Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah itu adalah organisasi yang besar. Sistem organisasinya juga sangat kokoh dan mempunyai nilai-nilai Manhaj Tarjih, Kepribadian, Khittah, Pedoman Hidup Islami, dan mozaik pemikiran lainnya. Oleh karena itu, Muhammadiyah mampu menghadapi berbagai masalah berat di dalam dan ke luar karena ketangguhan organisasinya didukung keteledanan orang-orangnya yang berjiwa maju dan ikhlas.
Kyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri Muhammadiyah, memiliki tempat khusus dan dikenal sosok kuat yang cerdas, maju, gemar beramal shaleh, dan pembaru. Sekaligus, tokoh yang dikenal tawadhu’, tasamuh, tawasuth, dan berakhlak luhur irfani. Setelah itu, setiap orang datang dan pergi menggerakkan organisasi dengan jejak amaliah masing-masing.
Namun, Muhammadiyah tetap hidup dan kokoh keberadaannya sebagai organisasi dalam mengemban misi dakwah dan tajdid. Muhammadiyah bergerak terus. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. Itulah Persyarikatan Muhammadiyah milik bersama nan berkemajuan.
Dalam kesempatan kali ini, Haedar Nashir memaparkan penjelasan jiwa bersyirkah, jiwa irfani, dan akhlak jama’i.
Jiwa Bersyirkah
Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa Muhammadiyah bisa disebut Persyarikatan? Menurut Haedar nashir, Muhammadiyah disebut persyarikatan karena dia berupa sistem tempat bersyirkah, bertemunya banyak orang menjadi satu kesatuan di bawah sistem organisasi.
“Sistemlah yang di atas orang, bukan sebaliknya orang di atas sistem” tulis Haedar Nashir dalam website muhammadiyah.or.id. Jika kita lihat dalam Berita Tahunan 1927 di sana tertulis, “Kalimat Syarikat itu berarti kumpulannya beberapa orang untuk melakukan sesuatu dengan semufakat mungkin dan bersama-sama”.
Haedar Nashir mengatakan bahwa Muhammadiyah kuat karena orang-orangnya mau bermufakat alias bermusyawarah dan menyatukan diri secara bersama dalam Persyarikatan. Dalam bergerak pun, Haedar menyarankan untuk tidak bergerak atas kehendak sendiri-sendiri tetapi secara kolektif-kolegial berkoridor sistem organisasi.
Pernyataan Haedar Nashir di atas terinspirasi oleh poin keenam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tertulis, “Perjuangan mewujudkan pikiran-pikiran tersebut hanya dapat dilaksanakan dengan berorganisasi”.
Selanjutnya, Haedar Nashir menuliskan bahwa pupuk ukhuwah yang otentik dari persyarikatan, harus lahir dari jiwa islami yang tulus dan bukan verbal.
“Ukhuwah itu mudah dikatakan tetapi susah dipraktikkan, terutama saat ada masalah dan perbedaan. Membangun rasa bersaudara dalam Persyarikatan menuntut pengorbanan untuk saling memahami, peduli, dan berbagi” tulis Haedar Nashir.
Kemudian, Haear Nashir mengutip Qs Al-Hujurat: 10 tentang peringatan Allah kepada kaum beriman, yang artinya:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs Al-Hujarat: 10).
Bagi Haedar, sikap keras hati dan merasa benar lah yang sering menjadi ganjalan dalam ber-ukhuwah di organisasi.
Jiwa Irfani
Menurut Haedar, berorganisasi itu memerlukan pola perilaku utama, yang dalam rujukan Islam disebut akhlak. Akhlak merupakan pola perilaku luhur dan terpuji.
“Muara akhlak mulia ialah jiwa yang fitri berpedoman kitab suci dan sunah nabi yang mengkristal dalam keluhuran jiwa irfani. Jiwa yang bersih yang bersumber taqwa yang senantiasa disucikan. bukan jiwa yang kotor bersumber fuzara yang membawa kerugian (QS Asy- Syams: 7-10)” tulis Haedar.
Haedar Nashir menyarankan para anggota Muhammadiyah untuk senantiasa memupuk akhlak irfani dalam berorganisasi, selain dalam kehidupan pribadi dan berinteraksi dengan sesama dan lingkungan.
“Jadikan patokan berorganisasi sebagai pola laku utama secara kolektif dalam berbuat kebaikan yang melintasi. Buktikan keleladanan dengan perilaku nyata, bukan dengan kata-kata. Berkata baik, lembut, teduh, damai, dan patut lambang keutamaan akhlak irfani” tulis Haedar.
Sikap garang, kasar, dan panas, bagi Haedar, merupakan pantulan jiwa fuzara yang mereduksi jiwa irfani. Jika kita terluka hati dan rasa oleh tindakan orang lain maka, bagi Haedar, jangan lakukan hal sama kepada sesama.
Akhlak Jama’i
Dalam berorganisasi, menurut Haedar, Muhammadiyah memiliki panduan khusus Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil Muktamar tahun 2000 di Jakarta. Menjadi pola berperilaku secara kolektif. Boleh dikata sebagai model akhlak jama’i. Di antara sikap akhlak jama’i dalam PHIWM yang perlu ditumbuhkan dalam berorganisasi:
- Dalam menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik yang timbul di Persyarikatan hendaknya mengutamakan musyawarah dan mengacu pada peraturan-peraturan organisasi yang memberikan kemaslahatan dan kebaikan seraya dijauhkan tindakan-tindakan anggota pimpinan yang tidak terpuji dan dapat merugikan kepentingan Persyarikatan.
- Setiap anggota pimpinan Persyarikatan hendaknya menunjukkan keteladanan dalam bertutur-kata dan bertingkahlaku, beramal dan berjuang, disiplin dan tanggungjawab, dan memiliki kemauan untuk belajar dalam segala lapangan kehidupan yang diperlukan.
- Wajib menumbuhkan dan menggairahkan perilaku amanat dalam memimpin dan mengelola organisasi dengan segala urusannya, sehingga milik dan kepentingan Persyarikatan dapat dipelihara dan dipergunakan subesar-besarnya untuk kepentingan da’wah serta dapat dipertanggungjawabkan secara organisasi.
- Setiap anggota pimpinan Muhammadiyah hendaknya menjauhkan diri dari fitnah, sikap sombong, ananiyah, dan perilaku-perilaku yang tercela lainnya yang mengakibatkan hilangnya simpati dan kemuliaan hidup yang seharusnya dijunjung tinggi sebagai pemimpin.
- Dalam setiap lingkungan Persyarikatan hendaknya dibudayakan tradisi membangun imamah dan ikatan jamaah serta jam’iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan gerakan da’wah yang kokoh.
- Setiap anggota pimpinan dan pengelola Persyarikatan di manapun berkiprah hendaknya bertanggungjawab dalam mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan (komitmen yang istiqamah) dan kejujuran yang tinggi, serta menjauhkan diri dari berbangga diri (sombong dan ananiyah) manakala dapat mengukir kesuksesan karena keberhasilan dalam mengelola amal usaha.
Di akhir tulisan, Haedar Nashir berharap semoga Allah selalu melimpahkan barakah dan karunia-Nya bagi kita dalam berkhidmat melalui organisasi sebagai wujud ibadah dan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan jiwa irfani.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya” (QS Al-Fajr: 27-28).
Reporter & Editor: Yahya FR
1