IBTimes.ID – Prof. Amin Abdullah mengatakan bahwa studi agama mengalami stagnasi metodologi sehingga tidak bisa mengantarkan judul-judul penelitian baru yang perlu diangkat. Yang diperlukan oleh Islamic studies adalah pendekatan integrasi interkoneksi. Antar disiplin ilmu yang terkotak-kotak oleh tembok-tembok program studi menjadikan pandangan masyarakat menjadi sempit dalam melihat kehidupan. Kata kunci dari integrasi adalah bentuk pembelajaran baru yang ingin merumuskan kembali tapal batas ilmu pengetahuan.
Menurutnya, permasalahan yang sekarang dihadapi masyarakat sudah sangat kompleks, sehingga tidak bisa diselesaikan menggunakan mono disiplin atau mono prodi. Religious studies sudah membuka pintu tersebut secara lebar dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain.
Hal ini ia sampaikan dalam Kegiatan Ruang Belajar Makam Kamis dengan tema “Current Trends in Religious Studies: Ahli Sosial Keagamaan Harus Apa?” kegiatan yang diadakan pada Rabu (15/7) ini diadakan oleh Kertagama Global Academia (KGA) Yogyakarta.
Ia menyebut yang diperlukan dewasa ini adalah interdisciplinary studies yang menyeberang dari berbagai disiplin-disiplin ilmu tradisional. Maka, integrasi keilmuan sebenarnya adalah the interface of discipline. Mendiskusikan secara serius bagaimana pandangan disiplin ilmu tertentu berhadapan dengan disiplin ilmu lain untuk memecahkan masalah.
“Maka, interdisciplinary itu baik dalam training maupun perspektif dan riset adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar sekarang. Maka saya 15 tahun yang lalu saya mengkampanyekan istilah integrasi-interkoneksi keilmuan. Bagaimana kemampuan dosen dan mahasiswa menyatu padukan berbagai informasi, data, teknik, perspektif, dan konsep untuk memecahkan masalah yang pemecahannya berada diluar jangkauan salah satu disiplin ilmu. Maka riset juga harus seperti itu,” ujarnya.
Jika hal ini diijadikan theoretical framework untuk melihat agama, itu akan menjadi sesuatu yang bagus. Karena satu disiplin ilmu yang digunakan untuk memecahkan masalah akan kurang bermakna. Perspektif ini akan melunakkan batas-batas antar disiplin ilmu.
Menurutnya pertemuan ini yang memungkinkan menciptakan ruang intelektual baru. Maka, yang diperlukan sekarang tidak hanya digital skill, tetapi juga humanity. Ia mencontohkan jika KKN hanya berhenti pada bekerja secara fisik saja, tanpa memasuki ranah spiritualitas dan semangat sosial, hasilnya akan sangat mentah.
Integrasi Menghadapi Pandemi
Guru Besar UIN Jogjakarta ini memberikan contoh pandemi covid-19. Kerumunan orang beribadah, kebaktian, misa, dan lain-lain dikaitkan dengan physical distancing, memperlihatkan wajah sains yang sulit berdialog dengan agama. Masyarakat muslim tidak bisa menerima kalau jenazah langsung dimakamkan tanpa ada komunikasi yang baik. Sehingga terjadi perebutan jenazah karena khawatir jenazah tidak ada upacara yang biasa terjadi.
“Ketika terjadi protokol kesehatan yang tepat, upacara pemulasaraan yang biasa terjadi tidak berlaku. Disini ada permasalahan. Masing-masing bersikukuh dengan disiplin ilmunya, masyarakat paguyuban yang lekat dengan agama juga bersikukuh dengan ritus keagamaannya. Maka mereka nekat mengambil jenazah. Disinilah pentingnya terjadi dialog antar disiplin ilmu,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu opsi penyelesaiannya adalah dengan dibolehkannya sebagian anggota keluarga untuk mengikuti ritus pemulasaraan yang diselenggarakan oleh rumah sakit, dengan alat pelindung diri yang memadai. Anggota keluarga juga harus diperbolehkan mengantar sampai pada proses pemakaman.
“Inilah object research yang sangat penting. Bahkan, dalam hukum Islam, literatur yang berkembang diatas tahun 2010 sudah mulai menekankan pentingnya multidisiplin. Kehidupan multikultural juga menjadi object research yang penting. Indonesia adalah laboratorium dunia dalam hal multikultural. Di India, hubungan multirelijius antara Hindu dan Islam sangat kaku karena kepentingan politik. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki religio-diversity,” tutupnya.
Reporter: Yusuf R Y