FeatureNews

Islam Berkemajuan dalam Iptek, Pendidikan dan Budaya

5 Mins read

Halaqah Kebangsaan Cendekiawan dan Ulama Muhammadiyah bertema “Reinvensi Islam Berkemajuan: Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi” pada hari kedua, Kamis pekan pertama Februari 2019, membahas tentang Islam Berkemajuan pada era kontemporer dari perspektif ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, dan budaya.

Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof. Dr. Chairil Anwar menguraikan tentang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersenyawa dengan agama. Berbagai penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah peradaban manusia. Saat ini, dunia sudah memasuki revolusi keempat.

Revolusi industri 4.0 ini, kata Chairil, berkelindan dengan revolusi sebelumnya. Dimulai dengan revolusi pertama ketika ditemukan mesin uap. Revolusi kedua terjadi ketika ditemukan listrik dan kemudian mengubah wajah dunia. Pada revolusi ketiga, manusia menemukan personal komputer yang bisa mengolah data.

Dalam revolusi keempat sekarang, perangkat personal computer telah saling terhubung dan mampu melakukan olah data dengan canggih, yang melahirkan berbagai produk artificial intelligence. Rumus dan pola logaritma yang terintegrasi dengan sistem big data, telah melahirkan sesuatu yang tidak terduga, dan mengubah peradaban manusia.

Chairil menunjukkan sebuah survei tentang produk teknologi yang paling bermanfaat dan berpengaruh. Tiga besarnya adalah roda, listrik, dan internet. “Penemuan inilah yang mengantarkan manusia sampai seperti sekarang ini,” ujarnya. Dalam setiap penemuan itu, antara sains dan teknologi, tidak bisa dipisahkan. Revolusi industri keempat ditopang oleh revolusi industri sebelumnya. Semua saling terkait.

Beragam penemuan itu bermula dari penelitian yang kemudian dilembagakan. Upaya institusionalisasi penemuan ini bergabung dengan revolusi masyarakat yang dikenal dengan revolusi Perancis. Juru bicaranya, kata Chairil, adalah kelas menengah. Hal ini berdampak besar, menjadikan Paris dikenal sebagai pusat pencerahan.

Sisi lain, revolusi industri di Perancis bukan tanpa cela. “Akibat adanya revolusi, ada pengabaian agama dan tradisi, terjadi perbenturan dengan iman Kristiani,” ujarnya. Dampak dari pencerahan ini melahirkan intelektual kritis, yang mengkritisi ide-ide lama yang sudah mapan. Kebenaran diukur melalui akal dan hukum alam.

Revolusi keilmuan pada abad pertengahan, ungkap Chairil, terjadi melalui pertemuan semisal Halaqah Kebangsaan ini. Gagasan individu berhimpun dalam komunitas. “Proses elitisasi di tengah masyarakat terjadi. Mereka yang sadar itu membentuk kelompok. Pertemuan-pertemuan semacam ini menjadi sangat penting untuk melahirkan penemuan penting,” tuturnya.

Baca Juga  Mengenal Sepanjang, ‘Ibu Kota’ Muhammadiyah Sidoarjo

Penemuan yang mampu merubah peradaban harus didukung oleh lembaga perguruan tingggi. Penemuan harus bersifat akademis dan aplikatif. Menurut Chairul, penelitian harus menciptakan ilmu untuk terus berkembang dan di saat yang sama juga harus bermanfaat langsung bagi masyarakat. Penemuan harus melahirkan manfaat yang berdampak luas dan berjangka panjang

Inovasi dan discovery memerlukan penelitian. “Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah mengemban tugas ini. Mengemban misi peradaban,” katanya. Chairil menunjukkan realita bahwa Islam sampai hari ini masih jauh di puncak peradaban. Para tokoh penerima hadiah nobel, umumnya bukan beragama Islam.

“Apa yang disumbangkan Islam bagi peradaban?” sebuah pertanyaan yang patut direnungkan bersama. Baru lahir tiga Muslim yang pernah memenangkan hadiah nobel. Menurut Chairil, sebuah negara yang pernah mendapat hadiah nobel akan mendapat apresiasi yang tinggi. Menjadi semacam etalase yang menunjukkan kemajuan negara tersebut.

