Kelahiran IMM
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) lahir dari sejarah yang dinamis. Ia tumbuh secara gradual seiring dinamika gerakan Muhammadiyah dan situasi kebangsaan saling mutual satu sama lain baik di wilayah ideologi, sosial politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
1936 wacana mendirikan organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah di tataran mahasiswa mulai tumbuh bersamaan dengan ide Muhammadiyah untuk membangun Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Sembilan belas tahun kemudian, (1955) PTM pertama dengan fakultas hukum dan filsafat didirikan di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Setelah PTM pertama ada, tahun 1956 Muhammadiyah mengamanatkan Pemuda Muhammadiyah untuk membuat study group di kalangan mahasiswa. Sejak 1958, di bawah kepimimpinan Ar. Sutan Mansur, ide Muhammadiyah untuk mendirikan PTM mulai terealisasi di pelbagai daerah, termasuk Surakarta, Yogyakarta dan Jakarta .
Seiring perkembangan PTM mulai menampakkan wajahnya di tahun 1960-an, ide mendirikan IMM mulai bangkit lagi dan semakin kuat di tahun ini. Hal ini ditandai dengan mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta menjelang Muktamar Muhammadiyah tahun 1962.
***
Tahun 1963, Mohamad Djasman Al Kindi -selanjutnya disapa Djasman- menginisiasi untuk melakukan penjajakan di Mahasiswa yang searah dengan pandangan Muhammadiyah. Kemudian mulailah didirikan organisasi dakwah di Kampus.
Setahun kemudian, (1964) organisasi yang saat ini berusia 57 tahun ditetapkan dengan nama IMM sebagai Ortom oleh Djasman bersama beberapa kolega dan disetujui oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang saat itu dipimpin oleh H. Ahmad Badawi. Djasman Al Kindi pun dipilih sebagai ketua umum IMM petama dan menjabat dua periode hingga tahun 1970.
Tahun ini, IMM menapaki usianya yang ke-57 tahun. Menjadi organisasi mahasiswa arus utama dengan usia yang tak lagi seumur jagung, IMM telah banyak kontribusi membersamai langkah kemuhammadiyahan dan kebangsaan.
Lebih dari setengah abad, Ia hadir di tengan persoalan umat manusia sebagai solusi dan suluh peradaban masyarakat utama. Sebagai kader pemimpin, Immawan dan Immawati tak ubah seperti kata Donald McGanon, mantan presiden Westinghouse Broadcasting Company United State, “Leadership is an Action, not Position”. Bahwa, kepimimpinan adalah suatu tindakan, bukan posisi.
Mengenal Sosok Pendiri
Lahir di Yogyakarta 6 September 1938, tokoh dengan nama lengkap Drs. H. Mohamad Djasman Al Kindi dibesarkan dalam kultur Muhammadiyah yang begitu kuat. Meski demikian, ketenaran dan keterpercayaan publik pada sosok Djasman bukan karena trah keluarganya yang secara biologis masih tersambung dengan K.H Ahmad Dahlan, melainkan pemikiran dan kiprahnya.
Ia layak disebut sosok intelektual cum aktivis. Pribadi yang cinta terhadap ilmu pengetahuan dan aktif dalam pelbagai aktivitas sosial kemanusiaan. Beberapa dekade hidupnya, ia dikenal sebagai mentor para tokoh sentral di Muhammadiyah. Di antaranya, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., M. Busyro Muqoddas, M.Hum., Prof. Dr. K. H. Yunahar Ilyas, M.Ag., dan masih banyak lagi. Spirit kaderisasi (mentoring) ini boleh jadi adalah bagian dari manifestasi teologis ayat-ayat pengaderan yang dipegang IMM antara lain sebagaimana Q.S An-Nisa [11].
Dalam kesaksian Prof. Abdul Malik Fadjar (Prof. Malik), Djasman adalah inspirator untuk dunia perguruan tinggi Muhammadiyah. Boleh jadi, sejarah mencatat jasanya sebagai titik kebangkitan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ia juga adalah aktor dibalik berdirinya Majelis Diklitbang Muhammadiyah dengan maksud mengawal kemajuan Muhammadiyah di bidang pendidikan tinggi di seluruh Indonesia. Bahkan beliaulah yang membesarkan para begawan senior, tokoh-tokoh intelektual Muhammadiyah: Amin Rais, Ahmad Syafi’i Maarif, dan Kuntowijoyo sepulang dari Amerika, kata Prof Malik.
Oleh kiprahnya yang luar biasa itu, maka pantas Djasman diberi gelar Bapak Perkaderan Muhammadiyah. “Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah” merupakan model pemikiran Djasman. Etos pemikiran ini begitu tertanam dalam dirinya. Etos ini kemudian dimantapkan menjadi salah satu poin dalam enam penegasan IMM yakni “5. Ilmu adalah amaliah dan amalan adalah ilmiah”.
Corak keilmuan Djasman adalah multidisiplin. Seolah tidak mensakralkan keangkuhan linearitas, keilmuan Djasman tidak bersifat monodisiplin. Selain banyak mengoleksi buku, wawasanya bertambah luas dengan menamatkan studi sarjana muda sastra dan kebudayaan sekaligus sarjan Geografi di Universitas Gajah Mada tahun 1964.
Tak lama setelah itu, ia mengikuti management course di University of Malaya Kuala Lumpur. Kemudian, ia menamatkan studi non degree di program pascasarjana Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, Canada (1974-1975).
Mewujudkan Islam Berkemajuan
Dalam hal ini, Islam berkemajuan dimaknai sebagai terapan, dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Muhammadiyah yakni, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Pada tulisan lain, mislanya pada buku Etika Muhammadiyah dan Sprit Peradaban karangan Zakiyuddin Baidhawi dan Azaki Khoirudin, Islam Berkemajuan ditafsirkan sebagai “paradigma mendasar”. Bahkan, disebut sebagai teologi yang menggerakan dan memotivasi gelombang gerakan dakwah dan tajdid selama abad XX.
Secara geneologi, Islam Berkemajuan adalah key message yang otentik lahir dari pemikiran K.H Ahmad Dahlan. Dalam satu-satunya tulisan beliau Tali Pengikat Hidup Manusia, ada potongan frasa yang begitu populer hingga hari ini “dadiyo Kiyai sing kemadjoean, …” jadilah ulama yang berkemajuan. Merujuk pada Zakiyuddin dan Azaki juga beberapa referensi lain, dalam tulisan tersebut K.H Ahmad Dahlan menyebut berkali-kali istilah “berkamjuan”. Juga dalam Statuten pertama tahun 1912, kata “memajukan” digunakan pada salah satu poin tujuan Muhammadiyah, yakni “…b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanya”.
Islam Berkemajuan kemudian secara tegas dikemukakan sebagai narasi kunci sejak 2010, bertepatan dengan muktamar satu abad Muhammadiyah di Solo. Narasi ini, di samping menjadi pelbagai tema diskusi ilmiah dan forum Tanwir, juga dikukuhkan lima tahun kemudian dalam Muktamar ke-47 di Makassar sebagai jati diri Muhammadiyah.
Dalam perspektif Muhammadiyah kontemporer, seperti yang diulas oleh banyak tokoh, Islam merupakan agama yang berkemajuan (din al-hadharah), yang kehadirannya membawa rahmat bagi semesta kehidupan.
***
Dalam tanfidz satu abad Muhammadiyah, substansi Islam Berkemajuan termaktub sebagai berikut:
“Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup sacara dinamis bagi seluruh umat manusia Islam yang menjunjung tinggi kembalian hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan tanya diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai bentuk kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi”.
Sebab IMM adalah organisasi mahasiswa Islam dan anak kandung ideologis Muhammadiyah, maka sudah menjadi tanggung jawab IMM untuk mewujudkan Islam berkemajuan tidak sekedar paradigma namun juga tindakan. Hal ini penting agar Islam Berkemajuan tidak berhenti pada tataran jargon dan wacana. Di samping dengan cara memperkuat tiga kompetensi dasar kader IMM: Religiusitas, Intelektualits, dan Humanitas, pemaksimalan metodologi pengetahuan bayani (teks), burhani (rasio), dan irfani (intuisi) sebagaimana digagas oleh Prof. Amin Abdullah, filsuf Muhammadiyah diperlukan untuk membaca keadaan keislaman dan kebangsaan secara lebih jelas.
Lebih lanjut, apabila IMM boleh mereproduksi gagasan Islam Berkemajuan. Maka, substansi ajaran Islam dan spirit profetisme Q.S Ali Imran [110] boleh jadi berjodoh dengan pemantapan Skill Abad 21 yakni berpikir kritis (critical thingking), kreatif (creative), komunikatif (communication), kolaboratif (colaboration), berkarakter (character), dan berwawasan kebangsaan juga global (cityzenship).
Michael Fullan dan Geoff Scott menyebut Skill Abad 21 atau 6 Cs ini sebagai kecakapan yang barus dimiliki generasi yang hidup di abad 21. Hal ini perlu dielaborasi lebih dalam agar supaya aktivisme IMM mampu berdiri kokoh, memegang teguh nilai-nilai Islam seraya bergerak dinamis, progresif menjawab tantangan-tantangan zaman.
Editor: Yahya FR