Adalah Imam Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husein bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam atau yang sering dikenal dengan sebutan Imam an-Nawawi. Salah seorang ulama kharismatik yang dilahirkan di sebuah daerah yang bernama Nawa, pada bulan Muharram tahun ke-631 H.
Ayahnya adalah seorang yang salih lagi takwa, yang memberikan dedikasi tinggi kepada Imam an-Nawawi sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang beriman, beradab lagi berilmu.
Penisbatan nama an-Nawawi menjadikan ‘Nawa’ yang merupakan daerah kecil tempat tinggalnya yang dahulu tidak terkenal menjadi sangat masyhur manakala hadirnya Imam an-Nawawi sebagai salah seorang ulama.
Perangainya yang wara membuat siapa saja terkagum dan tak jarang jatuh hati dengannya. Begitupun dengan semangat beliau dalam mencari ilmu yang tidak dapat diragukan lagi. Sehingga dalam usianya yang singkat, beliau mampu menulis banyak kitab yang sangat membantu umat Islam dan menjadi rujukan oleh para ulama di sepanjang zaman.
Kelebihan Imam an-Nawasi Sejak Kecil
Kelebihan Imam an-Nawawi memang sudah terlihat sejak kecil. Kecenderungannya terhadap ilmu menghantarkan beliau menjadi seorang penghafal Al-Qur’an di usianya yang masih belia.
Diceritakan oleh Syeikh Yasin bin Yusuf az-Zarkasyi bahwa beliau melihat Imam an-Nawawi ketika berumur sepuluh tahun ia dipaksa oleh teman-temannya untuk bermain, namun Imam an-Nawawi menolaknya dan ia lebih memilih untuk tetap membaca Al-Qur’an.
Hal ini membuat Syeikh Yasin terkagum sehingga beliau menemui guru Imam an-Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa kelak Imam an-Nawawi akan menjadi seorang ulama besar di zamannnya.
Usaha Keras Imam an-Nawawi untuk Menuntut Ilmu
Menginjak usia dewasa, Imam an-Nawawi bersama dengan orang tuanya pindah ke Damaskus untuk rihlah thalabul ilmi dan berguru kepada ulama-ulama besar di sana. Dalam usahanya mencari ilmu ia mendatangi dua belas halaqoh (majelis) ke dua belas guru yang berbeda setiap harinya.
Adapun jarak yang ditempuh beliau juga bukan jarak yang dekat. Namun karena semangatnya dalam menuntut ilmu segala upaya beliau kerahkan dengan semaksimal mungkin. Beliau menjadikan thalabul ilmi sebagai kesibukan selama hidupnya. Beliau banyak menghafalkan kitab, hadis, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu.
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Imam an-Nawawi selalu berdoa agar ia selalu ditunjukkan hal-hal baik dari gurunya. Ia juga berkata bahwa, “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harokat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku” (Syadzaratudz Dzahab, 5/355).
Kezuhudan Imam an-Nawawi
Kehidupan Imam an-Nawawi selalu diselimuti dengan kezuhudan, ia bahkan menolak untuk mengambil gajinya sebagai seorang pengajar di Daarul Hadist Asyrafiyyah Damaskus.
Kesehariannya sangat jauh berbeda dengan manusia pada umumnya. Ia hanya mau makan makanan yang jelas kehalalannya saja. Sehingga, walaupun di Damaskus terdapat banyak buah-buahan, ia tidak mau sembarang memakannya. Karena, ia menganggap bahwa kebun tempat panen merupakan tempat banyak terjadinya syubhat.
Beliau adalah salah satu trendsetter terbaik dalam hal manajemen waktu belajar. Beliau hampir tidak pernah tidur dan tak pernah merebahkan tubuhnya di lantai atau di tempat sandaran.
Sesekalinya tertidur, beliau hanya meletakkan wajahnya di atas kitab. Ketika terbangun, ia langsung mengucapkan istighfar karena merasa telah menyianyiakan waktu belajarnya.
Sehari-hari beliau gunakan untuk membaca, menghafal, belajar, dan menulis berbagai hadis dan kitab dari berbagai disiplin ilmu baik fikih, ushul fikih, ulumul hadis, dan juga tauhid.
Keseriusan Imam an-Nawawi dalam mencari ilmu ini menjadikan beliau di gelari sebagai Al-Faqih, Al-Hafidz, Az-Zahid, Ahadul A’lam, Syaikhul Islam, Muhyiddin, dan lain sebagainya.
***
Namun karena sifat tawadu yang dimiliki oleh beliau menjadikan beliau membenci gelar Muhyiddin (yang menghidupkan agama) karena beliau beranggapan bahwa agama Islam adalah agama yang hidup dan kokoh. Tidak perlu orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkan atau meninggalkannya.
Dalam sebuah riwayat, beliau juga mengatakan bahwa beliau tidak akan memaafkan orang yang menggelari dirinya sebagai Muhyiddin. Itulah salah satu bukti ketawaduan beliau sekaligus menjadi teladan bagi kita dalam menuntut ilmu agar tidak terjebak dalam kesombongan.
Selain sifat-sifat beliau di atas, terdapat salah satu sifat yang patut kita contoh dari sosok Imam an-Nawawi yaitu kesederhanaannya dalam berbagai kondisi. Beliau juga seorang yang tidak banyak berbicara dan beliau berbicara manakala ada yang mengucapkan salam dengannya karena Islam mengajarkan bahwa menjawab salam adalah suatu kewajiban.
Namun diamnya Imam an-Nawawi bukan semata-mata tanpa alasan. Dalam beberapa peristiwa saat dimintai persetujuan oleh Raja Az-Zahir, beliau menolak dengan keras karena hal tersebut berisi tentang kezaliman. Artinya beliau seorang penggerak amar ma’ruf nahi munkar sekalipun jarang berbicara.
Karya-Karya Imam an-Nawawi
Imam an-Nawawi adalah representasi salah seorang ulama yang sangat produktif selama hidupnya. Tercatat 45 tahun usianya, beliau telah berhasil menulis kitab dengan jumlah yang sangat banyak.
Di antara kitab-kitab beliau yang terkenal adalah kitab hadis Al-Arba’in fi Mabni al-Islam wa Qawa’id al-Ahkam, Riyadh as-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, Minhaju at-Thalibin, Bustanul Arifin, At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, dan masih banyak lagi.
Selain kredibilitas beliau dalam hal keilmuan, beliau juga salah satu ulama yang sangat beradab terhadap gurunya. Beberapa guru-guru beliau yang mashyur di antaranya adalah Syaikh Abu Ishaq al-Muradi ( w 668 H), Syaikh Ibnu Qudamah al-Maqdisi ( w 682 H), Syaikh Kamal al-Maghribi (w 650 H), dan Ibnu Malik (w 672 H).
Kisah yang Bisa Kita Teladani
Demikianlah teladan kisah dari seorang Imam an-Nawawi yang dapat dijadikan sebagai motivasi dan refleksi dalam perjalanan menuntut ilmu. Meskipun realita dulu dan sekarang sangat berbeda, namun semangat yang diajarkan oleh beliau selayaknya bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Kuncinya ada pada kemauan atau azzam, yakni mau memulai lebih awal, siap bertanggung jawab atas pilihan dan bersedia istikamah dalam belajar karena ilmu itu tidak ada yang instan.
Sejatinya penuntut ilmu yang sesungguhnya adalah ia yang tidak hanya mencatat ilmunya dalam tulisan saja, namun juga dalam hati yang kemudian direalisasikan dengan perbuatan.
Editor: Yahya FR