Riset and development, ujar Cahiril, adalah kata kunci menuju kemajuan. Korea Selatan mencurahkan dana besar untuk penelitian dan pengembangan teknologi. Indonesia dan khususnya Muhammadiyah perlu berbenah diri. Perguruan Tinggi harus menjadi motor utama dalam riset dan publikasi. “Dosen kita harus banyak melakukan sesuatu,” tukasnya.

Islam Berkemajuan dalam Pendidikan

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti mengupas tentang gagasan Islam Berkemajuan dalam perspektif pendidikan. Islam Berkemajuan yang melekat pada Muhammadiyah berangkat dari nasihat Kiai Ahmad Dahlan: dadiyo kiyai sing kemadjoean, lan ojo pegel anggomu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah. Jadilah kamu kiai yang berkemajuan dan jangan menjadi beban masyarakat

Pendidikan awal Muhammadiyah memberikan keluasan dalam berpikir. Orientasi berpikir yang berjangka panjang, sehingga melahirkan tipikal ulama intelektual atau cendekiawan cum ulama. Dalam perjalanannya, mereka dibimbing oleh akal dan wahyu yang berjalan seiring dan saling menopang.

Baca Juga  Sulitnya Mengabaikan Perbedaan Muhammadiyah-NU

Menurut Mu’ti, pendidikan sebelum Kiai Dahlan, masih berlangsung dikotomis. Pesantren hanya berorientasi pada agama dan sekolah modern hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan umum. Kiai Dahlan mempertemukan kedua model ini. “Ini menjadi titik tolak menyelesaikan problem masyarakat melalui pendidikan,” ujarnya.

Muhammadiyah dengan slogan ilmu amaliah dan amal ilmiah melakukan integrasi keilmuan dengan pendekatan yang beragam. Paling tidak, kata Mu’ti, ada upaya mendialogkan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dalam upaya itu, dibutuhkan pemahaman yang tidak parsial. “Al-Qur’an harus didekati dengan berbagai perspektif. Harus ada keberanian mengenalkan model-model pendekatan baru,” ulas Abdul Mu’ti.

Menurutnya, Qur’an Surat An-Naml (27): 69, “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa,” memiliki makna mendalam. Ayat serupa terdapat dalam misalkan Qs. 67:15, Qs. 30:9, Qs. 29:20, Qs. 16:36, Qs. 3:137, Qs. 6:11, dan seterusnya.

Mu’ti memahami ayat ini sebagai perintah, “Jelajahilah dunia!” Dari pemahaman ini akan melahirkan orientasi berpikir untuk menggunakan alat transportasi dan alat teknologi yang canggih. “Tidak ada ayat menciptakan pesawat, tetapi bagaimana mungkin bisa menjelajah dunia tanpa pesawat,” katanya.

Tidak berhenti di situ. Inspirasi untuk membuat pesawat dengan teknologi canggih, muncul dari mengamati burung terbang. “Pendidikan berkemajuan harus memberikan kesempatan akal untuk berimajinasi intelektual yang berawal dari mengamati alam raya,” ulas Mu’ti. Dalam hal pendidikan, maka orientasinya harus bisa melahirkan imajinasi dan kreativitas.

Dari menjelajahi dunia ini berkembang ilmu bahasa, berkenalan dengan ragam perbedaan suku, agama, ras. Sehingga membentuk sikap mental dan cara berpikir yang terbuka, serta menghargai perbedaan yang ada. Mu’ti mengutip hadis: Perbedaan di antara umatku menjadi rahmat. Di sinilah pentingnya memberi ruang bagi inovasi dan perbedaan.

Setelah orang melakukan traveling, kata Mu’ti, maka membutuhkan penginapan dan pusat kuliner, menghidupkan roda ekonomi. Dan seterusnya. Dalam hal ini, agama perlu terus ditafsir ulang sesuai dengan konteks zaman yang berubah. Penafsiran ulang perlu diberi ruang yang proporsional. Integrasi agama dan ilmu pengetahuan mutlak dibutuhkan.

