibnu Syihab az-Zuhri, Imam Malik bin Anas, dll.
Dia kemudian kembali ke Mesir dimana rakyat Mesir menghormatinya sampai-sampai para gubernur dan hakim di Mesir biasa meminta pendapat dan nasihatnya. Ia sempat memegang jabatan Mesir pada masa kepemimpinan Hawthara bin Sahl di kekhalifahan Marwan bin Muhammad. Abu Jaafar Al-Mansur juga menawarinya jabatan gubernur Mesir, tetapi ditolaknya.
Kemampuan Fiqih Imam al-Laits
Setelah mempelajari secara mendalam semua bidang ilmu pengetahuan Islam yang dikenal saat itu, al-Laits menjadi ulama besar di Mesir. Ia sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Bahkan, ia rajin berkorespondensi dengan Imam Malik melalui surat mengenai berbagai pokok hukum Islam, salah satunya adalah pendapat Malik tentang dimasukkannya adat istiadat Madinah sebagai sumber hukum Islam yang independen.
Imam Yahya bin Bukair berkata bahwa Imam Al-Laits adalah orang yang pakar di bidang fikih, lisannya cakap dalam berbahasa Arab, mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, dan menguasai ilmu Nahwu. Ia juga disebut memiliki banyak hafalan hadits dan ingatannya kuat. Menarik untuk dicatat bahwa Imam Asy-Syafi’i yang banyak belajar kepada Malik dan murid-murid al-Laits, dilaporkan telah mengamati bahwa al-Laits adalah seorang ahli hukum yang lebih hebat daripada Malik. Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata “Al-Laits itu dapat dipercaya dan terbukti”, sementara Al-Ajli dan Al-Nasa’i berkata “Imam Laits itu dapat dipercaya”.
Ada seseorang yang pernah berkata pada Imam Al-Laits, “Semoga Allah memberikan kesenangan kepadamu. Sesungguhnya kami telah mendengar hadits yang kamu sampaikan tidak tercantum di dalam buku-bukumu”. Imam al-Laits menjawab, “Apakah semua yang ada di dalam hatiku terdapat dalam bukuku? Seandainya aku menuliskan semua yang ada di dalam fikiranku, maka kendaraanku ini tidak akan mampu memuatnya”.
Keteladanan Imam Al-Laits
Al-Laits menjadi seorang ahli fikih, ahli hadits di Mesir, ia seorang yang rendah hati dan pemalu. Sebuah daerah akan merasa bangga dengan keberadaannya di sana. Sebab semua pejabat, hakim, dan kepala-kepala lembaga yang ada di Mesir berada di bawah perintahnya dan senantiasa merujuk pada pandangannya. Ia selalu diajak untuk bermusyawarah, bahkan Al Manshur memintanya untuk menjadi wakilnya di suatu wilayah, namun ia tidak bisa menerimanya karena alasan status sosialnya sebagai keturunan mawla.
Setiap hari, Al-Laits memiliki empat majlis yang harus ia hadiri. Pertama, la hadir di majelis Sultan, baik untuk mewakilinya atau memenuhi kebutuhannya. Di samping itu ia juga menjadi pengawas Sultan. Oleh karena itu, jika ia menemukan ada hal yang tidak beres yang dilakukan oleh para pejabat peradilan, atau ada keputusan yang tidak benar yang dilakukan Sultan, maka ia akan mengirim surat kepada Amirul Mukminin. Amirul Mukminin kemudian mencopot yang bersangkutan dari jabatannya.
Kedua, ia menghadiri majelis para ahli hadits. la pernah berkata, “Selamatkan para pemilik toko (pedagang), sebab hati mereka selalu terikat dengan pasar”. Ketiga, la hadir di majelis yang membahas beragam masalah, ia dikerumuni banyak orang dan menanyakan kepadanya tentang banyak hal.
Keempat, la berada di majelis yang memenuhi kebutuhan orang banyak, ia tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya, baik kebutuhan yang sepele atau yang besar. la selalu membagikan madu dan lemak sapi di kala musim dingin, dan di musim panas, ia membagikan tepung yang diisi gula.
Bukti Al-Laits tidak hanya memikirkan masalah akhirat, tetapi juga berkontribusi dalam hubungan bermasyarakat juga tercantum dalam cerita lain. Dalam Siyar A’lam An-Nubala, Utsman bin Shalih juga menyebutkan bahwa para penduduk Mesir kurang menghargai Utsman bin Affan, akibat ia menunjuk Abdullah bin Abi Sarah sebagai gubernur. Lalu muncullah Al-Laits yang menyampaikan tentang keutamaan Utsman, maka penduduk Mesir berhenti menghujat Utsman.
Wafat dan Hilangnya Mazhab Al-Laitsy
Imam Al-Laits bin Saad meninggal di Mesir pada hari Jumat, tanggal 15 Syaban tahun 175 H. Pemakamannya sangat besar, dan orang-orang Mesir berduka atas dia sampai-sampai mereka saling menghibur dan menangis. Musa bin Issa Al-Hashemi, gubernur Harun Al-Rashid di Mesir saat itu, juga datang untuk mendoakannya. Al-Laits bin Saad dimakamkan di pemakaman Sadfi di Al-Qarafa Al-Sughra, dan makamnya tetap terkenal hingga saat ini.
Aliran fiqh Imam Al-Laits menghilang tak lama setelah kematiannya. Menurut Bilal Philips, ada tiga alasan utama ini bisa terjadi. Alasan pertama adalah bahwa Imam al-Laits tidak menyusun, mendiktekan, atau memerintahkan para pengikutnya untuk mencatat pendapat-pendapat hukumnya dan bukti-buktinya. Sehingga, hanya sedikit yang tersisa dari mazhabnya selain beberapa referensi dalam buku-buku mengenai Fiqh perbandingan.
Alasan kedua adalah bahwa Al-Laits hanya memiliki sedikit murid, tidak satupun dari mereka menjadi ahli fiqh terkemuka, sehingga mazhab tersebut tidak dipopulerkan. Alasan ketiga dan terakhir adalah bahwa Imam Al-Syafi’i menetap di Mesir tak lama setelah kematian Al-Laits, sehingga mazhab Syafi’i dengan cepat menggantikan mazhab Laitsy.
Namun, pengaruh Al-Laits tidak sepenuhnya hilang. Pendapat dan interpretasi hukumnya tetap tercatat dalam karya-karya ulama berikutnya yang menghormati keilmuannya. Pemikirannya juga memengaruhi fiqih Imam Syafii, bahkan ketika mazhab Laitsy miliknya sendiri memudar.
Editor: Soleh