Oleh: KH. Mas Mansur
Marilah kita buka sebuah peta bumi yang besar. Peta bumi yang menggambarkan seluruh dunia. Kita lihat pula Eropa dengan kerajaan-kerajaannya yang telah maju. Kita lihat Afrika, negeri yang hampir seluruhnya terjajah itu dari ujung sebelah utara sampai ke ujung sebelah selatan. Kita lihat benua Arab dan Asia Kecil. Kita lihat India terus sampai ke tanah Tiongkok, kemudian Jepang. Marilah kita terus melayangkan pemandangan arah ke Amerika, Negeri Dollar dan raja kemodernan. Lalu kita lihat pula benua Australia, Negeri Kanguru dan Bumerang.
Lihatlah! Di tengah-tengah dari segala benua itu, yakni sebelah selatan dari kepulauan Filipina, ada sekumpulan pulau-pulau yang indah, yaitu kepulauan Indonesia. Lihatlah! Alangkah indahnya pulau itu menjadi pusat dari garis-garis merah yang terentang dari segala benua. Garis yang menunjukkan perhubungan pelayaran, perhubungan, dan perdagangan.
Dari garis-garis itu, nyata bahwa Indonesia adalah sangat penting artinya buat seluruhnya. Penting karena hasil-hasil bumi yang dikeluarkannya. Dari beberapa abad yang telah lalu, Indonesia telah dicari-cari oleh kerajaan Eropa. Ada yang sampai tersesat ke Nova-Zembla di Kutub Utara dan ada yang telah sampai di Indonesia. Kemudian mereka berebut-rebutan mengambil pengaruh dari rakyat dan mendirikan factory (pabrik—ed) masing-masing. Dengan tiada menghiraukan topan dan badai, dengan tiada mengindahkan jiwa yang akan melayang, mereka arungi lautan samudra yang luas sampai berbilang tahun menuju Indonesia.
Di zaman sekarang, tidak saja Indonesia penting karena hasil-hasilnya, tapi juga penting karena keindahannya. Dari segala pelosok bumi orang datang untuk menyaksikan kecantikannya yang telah masyhur. Maka benar sekali kata Multatuli, bahwa Indonesia laksana “sabuk dari permata yang kehijau-hijauan berbelit di sekeliling khatulistiwa.” Dari itulah, alangkah canggungnya dunia dan alangkah buruk tampaknya peta bumi, kalau sekiranya Indonesia dilenyapkan dari alam ini. Sentana terjadi yang demikian, tiada ubahnya bumi ini sebagai raja yang tiada bermahkota layaknya.
Kemudian, marilah pula kita lihat suasana gerak manusia yang selalu menjadi perhatian segala ahli pikir. Rupanya, sudah bersemi di segala hati manusia itu sifat kurang dan miskin. Memang hanya Tuhanlah yang kaya, yang tiada berhajat kepada suatu juapun. Disebabkan sifat selalu merasa kurang itu, maka timbul pulalah sifat yang menggerakkan supaya berikhtiar mencari tambahnya. Orang yang berjalan mencari Tuhan masih selalu merasa kurang iman dan kurang tunduk kepada Allah. Dari itu, ia berusaha menambah iman dan ketundukannya. Demikianlah segala manusia mencari tambah, selalu hendak meluaskan milik dan kepunyaan. Maka semuanya itu pun berjalan menurut wet (hukum—ed) alam, menurut sunnatullah yang tidak berubah-ubah.
Hidup ialah bergerak. Mana yang tiada bergerak tiada hidup. Dalam berusaha mencari tambah dan meluaskan milik itu, maka gerak yang kuat dan teratur harus menang atas gerak yang lemah. Gerak yang lemah mesti dikalahkan oleh setan, tapi hati yang kuat mesti menang. Demikian juga halnya dengan bangsa-bangsa. Walaupun ia terdiri dari rakyat yang berpuluh atau beratus juta dan ia berdiri atas yang hak, tapi kalau semuanya itu tidak teratur dengan baik dan beres, ia harus ditundukkan oleh bangsa lain yang bersatu dan teratur, walaupun ia tak berdiri atas yang hak dan kebenaran dan jumlahnya sedikit.
Atas dasar yang demikian itulah, maka tanah Sudeten terpaksa tunduk kepada Jerman, tanah Afrika terpaksa suka dibagi-bagi dan tunduk kepada Inggris, Perancis, Itali, Belgia, dan Spanyol. Begitulah juga keadaannya dengan segala negeri yang terjajah dan terpengaruh.
Aliran perjalanan pemerintahan suatu negeri yang dikendalikan oleh bangsanya sendiri bolehlah dikatakan sejalan dengan aliran kemauan rakyatnya. Sebab, pemerintah ialah rakyat, dan rakyat ialah pemerintah. Tetapi di dalam negeri jajahan kerap kali kemauan yang memerintah tiada sama dengan yang diperintah, karena pemerintah bukan rakyat, dan rakyat bukan pemerintah. Hajat keduanya itu kadang-kadang berlainan. Hal ini dapat kita nyatakan kebenarannya pada keadaan-keadaan di Indonesia. Kerap kali terjadi kehendak pemerintah itu berlawanan dengan kemauan rakyat.
Disusun oleh Anwar Rasjid dengan sumber: Pedoman Masyarakat no. 7/15 Februari 1939 dengan judul asli, “Apa Sebabnya Partai islam Indonesia Didirikan?” Dimuat kembali di www.ibtimes.id dengan penyuntingan
Editor: Arif