Baca Juga  Bentuk Gugus Tugas Covid-19, Warga Cakung Timur Ini Layak Jadi Contoh

Islam Berkemajuan dalam Kebudayaan

Budayawan Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa ada sesuatu yang hilang dari bangsa Indonesia. Dalam berbagai bidang, Indonesia sebagai bangsa, mengalami peluruhan karakter dan identitas dasarnya. Oleh sebab masalah mendasar ini, di kemudian hari sering melahirkan berbagai masalah yang timpa-menimpa.

Radhar memulai dengan penjabaran tentang awal mula agama paganistik yang sangat beragam di seluruh Nusantara. Kemudian datang agama langit. Dalam keberbagaian agama itu, Indonesia memiliki pengokoh: Bhineka Tunggal Ika. “Perbedaan di-accept sebagai tubuh masyarakat,” ujarnya. Unsur inilah yang membentuk wajah peradaban kita.

Dalam perjalanannya, semangat untuk menghargai perbedaan ini meluruh. Melahirkan sikap yang bertentangan dengan karakter dasar kita dan menjadi anti perbedaan. “Padahal, kita membutuhkan orang lain untuk membentuk diri kita dan menyempurnakannya. Itu asas awal,” katanya. Oleh karena itu, ungkap Radhar, kearifan masa lalu perlu dipelihara.

Dalam 200 tahun yang lalu, ketika kolonialisme berubah menjadi imperialisme, banyak yang berubah. “Imperium penjajah tidak hanya melakukan perampokan natural secara sistemik. Bukan hanya perampokan kekayaan natural, tapi juga produk sumber daya kultural,” ulasnya. Sumber daya kultural ini jarang disadari sebagai kekayaan.

“Produk kultural itu sebagai puncak peradaban, yang mencerminkan siapa kita. Representasi identitas diri kita. Cermin yang menstansmisi budaya leluhur,” tuturnya. Kehilangan kekayaan kultural itu diganti dengan tafsir para kolonial. Proses penghilangan identitas itu menguat pada 100 tahun yang lalu. Ketika Barat mengkonstruksi bahwa Eropa adalah puncak kemajuan peradaban dan seluruh dunia harus berkiblat padanya.

Disadari atau tidak, hal ini mengubah alam kesadaran bangsa Indonesia sebagai bekas negara jajahan. “Kurikulum kita tidak pernah mengacu pada kekayaan diri kita,” ujarnya. Basis ideologi hingga epsitemologinya menjadi serba kolonial. Demikian halnya dengan sistem hukum, ekonomi, politik. Tidak ada lagi yang murni.

Ketika ini terjadi, Radhar melihatnya sebagai sikap menolak atau mengkhianati realitas primordial. “Padahal realitas primordial melahirkan sebuah kecerdasan primordial yang melampaui kecerdasan akademik,” terangnya. Kecerdasan primordial yang dimaksud, berlandasakan pada kearifan lokal yang membentuk diri seseorang.

Sisi lain yang membuat ironis, kita mengeruk dan menikmati semua kekayaan hari ini tanpa memberi bekal bagi mereka yang hidup di masa depan. Pada era revolusi industri 4.0, Radhar berharap semua pihak berbenah diri. Menciptakan SDM yang memanisfestasikan ide dan imajinasi baru.

Para generasi saat ini, pendidikan harus dikenalkan dengan identitas primordial, sehingga punya bekal kapasitas hidup. Membangun jiwa manusia harus didahulukan, sehingga pembangunan fisik sarana dan prasarana bisa berdayaguna. Termasuk di dalamnya adalah membangun dan melestarikan kebudayaan dan kearifan lokal. “Kebudayaan menciptakan bangsa, bangsa menciptakan negeri dan negara,” ungkapnya.

Menurut Radhar Panca Dahana, seluruh aspek dalam kehidupan hidup manusia bertujuan untuk menciptakan keselarasan atau harmoni hidup. Oleh karena itu, tatanan masyarakat harus bisa menjamin kelayakan hingga kenyamanan hidup manusia guna memperoleh kebahagiaan.

Penulis  : Muhammad Ridha Basri

Related posts
News

28.536 Guru PAI di Sekolah Ikuti PPG 2024 untuk Tingkatkan Kompetensi dan Kesejahteraan

1 Mins read
IBTimes.ID, Jakarta (20/12/24) – Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah sukses melaksanakan Pendidikan Profesi…
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds