Barang kali tokoh sufisme ini tidak asing lagi ditelinga para ahli agama atau pun orang-orang yang giat mendalami ketarekatan. Akan tetapi, orang-orang awam pasti asing dengan mereka. Mungkin juga, yang banyak orang ketahui hanyalah Tarekat Qadiriyah yang mengikuti jalur Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Tarekat Naqshabandiyah pengikut Syekh Muhammad Baha’udin an-Naqshabandi. Namun jika di Indonesia, kedua tarekat ini digabungkan secara khusus oleh Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi menjadi Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah.
Padahal, ia merupakan tokoh yang sangat penting dalam dunia ketarekatan. Para pengikutnya pun juga mendirikan Tarekat Junaidiyah sebagai jalur makrifatullah. Sebagaimana ungkapan Margaret Smith dalam bukunya Reading from Mystics of Islam pada halaman 34, ia mengatakan, “Dia menjadi tokoh terkemuka di antara para guru tarekat sufi, walau dia hanya mengajar sejumlah kecil muridnya, hanya sejumlah sepuluh orang saja”.
Riwayat Pendidikan Imam Junaid Al-Baghdadi
Mari kita langsung menulusuri biografi Imam Junaid Al-Baghdadi. Dari sejumlah riwayat hidupnya, para pengamat tidak ada yang tahu persis kapan sebenarnya tanggal dan tahun kelahiran beliau. Yang ada hanyalah perkiraan-perkiraan menurut riwayat rentang waktu pada masa belajarnya atau masa bergurunya. Perkiraan pertama ketika Imam Junaid belajar kepada Ibnu Tsaur yang saat itu berusia 20 tahun menurut beberapa sumber.
Selanjutnya, karena proses belajar yang biasanya memakan waktu sekitar tiga sampai lima tahun, maka bisa diperkirakan Imam Junaid ini lahir pada tahun 215 Hijriah. Namun, dalam sumber yang lain, sebagaimana dalam kutipan cerita Imam Asy-Sya’rani dan Imam Ahmad bin Muhammad Al-Arihi dalam buku Berguru Pada Nabi Khidir, Imam Al-Junaid ini lahir pada tahun 221 Hijriah (Ali Maghfur Syadzili Iskandar, 2020: 163).
Asal-Usul Imam Junaid Al-Baghdadi
Imam Al-Junaid sebenarnya berketurunan Persia. Namun, beliau lahir dan dibesarkan di Baghdad. Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujj al-Nahawandi. Keluarganya berasal dari Nihawand, yaitu kota yang berada di provinsi Jibal, Persia. Wilayah tersebut merupakan kota yang tertua yang dikuasai oleh pasukan Islam sekitar tahun 19-21 H yakni pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab (w. 23 H).
Perlu diketahui bahwa Nihawand merupakan kota gudang bahan pangan bagi wilayah sekitarnya, seperti Baghdad, Basrah, Kufah, serta lainnya. Di samping memiliki lahan pertanian yang subur, Nihawand juga dikenal sebagai wilayah yang paling sejuk di Persia.
Kondisi kota Nihawand yang seperti ini sulit dibayangkan oleh para penulis mengapa keluarga Imam Al-Junaid malah pindah ke Baghdad. Akan tetapi, tidak berlebihan jika keluarga Imam Junaid pindah ke Baghdad yang merupakan kota metropolis. Karena memang keluarganya adalah seorang pedagang.
Hal ini dapat mudah diketahui karena nampak pada gelar-gelar yang dialamatkan kepada nama mereka. Seperti ayahnya yang dipanggil dengan al-Qawariry, yaitu pedagang barang pecah belah (kaca atau keramik), pamannya, yaitu Sari al-Saqati yang telah lama dikenal sebagai pedagang rempah-rempah oleh penduduk Baghdad, dan Imam Junaid sendiri yang juga diberi gelar al-Khazzaz, yaitu pedagang sutra.
Guru-Guru Imam Junaid Al-Baghdadi
Dalam proses belajarnya, Imam Junaid memiliki guru-guru yang terkemuka dalam sejarah hidupnya. Berawal belajar agama dari pamannya sendiri dari garis ibu, yaitu Syekh Abu al-Hasan Sari ibn al-Mughallis as-Saqati (w. 253 H).
Beliau adalah murid dari Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) dan merupakan salah seorang sufi yang terkemuka di kota Baghdad. Kemudian pada usia 20 tahun, Imam Al-Junaid mulai belajar hadis dan fikih pada Syekh Abu Tsaur (w. 240 H). Kecerdasan dan analisisnya yang tajam ketika mengulas berbagai masalah yang diajukan gurunya, sering kali membuat kagum gurunya tersebut.
Selain pamannya yang juga memberikan arahan untuk membatasi diri dalam pergaulan, Syekh Abu Ja’far al-Qassab juga tidak jauh berbeda dalam pengajaran tasawufnya kepada Imam Al-Junaid. Setelah itu, Imam Junaid juga berguru kepada Syekh Abu Abd Allah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, yang merupakan sufi keturunan Arab lahir di kota Basrah pada tahun 165 Hijriah. Gelar al-Muhasibi berasal dari pengajarannya yang selalu berujung pada intropeksi diri, yaitu menghitung dan memeriksa hati nurani secara terus-menerus.
Al-Muhasibi selalu mengajak Junaid meninggalkan rumahnya demi menyaksikan apa yang terjadi dilingkungannya. Hal ini tentu berbeda dari pengajaran kedua gurunya yang awal yang menekankan uzlah dan khalwat. Maka dari itu, Imam Junaid berhasil menggabungkan kedua ajaran tersebut sehingga dikenal sebagai seorang sufi yang luwes dan fleksibel, jauh dari kekakuan dan cara berpikir sempit.
***
Selain guru-guru di atas, Imam Junaid juga pernah berguru kepada Syekh Muhammad bin Ali Al-Qassab, Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi, serta Syaikh Az-Za’farani. Dengan banyaknya guru yang membimbing serta kecerdasan dalam menggabungkan ajaran-ajaran para gurunya, Imam Junaid tumbuh menjadi alim fikih dan berfatwa dikalangan Syaikh Abu Tsaur. Beliau juga tergolong Imam Besar dan panutan yang bisa diterima pada semua kalangan, serta termasuk ulama yang mengajarkan keseimbangan antara ilmu dan amal.
Selain itu, Imam Al-Junaid juga tumbuh menjadi guru dari segala guru sufi seperti yang diriwayatkan dalam Risalah Al-Qusyairiyah bahwa orang pemula yang mencoba menyusun aturan-aturan wirid untuk membimbing sejumlah kecil murid-muridnya adalah Abu Qasim Junaid al-Baghdadi, yang meninggal tahun 297 H (Simuh, 2019: 275).
Hal ini senada dengan ungkapan Abd Al-Hakim Hasan dalam kitabnya Al-Tashawwuf fi al-Syi’ri al-Arabi. Ia juga berpendapat bahwa gelar sayid al-tha’ifah pantas disandangnya karena beliau adalah orang yang pertama meletakan sistem ikatan ketarekatan.
Jadi, bisa dibilang Imam Junaid ini merupakan titik temu yang diakui sebagai pemukanya berbagai aliran atau mazhab sufi yang berpaham moderat dan menghargai syariat (Simuh, 2019: 276). Aliran sufi yang dibawanya pun juga bertipologi tasawuf sunni sebagai mana keterangan Risalah al-Qusyairiyah pada halaman 20, Imam Junaid dengan tegas mengatakan “Segala jalan tersumbat bagi hamba, terkecuali bagi orang mengikuti sunnah Rasul SAW”.
Wallahu A’lam Bishawab.
Editor: Yahya FR