Kejadian 9/11 pada tahun 2001 dengan runtuhnya menara WTC telah mengubah citra Islam secara global. Pasca tragedi yang menelan kurang lebih 6.000 korban, Amerika dan Eropa mencanangkan perlawanan terhadap terorisme. Aktivitas Islam politik disebut-sebut sebagai pemicu radikalisme. Tujuh belas tahun setelah peristiwa itu berakhir, Islamofobia tumbuh dan mempengaruhi kehidupan kaum muslim di seluruh dunia. Redaksi IBTimes.ID berkesempatan mewawancarai Zakiyuddin Baidhawy, guru besar Studi Islam IAIN Salatiga dan pengajar Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta, untuk merefleksikan kembali makna situasi ini terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Bagaimana cara mengurai fenomena terorisme?
Sebuah awalan yang tepat untuk mengurai masalah terorisme ialah dengan cara memahami bahwa inti dari teror adalah “meneror”, yakni suatu peran yang secara historis sering, meski tidak harus selalu, dilakukan oleh “kekuatan terorganisir”, apakah oleh negara atau tentara, atau setidaknya ketika negara atau tentara telah menjadi regim despotik. Bagi saya, terorisme adalah tindakan pemaksaan dan kekerasan yang keluar dari koridor hukum dan aturan, bahkan menentang aturan dan hukum itu sendiri.
Bagaimana sebetulnya sejarah perkembangan terorisme?
Terorisme berawal dari kekuasaan kolonial dan imperial Barat, namun mereka agak sulit untuk mengakuinya karena ketakutan yang tidak jelas. Ketika para pedagang Eropa mengeksplorasi pasar-pasar baru untuk memasarkan surplus produksi mereka sebagai akibat revolusi industri. Mereka datang ke Timur untuk berdagang dan belanja bahan mentah untuk industri mereka. Ini dilakukan agar mereka dapat mengurangi eksploitasi atas sumberdaya mereka sendiri.
Pasukan Barat datang menginvasi dan menduduki dunia Islam yang sangat luas. Sayangnya pada masa kolonisasi dan imperialisasi ini, belum ada televisi, internet, kamera video dan sarana komunikasi dan informasi yang dapat memblow up suara dan nalar publik yang memandang Barat sebagai pasukan asing, kaum aggressor dan teroris sejati.
Setidaknya ada tiga tesis yang menjelaskan proses lahirnya terorisme. Tesis pertama meletakkan faktor lingkungan sebagai sebab dan mesin utama lahirnya terorisme. Menurut tafsir ini, teror dikendalikan sedikit banyak oleh kekhawatiran nyata dan praktis, seperti pandangan ideologis dan utopis. Tesis kedua menyatakan ideologi sebagai prasyarat esensial sekaligus alasan dan melakukan teror. Tesis ketiga, memberikan tempat utama pada cara berpikir dan dorongan-dorongan psikologis dari para aktor revolusi utama yang menganut kredo ideologis tertentu.
Bagaimana dengan terorisme yang sering kali dikaitkan dengan dunia Islam?
Untuk membicarakan terorisme dalam Islam, perlu terlebih dahulu di sini dikemukakan tentang dua hal. Pertama, terorisme di dunia modern-kontemporer memiliki kekhasan antara lain: teror tidak bermotif keagamaan. Dengan kata lain, dalam konteks terorisme, agama tidak menonjolkan dirinya berada di balik teror hingga pertengahan kedua abad 20. Pada faktanya, terorisme abad 19 dan awal abad 20 pada hakikatnya tidak berkaitan sama sekali dengan dimensi keagamaan; dan terorisme baru ini sering dipraktikkan oleh kelompok-kelompok marjinal yang tidak selalu memiliki tujuan politik yang benar-benar jelas, sekalipun mereka berhubungan dengan sejumlah kecenderungan yang luas –anarkis, populis, marxis, fasis, rasis, dan seterusnya.
Kedua, berkaitan dengan tema Islam dan terorisme, perlu disadari bahwa masalah ini seringkali tidak bisa dilepaskan dari stereotipe dan bias yang sengaja dibangun oleh para akademisi dan pemimpin keagamaan Barat mengenai Islam atau Islamofobia. Paus Benedict XVI pernah melontarkan pidato kontroversial pada 12 September 2006 di University of Regensburg. Ia memandang Islam Timur Tengah sebagai kekuatan kekerasan ekstrem yang menjadi lawan dari Barat yang menganut perdamaian sebagai hasil dari era pencerahan.
Singkatnya Anda ingin menyatakan bahwa Barat pun punya jejak sebagai terorisme global?
Ya. Ada dua fakta sejarah yang telah membuktikan terkait isu terorisme. Pertama, sejarah terorisme klasik sejatinya merupakan anak kandung dari dan dibesarkan oleh peradaban Barat sendiri. Kekerasan dan terorisme di belahan Dunia Timur baru terjadi pada awal abad 20. Kedua, ada kecenderungan kuat di Barat dalam memandang Islam Timur Tengah sebagai salah satu kawasan surga bagi kekerasan politik dan terorisme, padahal kekerasan dan terorisme kontemporer itu juga bersumber dari Barat sendiri. Sayangnya kenyataan ini seringkali diabaikan.
