Halaqah Kebangsaan Cendekiawan dan Ulama Muhammadiyah pada Kamis pekan pertama Februari 2019, sesi terakhir, membahas tentang Islam Berkemajuan dan Tantangan di Media Sosial. Menghadirkan Dr Haryatmoko dan Irfan Amalee MA sebagai narasumber utama.
Haryatmoko membahas tentang tantangan era post truth atau pasca kebenaran. Tahun 2016, post truth dinobatkan sebagai word of the year. Haryatmoko menyatakan bahwa di masa pasca kebenaran, nilai-nilai moral kehilangan eksistensinya. Berbohong menjadi hal wajar dan dimaklumi, tidak lagi dianggap sebagai kesalahan. Bohong seolah hanya masalah pilihan kata. Terpenting adalah mampu menyakinkan seolah-olah benar. Fakta tidak lebih penting dibanding cara berkisah dan media penyampaian.
Era post truth melahirkan dunia yang penuh citra. Penyampai pesan tidak berjalan lurus dengan isi penyampaian. Ketika sudah dikenal dan menjadi selebritis, maka yang diceritakan adalah hal-hal besar, yang rentan kebohongan dan hanya sesuai kecenderungan pribadi. “Kebohongan memikat karena mengikuti logika yang dibohongi,” ujar Romo.
Dalam era post truth, keyakinan pribadi mengalahkan fakta dan data, mengalahkan temuan bukti ilmiah. Antara fakta dan opini menjadi kabur. “Kriteria kebenaran diabaikan,” tuturnya. Tidak lagi mengacu pada prinsip koherensi, korespondensi, praktis, dan seterusnya. Fakta objektif dikalahkan oleh sisi emosional. Orang tidak mau bersusah payah melakukan verifikasi terhadap fakta.
Asalkan sesuatu informasi atau berita memiliki titik kesamaan emosional dengan keyakinan pribadi, maka akan dipercaya sebagai kebenaran. Publik hanya mempercayai informasi dan pengetahuan dari yang seideologi dengannya, menafikan dari yang berseberangan. Substansi isi pesan menjadi tidak lebih penting dibanding sosok penyampai dan sumber pesan. Hormon oksitosin membuat orang merasa intim dan senang dengan objek yang dekat dengannya. Sebaliknya, merasa jauh dengan objek yang berbeda dan apalagi yang dibenci.
Menurut Haryatmoko, pasca kebenaran ini bersenyawa dengan politik. Kondisi politik membuyarkan realitas. Informasi bohong disampaikan dengan cara mengobok-obok emosi. Kita masih ingat kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada November 2016. Tawaran program dan janji yang dikampanyekan sering tidak masuk akal. Namun dipercaya.
Sebut misalnya, keinginan Trump membangun tembok pemisah dengan Meksiko sepanjang 2000 mil. Biayanya fantastis, berkisar belasan milyar dolar. Meskipun tidak masuk akal, tetapi sukses mengaduk emosi. Ketika kompetitor politiknya berusaha menyuguhkan fakta-fakta ilmiah, justru tidak banyak berguna.
Di masa normal, ungkap Romo Haryatmoko, sensor dilakukan dengan cara menutup, memblokir, melarang, atau memotong informasi. Di era post truth, cara untuk menyensor kebenaran justru dengan menggelontorkan informasi sebanyak-banyaknya, sampai kebenaran menjadi kabur dan orang menjadi skeptis.
Contohnya, Romo makan dengan seorang perempuan. Publik yang melihat akan mengatakan, ‘Romo kok pacaran?’ Untuk membantahnya, romo tidak perlu klarifikasi atau membungkam atau pindah ke tempat sepi. Romo cukup mengajak makan 29 cewek lainnya di waktu berbeda. Melihat itu, orang akan berpikir, masak romo pacaran dengan sebanyak itu, mungkin mereka hanya mahasiswinya. Informasi yang sebenarnya kabur dan orang skeptis.
Menghadapi era pasca kebenaran, diperlukan kebijaksanaan dalam menerima informasi. Haryatmoko menyarankan masyarakat untuk melatih analisa wacana kritis. Tidak mudah larut dengan apapun yang disajikan. Pilihan bahasa juga menjadi penting diperhatikan.
Platform media sosial yang menggunakan rumus algoritma tertentu mendukung ekosistem post truth berkembang. Kita akan digolongkan dan dimasukkan dalam gelembung informasi tertentu yang sesuai dengan diri kita. Mengutip sebuah penelitian PEW, Romo menyebut ada 62 persen orang di Amerika Serika mencitrakan diri melalui media sosial.
Anak Muda dan Tantangan Dakwah di Media Sosial
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Irfan Amalee mengungkap tentang dakwah media sosial dan pentingnya memahami realitas dunia yang berubah. Menurutnya, memahami karakter anak muda menjadi penting dilakukan untuk kemudian bisa bersinergi dan mengambil langkah dakwah yang tepat.
Menurut Irfan, kebutuhan saat ini menuntut anak muda untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi dan berkolaborasi, pemecahan masalah, manajemen konflik. Pendidikan generasi milenial juga tidak bisa berbasis pola lama yang mementingkan timbunan informasi di otak, apalagi sekadar hanya menuntut persaingan.
Generasi muda cenderung menggunakan informasi dengan bahasa visual. Generasi muda hari ini dengan kreatifitasnya, mampu mencipta beragam platform dan karya positif yang tidak terpikirkan sebelumnya. Kadang, mereka dianggap melawan arus. “Generasi milenial itu everyone has a hero inside. Milenial ingin menjadi hero, ingin mengubah dunia (berkonstribusi) dengan cara mereka,” tutur Irfan Amalee.
Generasi milenial ternyata punya jiwa kerelawanan, solidaritas, dan semangat filantropi yang tinggi, asalkan memiliki kesamaan visi. Mereka senang menyalurkan donasi kepada gerakan yang dianggap kredibel, tampilannya keren, dan langsung memberi kontribusi pada sesama. Gerakan kaum milenial dengan platform baru ini tidak bisa dianggap sepele.
Dengan caranya, anak-anak muda mampu melahirkan gerakan atau komunitas yang memiliki pengaruh luar biasa. Bahkan melebihi pengaruh organisasi yang sudah mapan. Semisal gerakan Kitabisa.com, Laskar Sedekah, Amartha, Change.org, Ruang Guru, Indonesia Berkebun, Peace Generation, Indonesia Bercerita, hinggagerakan Berbagi Nasi.
Selain tentang platform, Irfan juga mengingatkan tentang pentingnya konten yang disajikan. Sehingga pesan yang disampaikan bisa efektif dan efisien. Menurut sebuah survei, tema yang paling disukai anak muda adalah yang bersifat entertain, tutorial, atau yang menggunakan semacam story telling. Metode dakwah konvensional perlu untuk diperkaya dan dimodifikasi.
Islam Progresif dan Filantropi Islam
Ketua Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiya (Lazismu), Hilman Latief menyatakan bahwa Muhammadiyah perlu terus memperkaya perspektif dan metodologi tentang wacana Islam Berkemajuan.
Menurutnya, wacana tentang progresif muslim terkait dengan tiga hal: keadilan sosial, gender, dan pluralisme. “Muslim yang maju atau Islam Berkemajuan bisa diukur dengan tiga isu ini. Keadilan sosial banyak dibahas dalam literatur Muslim, namun tentang gender, tidak begitu banyak,” katanya.
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi reformis atau modernis. Namun, hal itu perlu terus dicarikan format yang tepat. Hilman mengajukan pertanyaan: Apakah organisasi modernis semakna dengan maju atau progresif? Modernis identik dengan sikap terbuka. Dalam hal keterbukaan ini, perlu disertai dengan sikap kritis. Misalkan bahwa tidak semua yang muncul di Barat itu selalu relevan dengan kita.
Hilman melihat ada kecenderungan bahwa kata progresif tidak berani digunakan oleh Muhammadiyah, mungkin karena ada asosiasi tertentu. Padahal, menurutnya, kata progresif tidak mengadopsi Barat. Progresif juga memungkinkan untuk bersikap critical kepada apa yang ditawarkan oleh Barat.
Sikap ini bisa menjadi paradigma Muhammadiyah, bahwa sikap maju atau berkemajuan juga meniscayakan sikap kritis. Mengkritik berbagai peradaban lain jika tidak sesuai values. Namun, mengkritik harus dengan adil dan objektif.
Dosen UMY ini juga menginginkan supaya kemajuan Muhammadiyah ditopang oleh kemajuan dalam metodologi dan kerangka epistemologi. “Maju karena gagasannya yang melampaui. Maju dalam aspek metodologi. Berkemajuan itu bukan sekadar slogan, tapi harus punya metodologi,” ujarnya. Metodologi yang dimaksud termasuk juga dalam hal menawarkan gagasannya ke publik. Menerjemahkan gagasan yang asbtrak menjadi membumi.
Menurutnya, ada banyak dokumen dan keputusan resmi organisasi yang sebenarnya sudah berkemajuan dalam artian melampaui zaman, namun jarang diketahui oleh publik. “Setiap lima tahun Muhammadiyah membuat rekomendasi muktamar. Banyak ide-ide bagus dan progresif. Misalnya tentang asnaf zakat. Sudah berbicara tentang SDGs,” katanya. Dalam hal ini, objek yang menjadi sasaran pemberdayaan Lazismu adalah juga kelompok rentan yang menjadi 17 agenda pembangunan berkelanjutan yang ditargetkan tercapai pada 2030.
Termasuk di antara rekomendasi muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar misalnya tentang human trafficking dan perlindungan buruh migran. Muhammadiyah memandang perlu dilakukan advokasi secara serius terhadap para pekerja Indonesia di luar negeri dan memberikan wacana yang benar mengenai kesamaan derajat manusia.
Teks : Muhammad Ridha Basri Bahan : Azaki Khoirudin