Makna dan Ruang Lingkup Inklusivisme
Dalam setiap komunitas agama atau masyarakat pada umumnya, mereka yang menganut inklusivisme merupakan kelompok minoritas. Hal tersebut didasarkan pada sebuah kenyataan, bahwa pada umumnya komunitas agama-agama menganut ekslusivisme.
Ekslusivisme ialah suatu paham yang menganggap hanya pandangan dan kelompoknya yang paling benar, sedangkan kelompok lain dianggap salah. Pandangan ini didasarkan pada sebuah klaim kebenaran (truth claim) yang ada pada setiap agama.
Paham ekslusivisme telah meninggalkan jejak sejarah kelam, yaitu peperangan dan konflik. Dalam sejarah perkembangan agama juga demikian. Sehingga agama tidak lagi bernuansa pencerahan dan pembebasan, melainkan bercorak konflik dan kekerasan.
Atas dasar inilah kaum pluralis menentang eksklusivisme agama dan mempropagandakan bahwa selayaknya pada setiap agama ditumbuhkan sikap dan paham inklusif.
Cak Nur dan Inklusivisme Agama
Inklusivisme merupakan paham yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada kelompok sendiri melainkan juga ada pada kelompok lain termasuk dalam komunitas agama.
Dalam inklusivisme, diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang mana selalu ada dimensi kesamaan substansi nilai. Artinya harus dipahami bahwa kebenaran dan keselamatan tidak lagi dimonopoli agama tertentu, tetapi sudah menjadi paying besar agama-agama.
Ide utama Cak Nur dalam kerangka perumusan teologi inklusif ialah penekanannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (Injil, Taurat, Zabur dan Al-Qur’an) adalah pesan Tuhan.
Pesan ini bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa) dan Islam (Nabi Muhammad).
Lewat firman-Nya, Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama itu, karena hakikat dasar agama-agama itu adalah satu dan sama. Kesemuanya akan bertumpu pada suatu “titik temu”, “common platform” atau dalam istilah Al-Qur’an kalimah sawa’.
Dengan inklusivisme agama ini, keselamatan dan kebenaran akhirnya terus bergeser dan menganggap tidak hanya untuk agama samawi saja namun juga dimiliki agama ardhi (Kong Hu Cu, Hindu, Budha).
Pergeseran Arti Islam
Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam. Islam tidak hanya dipahami sebagai agama formal melainkan Islam selalu dilukiskan sebagai jalan.
Sebagaimana dipahami dari berbagai istilah yang digunakan kitab suci, seperti sirath, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj dan mansakh. Kesemuanya itu mengandung makna “jalan” dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju perkenan Allah.
Sebagaimana telah disinggung di atas, Islam versi Cak Nur terbatas hanya pada sikap kepasrahan. Baginya, sikap ini menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah.
Apakah Agama Selain Islam Mendapat Pahala?
Bagaimana dengan agama-agama lain? Ternyata pengikut agama apapun, baik Yahudi, Kristen, maupun Shabi’in, jika ia berbuat baik dan pasrah kepada Tuhan, maka ia akan mendapatkan pahala di sisi-Nya.
Ini sesuai dengan firman-Nya dalam suratal-Baqarah ayat 62. Semua kaum pluralis menggunakan ayat ini sebagai ‘pintu masuk’ doktrin mereka. Jadi bisa dilihat sekali lagi bahwa seseorang hanya dengan berbuat baik apapun itu agamanya maka akan mendapatkan ‘tiket surga’.
Sampai di sini, betapa bisa dilihat kacaunya argumen Cak Nur itu. Hanya dengan berbekal kebaikan dan kepasrahan maka manusia akan selamat. Pertanyaan yang muncul apakah ini berlaku bagi kaum pagan yang menyembah berhala? Toh mereka juga ada yang berbuat kebaikan dan pasrah terhadap berhala yang disembahnya.
Syirik Menurut Cak Nur
Ternyata Cak Nur tetap berkelit. Ia mengatakan bahwa agama alam seperti animisme atau paganisme merupakan agama yang mengangkat manusia sebagai “tuan-tuan” (arbâb) selain dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Dan “mengangkat sesama manusia sebagai tuan-tuan” adalah tindakan yang membelenggu dan menjerat manusia sendiri. Untuk itu hendaknya manusia berusaha membebaskan diri dari obyek-obyek yang membelenggu dan menjerat keruhanian.
