Perspektif

Indonesia Berkemakmuran, Kemakmuran untuk Semua

4 Mins read

Menyongsong Milad ke-112 tahun ini, Muhammadiyah mengambil tajuk “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”, tema yang sama juga akan digunakan sebagai identitas acara Tanwir yang akan dilaksanakan di Kupang pada 4-6 Desember 2024 mendatang.

Tajuk kemakmuran untuk semua ini penting sebagai upaya memotret dan mengangkat isu-isu sosial yang berkembang di tanah air. Saat yang sama kita berharap, tumbuh kesadaran kolektif menyangkut tantangan sosial bersama untuk membangun Indonesia Berkemakmuran.

Indonesia Berkemakmuran

Dalam ensiklopedia kebahasaan kita, makmur dapat dimaknai sebagai kondisi yang serba berkecukupan serta tidak kekurangan. Dalam kerangka kehidupan bernegara, kemakmuran ditandai dengan keadaan dimana rakyat dalam sebuah negara dapat tumbuh berkembang, menoreh kebahagiaan secara jasmani dan rohani sebagai akibat dari kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi.

Dalam perspektif ekonomi, makmur dimaknai sebagai terpenuhinya kebutuhan secara material, sehingga bila hal tersebut tidak terwujud, maka disebut miskin (kemiskinan) (Susanto, 1984). Negara Indonesia sendiri sejak awal sebetulnya hadir dan merdeka semata-mata guna melahirkan suatu tatanan masyarakat yang makmur untuk semua, semua untuk makmur.

Jauh hari, Bung Karno telah membangun imajinasi kolektif untuk melahirkan sebuah masyarakat sosialistik. Dalam catatannya di risalah “Mencapai Indonesia Merdeka (1933)”, ia menuliskan: Maksud pergerakan kita haruslah suatu masyarakat yang adil dan makmur, dimana tidak ada tindasan dan hisapan, tidak ada kapitalisme dan imperalisme.

Lebih lanjut dalam Buku “Sarinah (1946)” ia menjelaskan bahwa tujuan dari apa yang ia sebut sosialisme adalah kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Kemakmuran tersebut dicapai dengan kepemilikan pabrik secara kolektif, industrialisme yang kolektif, produksi yang kolektif serta distribusi yang kolektif.

Secara demikian, dapat disederhanakan bahwa perjuangan dan pergerakan kemerdekaan para pendahulu di negeri ini bukanlah semata guna tiba pada pintu gerbang kemerdekaan, lebih dari itu, kemerdekaan dipupuk dengan membangun sebuah masyarakat yang adil dan makmur.

Baca Juga  Imam Al-Ghazali: Berikhtiar dan Berdoa Bukan Berarti Menolak Takdir

Secara konstitusional, dambaan untuk menghadirkan sebuah negara yang makmur itu sebangun dengan upaya membumikan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mengupas Kenyataan

Angan-angan luhur sebagaimana tercermin dalam imaji para pendiri bangsa tampak kontras dengan kenyataan yang situasi yang menyelimuti kenyataan masyarakat Indonesia saat ini.

World Inequality Report menyebut sejumlah 50% kelompok terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2021, presentasi yang justru lebih rendah jika dibandinggkan dengan tahun 2001 sebesar 5,85%. Sementara 10% penduduk terkaya di negeri ini memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasionla pada tahun 2021.

WIP juga melaporkan, kelompok 50% terbawah hanya memiliku pendapatan 22,6% juta per tahun, sementara sebesar 10% teratas memiliki pendapatan sejumlah Rp. 285,07 juta per tahun. Kendati data ini dirilis WIP pada 2022 yang lalu, fakta ketimpangan Indonesia dalam beberapa tahun belakangan tak banyak berubah.

Fakta ketimpangan ekonomi di negeri ini adalah kenyataan paling mengerikan dan menyedihkan bagi sebuah negara dengan modal kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu besar. Negara Indonesia dengan semua potensi di dalamnya dikuasai oleh segelintir orang kaya di negeri ini. Kemakmuran diraih segelintir pihak, sementara di pihak yang lain, masih banyak masyarakat yang dihantui kemiskinan dan kesengsaraan.

Ketimpangan ekonomi menggiring negeri ini pada masalah lain, seperti masalah kemiskinan ekstrem, ketidakstabilan sosial, kejahatan yang merajalela, kesulitan pada akses pendidikan serta cabang masalah lain sebagai efek samping dari ketimpangan ekonomi.

Jika Indonesia tak segera membenahi kompleksitas masalah ketimpangan itu, bangsa ini bisa jadi berdiri di tubir jurang kehancuran serupa negara-negara Afrika yang mengalami banyak kudeta dalam 1 dekade belakangan. 

Baca Juga  Pasca Pandemi, Era Covid-19 Akan Kita Rindukan

Kemakmuran untuk Semua

Acemoglu dan Robinson (2014) menyebut bahwa sebuah negara yang kalap lazimnya disebabkan oleh praktik ekonomi dan politik yang serba ekstraktif. Dimana kekuasaan kepada sekelompok kecil elit dan memiliki kontrol lemah terhadap penggunaan kekuasaan. Institusi politik yang ekstraktif itu ditandai dengan konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir orang tanpa adanya check and balances juga lemahnya rule of law.

Lebih lanjut Acemoglu dan Robinson menyebut, sebagai solusi dari kompleksitas masalah tersebut, maka secara struktural solusinya adalah upaya membumikan praktik ekonomi dan politik yang inklusif. Inklusifitas tersebut mereka maknai sebagai praktik pembagian kekuasaan secara merata kepada semua lapisan masyarakat dan tidak bertindak semena-mena.

Gagasan Acemoglu dan Robinson tersebut hakikatnya bersenyawa dengan upaya Muhammadiyah untuk membangun kemakmuran untuk semua. Muhammadiyah sebagai salah satu entitas sosial paling penting dalam dinamika sejarah Indonesia memiliki komitmen teguh untuk menghadirkan kemakmuran yang merata untuk semua kalangan masyarakat. Komitmen tersebut sebangun dengan spirit keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila ke-lima Pancasila.

Dalam Pidato Milad ke-112 Muhammadiyah yang diunggah di Youtube Muhammadiyah Channel (18/11/2024), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan konsep dan gagasan kemakmuran untuk semua. Ia menandaskan bahwa kemakmuran Indonesia seyogianya tidak sekadar dihadirkan untuk kelompok kecil belaka—yang melahirkan kemiskinan pada saat yang sama.

Gagasan membangun kemakmuran bersama di Indonesia itu ialah proyeksi kebangsaan yang berdasar pada modal dan potensi yang sudah dimiliki oleh Indonesia. Modal dan potensi tersebut dalam pandangan Haedar ialah posisi politik yang strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, jumlah penduduk yang besar serta kemajemukan sosial dan budaya. Modal tersebut yang tampak belum dikelola secara optimal, bahkan kerap disia-siakan.

Baca Juga  Pembelajaran Online vs Pembelajaran Offline

***

Sebagai gerakan Islam yang tumbuh dengan semangat profetik, gagasan membangun kemakmuran untuk semua itu dapat dirujuk dari peran vital yang dimainkan oleh Nabi Muhammad untuk membangun peradaban. Seperti terekam dalam sejarah peradaban Islam, Nabi Muhammad sesungguhnya datang sebagai respons atas ketidakmakmuran (dalam makna kolektif), dimana pada masa itu kekayaan dimonopoli oleh segelintir orang (Murthadho, 2019).

Nabi Muhammad membangun kemakmuran untuk semua melalui upayanya mendorong keadilan ekonomi, mendorong distribusi kekayaan melalui wakaf dan zakat, melindungi hak kaum miskin papa, membangun hukum yang adil dan melawan oligarki.

Pasca wafat, perjuangan Muhammad lalu dilanjutkan oleh para Khalifah setelahnya. Salah satu Khalifah paling kukuh menghadirkan kemakmuran bersama itu adalah Umar ibn Khattab (584-644 M), di masa kepemimpinannya ia melakukan kritik sosial bagi tiap-tiap orang yang memonopoli kekayaan, dalam sebuah pernyataannya, Umar menyebut “Suatu negeri akan mancur walaupun ia makmur, hal ini disebabkan karena pengkhianat menjadi petinggi dan harta dikuasai oleh orang-orang fasik”.

Refleksi Akhir

Kerja kolektif untuk membangun kemakmuran untuk semua memerlukan sikap gotong-gotong royong yang dimulai dengan merefleksikan persoalan bersama. Almarhum Buya Syafii Maarif (2020) mengingatkan, “tanpa kesediaan mengkritik perilaku kita masing-masing, akan sulit berharap tegaknya keadilan dan tercapainya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dituntut UUD”.

Maka kerja membangun kemakmuran untuk semua adalah kerja bersama. Serupa orkestra musik dimana tiap-tiap individu/kelompok harus bersinergi dalam satu harmoni guna melahirkan karya. Tanpa kehendak untuk berjalan berseiring, kemakmuran bersama tak mungkin dapat direalisasikan.

Editor: Soleh

Avatar
11 posts

About author
Ketua Bidang Riset Teknologi DPP IMM
Articles
Related posts
Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read
Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam…
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds