Oleh: Rheza Firmansyah*
Dunia Kepemiluan kembali dilanda persoalan integritas para penyelenggara pemilu. Awal tahun 2020 ini, publik dikejutkan dengan adanya berita operasi tangkap tangan (OTT) Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan. Dalam kasus OTT tersebut salah satu komisioner KPU RI ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima uang sebesar 900 (Sembilan ratus) juta rupiah.
Bukan Kasus Pertama
Kasus ini sebanrnya bukan kasus yang pertama sebelumnya juga terdapat kasus korupsi dengan berbagai modus. Pertama, pada 2004 publik dikejutkan dengan penangkapan ketua KPU yang terbukti melakukan tindakan korupsi dengan kasus penyelewengan dana asuransi bagi petugas pemilu 2004 hingga mengakibatkan kerugian negara mencapai 14,193 miliar rupiah.
Kedua, anggota KPU didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan kotak suara pemilu 2004. Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan anggota KPU beserta dengan pegawai KPU melanggar Keputusan Presiden (Keppres) No. 18 Tahun 200 tentang pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah dan pelaksanaan Pemilu 2004.
Ketiga, kasus pengadaan segel sampul surat suara yang menyeret nama Komisioner KPU. Keempat, kasus pengadaan tinta pemilu pada 2004 yang menyeret nama Komisioner KPU, dari kasus ini mengakibatkan kerugian negara Rp 4,66 miliar.
Bukan hanya dari jajaran KPU, Jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun juga melakukan hal yang sama. Namun untuk Bawaslu, korupsi ini dilakukan oleh Ketua Bawaslu Provinsi Papua Barat periode 2014 dengan dugaan penyalahgunaan dana hibah APBD sehingga mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 1,8 miliar.
Persoalan demikian tentu membahayakan bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Mengingat jabatan publik sebagai penyelenggara pemilu merupakan jabatan strategis dalam mengawal pelaksanaan demokrasi di dalam negeri yang diwadahi dengan pemilu. Berdasarkan diskursus yang berkembang di dalam dunia kepemiluan, integritas menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu disamping perwujudan asas langsung, bebas, umum, rahasia, dan adil. Dalam rangka mewujudkan penyelenggara pemilu yang mematuhi nilai-nilai moral dan etika sebagai manifestasi electoral integrity.
Pemilu Berintegritas
Di Indonesia, diskursus soal pemilu berintegritas ini sebenarnya telah digaungkan sejak dua dekade lalu. Pemilu 1999 bisa dibilang menjadi penanda dari dimulainya era pemilu yang bebas dan adil (setelah pemilu demokratis pertama pada 1955). Namun dalam perkembangannya, diskursus pemilu berintegritas di Indonesia lebih banyak menyoroti tentang penyelenggara pemilu.
Ada setidaknya tiga alasan mengapa integritas penyelenggara pemilu menjadi perhatian utama dalam diskusi pemilu berintegritas di Indonesia. Pertama, karena penyelenggara adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menjamin adanya pemilu yang bebas dan adil, sehingga menjaga keyakinan publik terhadap proses demokrasi.
Kedua, semakin kompleksnya teknis penyelenggaraan pemilu di Indonesia seiring dengan diterapkannya pemilu eksekutif dan pemilu legislatif baik di tingkat nasional maupun lokal. Terakhir, adanya berbagai potensi pelanggaran yang dilakukan oleh peserta dan penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu.
Oleh sebab itu, berdasarkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, maka dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Berdasarkan ketentuan pasal 155 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu kewenangan DKPP adalah memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota.
Selain itu, DKPP juga memiliki kewenangan merumuskan kode etik bersama dengan Bawaslu dan KPU. Hanya saja DKPP tidak memiliki kewenangan guna melakukan pencegahan dan pengawasan terhadap integritas para penyelenggara pemilu tersebut. Dengan demikian pengawasan dan pencegahan terhadap pelanggaran etik yang berdampak pada cacatnya integritas sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat.
Penguatan Integritas
Agar kedepan kasus kasus diatas tidak terulang, maka perlu upaya penguatan integritas. Pertama, menanamkan kuat integritas melalui pola pembinaan secara struktural maupun lintas lembaga penyelenggara pemilu. Integritas harus diwujudkan melalui sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap penyelenggara baik itu pimpinan maupun staf lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya.
Pribadi yang berintegritas mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai penyelenggara pemilu. Kemudian disertai dengan ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan kekayaan, popularitas, atau godaan yang lainnya.
Kedua, mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengawasan terhadap institusi dan pribadi penyelenggara pemilu. Caranya yaitu dengan aktif memantau dan berani serta mau melaporkan penyelenggara pemilu yang bermasalah. Kaitannya dengan hal ini dapat berkolaborasi dengan DKPP. Kedua hal ini merupakan ikhtiar bersama agar proses penyelenggaraan pemilu dapat berintegritas dan bermartabat. Terhidar dari perilaku menyimpang, baik itu penyelenggara maupun peserta pemilu.
*) Alumnus Program Magister Hukum FH Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Bidang Hukum dan HAM PW Pemuda Muhamadiyah DIY.
Editor: Nabhan