Percaya kepada Allah tidaklah dengan sendirinya berarti Tauhid. Sebab percaya kepada Allah itu masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain-lain sebagai peserta Allah dalam keilahian.
Dan inilah yang menjadi problem, yakni percaya kepada Allah atau Tuhan, namun tidak murni. Ini yang disebut Cak Nur sebagai politheisme atau syirik, yaitu kepercayaan yang sekalipun berpusat kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Allah, namun masih membuka peluang bagi adanya kepercayaan kepada wujud-wujud lain yang bersifat ketuhanan atau ilahi, meski lebih rendah daripada Allah itu sendiri.
Politheisme bagi Cak Nur telah menjadi problem utama manusia. Maka dari itu manusia harus membebaskan diri dari belenggu paham Tuhan banyak itu. Pembebasan ini, lanjut Cak Nur, adalah dengan kalimat persaksian (kalimah syahadah), “Aku bersaksi bahwasannya tidak ada suatu tuhan (ilah)…”.
Itu artinya, “aku menyatakan diri bebas dari kungkungan kepercayaan-kepercayaan palsu yang membelenggu dan menjerat ruhaniku.” Kemudian untuk sempurnanya proses itu, pernyataan diteruskan dengan “…kecuali Allah (al-Ilah, al-Lah, yakni Tuhan yang sebenarnya, yang dipahami dengan kerangka semangat ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid uluhiyyah, monotheisme murni – strict monotheism). Inilah yang disebut Schuon dengan ketaklukan kehendak manusia kepada kehendak Yang Esa, atau kepada konsep keesaan (Tauhid).
Mungkin maksud Cak Nur agama yang monotheisme adalah agama yang tidak terbelenggu, yakni yang mengangkat sesama manusia sebagai tuan-tuan. Kesimpulannya selagi agama-agama tersebut “tidak mengangkat sesama manusia sebagai tuan-tuan” adalah monotheisme. Agama-agama ini tidak terbatas hanya Islam, melainkan semua agama yang diimani ahli kitab.
Konsep Keselamatan Ahli Kitab
Berbicara mengenai ahli kitab, Cak Nur sebagaimana kaum pluralis lainnya banyak mengutip pendapat Rasyid Ridha bahwa ahli kitab tidak hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Kristen saja, namun juga Majusi dan agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.
Mengutip Yusuf Ali, Cak Nur berpendapat bahwa konsep ahli kitab itu dapat diperluas untuk juga “meliputi mereka yang tulus dari kalangan para pengikut Zoroaster, Kitab Veda, Budha, Konghucu, dan para Guru budi pekerti yang lain.”
Pernyataan Cak Nur di atas sejatinya sangat rancu dan ambigu. Di atas ia menolak keselamatan bagi umat yang masih ‘terbelenggu’, yakni kaum pagan penyembah berhala dan roh, kecuali jika ia telah mengucapkan kalimah syahadah versi Cak Nur.
Namun di sisi lain ia (dan kaum pluralis lainnya) juga memasukan agama Budha dan Hindu sebagai agama pasrah yang tidak terbelenggu, yang termasuk agama ahli kitab. Bukankah agama Hindu dan Budha adalah agama penyembah berhala walaupun mempunyai kitab suci? Bukankah penganut Hindu mengagungkan Wisnu, Siwa, dan Brahma yang termanifestasi dalam bentuk patung?
Berarti sama saja mereka adalah penyembah patung dengan banyak Tuhan. Itu sama halnya Umat Hindu adalah penganut politheisme dan bukan monotheisme. Jadi klaim Cak Nur bahwa mereka termasuk agama monotheisme terbantahkan.
Sebenarnya maksud dari Cak Nur dan kaum pluralis lainnya membongkar makna Islam sangat jelas. Kesemuanya ingin menghilangkan sifat eksklusif Umat Islam. Artinya dengan paham ini umat Islam tidak lagi bersifat fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah.
Padahal di dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Barang siapa yang mencari agama (din) selain Islam, maka ia tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Editor: Rozy