Misalnya Noam Chomsky and Andre Vltchek bahkan menengarai berbagai kasus teror justru lebih banyak didalangi oleh Barat, utamanya AS. Saya akan menyebut beberapa. Pemboman atom kali pertama oleh AS atas Hirosima dan Nagasaki pada August 1945 telah membunuh sekitar 246.000 penduduk. Pembunuhan Patrice Lumumba, seorang Perdana Menteri Kongo tahun 1961 yang didalangi oleh AS dan Inggris.
Kemudian ada Pembantaian di Guatemala yang didanai oleh Bank Dunia dan Inter-American Development Bank. Sebetulnya ada banyak kasus di mana pemerintahan negara Barat seperti AS terlibat dalam konflik sipil, mereka menjadi dalang perang melalui bantuan keuangan hingga perlengkapan militer. Dengan berkaca pada peristiwa-peristiwa tersebut, kebijakan politik Negara barat justru memicu terorisme global.
Apakah Anda setuju bahwa kajian deradikalisasi di Indonesia berperan dalam meningkatkan Islamofobia, mengapa?
Ya. Insiden-insiden terorisme seringkali menempatkan secara semena-semena Islam atau Muslim sebagai tertuduh. Bahkan pada sebagian masyarakat, terorisme telah melahirkan islamofobia di kalangan Muslim sendiri. Ini lahir sebagai akibat cara pandang tunggal terhadap terorisme. Kajian yang tidak komprehensif (menyeluruh) atas persoalan ini sudah tidak lagi memadai. Sebagai kaum akademisi, kita memerlukan review berbagai model dan teori mengenai bagaimana proses radikalisasi terjadi. Banyak faktor dan kombinasi berbagai alasan terjadinya radikalisasi –baik pada skala individual, sosial dan global– meski tidak selalu berujung pada terorisme.
Bagaimana seharusnya memandang citra selama ini bahwa Barat itu cinta damai, sedangkan Islam identik dengan teoris?
Dari perspektif ilmu sosial, dikotomi antara “Barat cinta damai” dan “Islam cinta kekerasan” sangat mudah dikritik dari berbagai aspek. Pandangan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dan terorisme negara atau kekerasan dan terorisme sipil/swasta merupakan corak eksklusif dari pemerintahan despotik Timur Tengah atau kaum fundamentalis Islam anarkhis, sepenuhnya merupakan salah besar.
Penggunaan dan operasi kekerasan dan terorisme politik juga merupakan wajah asli dari kekuatan Barat yang mampu menciptakan perang dan mempertahankan kepentingan mereka untuk meraih hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi.
Kita tidak lagi dapat meletakkan kekerasan dan terorisme seperti memperhadapkan antara peradaban Barat yang memandang dirinya sebagai beradab dan damai versus Timur/Islam yang barbar. Bila kita terjebak dalam pandangan semacam ini, maka kita telah membuat tafsir dan analisis perbandingan yang bersifat tidak adil.
Lalu bagaimana seharusnya kita memandang dan menyikapi terorisme yang akhir-akhir ini masih saja terjadi di Indonesia?
Dengan menelusuri jejak-jejak terorisme dan kekerasan di Barat dan Timur, termasuk Islam, kita dapat mengatakan bahwa persoalan utama terorisme yang terjadi di dunia Islam adalah reaksi atas kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan Barat, dan khususnya keberpihakan Barat dalam konflik Israel-Palestina.
Sebagaimana di Barat, terorisme di dunia Islam pertama-pertama justru dilakukan oleh “aktor negara” (state terrorism) yang otoriter. Sementara itu, terorisme sipil terjadi ketika kebebasan mereka ditekan, dan pada saatnya melahirkan perlawanan dan pemberontakan atas para penindasnya. Jadi, semua problem tersebut melahirkan terorisme bukan semata untuk melawan Barat, namun juga untuk melawan tatanan politik kawasan yang tidak berkeadilan.
Di sini perlunya menhindari pendekatan profiling dalam memahami teroris. Dinamika radikalisasi dan mobilisasi harus dibebaskan dari profiling etnik atau agama. Pendekatan ini tidak adil dan harus ditinggalkan. Sebaliknya kita butuh cara pemahaman bahwa proses radikalisasi dapat dianalisis secara komprehensif yang mencakup: motif dan faktor global, situasional, sosial, psikologis atau perilaku.
Bila Islam Timur Tengah dipersepsi sebagai kekuatan yang cenderung pada kekerasan, sudah saatnya persepsi ini diklarifikasi dengan konteks yang melingkupi kawasan tersebut sehingga diperoleh sudut pandang yang lebih berimbang dan adil terhadap terorisme.