Literatur klasik yang masih terpelihara, memastikan bahwa Islam itu terbangun atas 5 (lima) perkara, yaitu (1) syahadatain, (2) menjalankan salat, (3) membayar zakat, (4) puasa Ramadan, dan (5) melaksanakan ibadah haji ke baitullah jika berkemampuan. Doktrin ini sesungguhnya tidak salah, atau sudah benar, tetapi belum sampai pada yang “sebenar-benarnya”, karena kurang bahkan tidak berefek lintas etnis, budaya, dan dunia.
Dalam sebuah referensi Kemuhammadiyahan menyebutkan, bahwa Islam berkemajuan atau Islam wasathiyah yang terus digelindingkan oleh Muhammadiyah, yaitu Islam yang cara memahaminya dilihat dari 2 (dua) sudut pandang sebagai berikut:
Islam Sebagai Agama
Sebagai agama, Islam adalah agama yang diwahyukan Allah Swt kepada para Nabi dan Rasul-Nya, sejak Nabi Adam As hingga Nabi akhir zaman, Muhammad Saw sebagai hidayah dan rahmat bagi umat manusia sepanjang masa. Yang tentu menjamin kesejahteraan hidup materiel dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
Dalam QS. Al-Baqarah: 136 dan QS. Asy-Syura: 13 digambarkan bahwa Islam sebagai agama telah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Saw dinobatkan menjadi Nabi dan atau Rasul-Nya. Dengan kata lain, Islam adalah agama yang diwahyukan Allah Swt sejak Nabi Adam As hingga Nabi pamungkas, Muhammad Saw
Mengingat tidak atau belum ditemukannya pengertian Islam yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul-Nya, maka dapatlah dipahami bahwa Islam pada saat itu sesungguhnya masih dalam bentuk konsep. Karenanya pula, dapat dikatakan bahwa Islam adalah konsep, ya, konsep untuk rahmatun lil-‘alamin. Meliputi pemikiran, rumusan, dan amal untuk membuat dunia ini menjadi damai, menjadi milik semua keluarga, semua suku, semua ras, semua wilayah, semua negara, dan semua-muanya. Intinya untuk dan atau milik umat manusia sebagai makhluk Allah Swt.
Dari manapun datangnya pemikiran dan rumusan tentang rahmatan li al-‘alamin tersebut, apakah dari umat Kristen (Katholik dan Protestan), dari Hindu, Budha, Kong Hu Chu, atau lebih utama dari umat Islam sendiri, agama Islam akan menerimanya dengan terbuka dan senang hati, selama untuk tadi itu (rahmatan lil ‘alamiin).
Kemudian, dalam menempatkan Islam sebagai agama dengan pengertian di atas, konsekuensinya bahwa dari dulu, kini, dan nanti, sesungguhnya umat beragama Islam memikul sikap dan sifat inklusif, terbuka, toleran, demokratis, moderat, dan bahkan liberal. Islam tidak membedakan suku, budaya, aliran, dan agama berikut para Nabi dan kitab-kitab suci yang dibawanya.
Inilah sebabnya, bahwa Islam sebagai agama, adalah agama bagi semua umat manusia. Sejak umat Nabi Adam hingga sekarang dan nanti.
***
Dengan kata lain, bahwa dalam konteks Islam sebagai agama, semua umat manusia adalah muslim. Umat Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih, hingga Nabi Isa As, pada dasarnya bukan umat agama lain. Bukan umat Kristen (Protestan atau Katholik) misalnya. Melainkan umat Islam juga.
Hanya saja, agama Islamnya adalah Islam gaya Nabi pada zamannya. Misalnya pada zaman Nabi Isa As, Islam yang dianutnya yaitu Islam menurut Nabi Isa As. Artinya, umat Nabi Isa As itu itu sesungguhnya adalah umat Islam juga. Yakni Islam yang belum lengkap. Belum disempurnakan seperti Islam yang diwahyukan kepada dan dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad Saw
Dengan pemahaman seperti ini, tergambar sudah bahwa Islam sebagai agama, artinya Islam memang liberal. Yakni sangat terbuka dan tak ada lagi orang di dunia ini yang bukan Muslim.
Semuanya termasuk muslim dengan gaya yang berbeda-beda. Ada Muslim gaya Nabi Isa As, ada Muslim gaya Nabi Muhammad Saw, dan ada Muslim gaya Nabi yang lainnya.
Islam Sebagai Ajaran
Konsep yang kedua, yaitu Islam sebagai ajaran. Dalam bahasa fikih, Islam sebagai syariat, sebagai petunjuk. Artinya, ketika Islam dipahami sebagai ajaran inilah yang membedakan antara Islam gaya Nabi Muhammad Saw dengan Islam gaya para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Islam gaya Nabi Isa As misalnya, ajaran yang berlaku berpedoman pada wahyu Allah, kitab suci Injil. Sedangkan gaya Nabi Muhammad Saw ajaran yang berlaku berpedoman pada wahyu Allah juga, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Jadi, di samping sebagai agama, Islam juga sebagai ajaran atau syariat.
Termasuk sebagai ajaran, Islam dengan demikian berarti juga sebagai sebuah gerakan, ya, gerakan untuk memasyarakatkan dan menjalankan syariat (ajaran) Islam. Atau tepatnya untuk mengajak kepad al-khair, amar ma’ruf, dan nahi munkar.
Seperti yang diisyaratkan oleh QS. Ali Imran: 104, artinya :
Hendaklah ada di antara Anda (semua), sekelompok manusia (umat) yang mengajak kepada kebajikan, dan menyuruh (berbuat) kebaikan, dan mencegah perbuatan munkar. Mereka (yang ajak-ajak demikian) itulah orang-orang yang beruntung.
Kesimpulan
Simpulnya, bahwa Islam, bagi kita adalah memunyai 2 (dua) dimensi besar dan lebar. Yaitu (1) sebagai agama, dan (2) sebagai ajaran.
Islam sebagai agama Allah, yaitu agama yang diwahyukan dan dianut oleh seluruh umat manusia, sejak nabi Adam hingga saat ini, saat kerasulan Muhammad Saw. Dengan pemahaman ini, secara otomatis, sesungguhnya seluruh umat manusia adalah sebagai Muslimun dan Muslimat, teman dan saudara kita sendiri, tidak boleh dimusuhi, dibenci atau diperangi, tidak boleh.
Al-Muslimu akhul-Muslim; sesama Muslim adalah bersaudara. Walau mereka secara sosiologis mengaku beragama Nonis (non Islam), tetapi pada hakekatnya mereka adalah Muslim. Minimal Muslim katepe atau Muslim yang ber-Nabi-kan selain Muhammad Saw.
Islam sebagai ajaran, sebagai sumber beribadah, pedoman berkarya, atau panduan hidup mewah di dunia dan di akhirat.
Kitab sucinya, yaitu Al-Qur’an, dan panutan utamanya sebagai uswatun hasanah, yaitu Nabi Muhammad Saw bagaimana penjelasannya. Supaya efektif untuk merawat relasi antaretnik, antarbudaya, dan antarbenua Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum!, begitu sabda Sayyidina Muhammad Saw.
Noor Chozin Agham, penulis buku Islam Berkemajuan Gaya Muhammadiyah – Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu’amalah Duniawiyah, UHAMKA Press, 2015.