Oleh: Muhamad Rofiq *
Dalam studi Islam kontemporer, ada tiga nama yang memiliki kontribusi besar dan sangat penting untuk diketahui oleh para pengkaji dalam disiplin ini. Nama tersebut adalah: Edward Said, Wael B Hallaq, and Joseph A Massad.
Ketiga sarjana ini memiliki banyak kesamaan: sama-sama berasal dari tradisi Kristen, berasal dari etnis Arab Palestina, dan yang paling penting, mereka sama-sama kritis terhadap kesarjanaan Barat yang mendiskreditkan Islam. Untuk poin terakhir, barangkali tidaklah berlebihan kalau tiga orang tokoh ini disebut sebagai the defenders of Islam (para pembela Islam).
Dari tiga tokoh tersebut, Edward Said adalah nama yang paling dikenal. Pengaruhnya sangat luas, melampaui bidang Islamic studies. Ia dianggap sebagai pencetus kajian pos-kolonialisme dan menjadi rujukan bagi para penulis yang menggunakan paradigma ini. Ketika orang menyebut kritik terhadap epistemologi pengetahuan Barat, nama Said pasti tidak bisa ditinggalkan.
Nama kedua, Wael B Hallaq, dikenal secara lebih khusus oleh para peneliti bidang hukum Islam. Fokus tulisannya adalah membantah tesis-tesis orientalis terkait dengan status, asal-usul, dan perkembangan hukum Islam. Belakangan minat riset Hallaq meluas: mencakup bidang politik Islam dan teoretisasi kajian akademik Barat tentang Islam (orientalisme).
Nama ketiga, Joseph Massad, tampaknya relatif masih baru dan belum banyak dikenal, khususnya oleh publik di tanah air. Massad adalah profesor bidang sejarah intelektual di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Di kampus ini, ia bergabung dengan ‘geng’ intelektual pos-kolonial lainnya: Gayatri Spivak, Wael B Hallaq, dan mentornya sendiri almarhum Edward Said.
Massad adalah seorang Saidian (pengikut Edward Said) sejati. Hal tersebut tampak jelas dari beberapa karya yang ia tulis. Bukunya yang berjudul Desiring Arabs (2006) yang melambungkan namanya, bisa disebut sebagai buku yang menerapkan kerangka berfikir kritis Said dalam Orientalism. Buku ini mengupas tentang bagaimana dunia Barat pada abad kesembilan belas dan dua puluh merepresentasikan persoalan seksualitas dunia Arab.
Buku Massad lain yang sangat berpengaruh adalah Islam in Liberalism (2015) yang akan dikupas dalam tulisan ini. Buku yang diterbitkan oleh University of Chicago ini banyak mendapatkan pujian dari tokoh pos-kolonialis lainnya, diantaranya adalah Talal Asad yang juga banyak mempengaruhi Massad. Menurut Asad, buku ini dapat disejajarkan dengan karya-karya kritis Edward Said. Bahkan dari segi data, buku ini menurutnya jauh lebih kaya.
Tesis Besar Massad
Secara umum, ada tiga tesis besar yang diajukan oleh Massad dalam bukunya ini. Pertama, Massad menolak kecenderungan sebagian intelektual Barat pengkaji Islam, di antaranya adalah Leonard Binder, Charles Kurzman, dan Vincent J Cornell, yang mengapresiasi kecendrungan liberal dari sebagian tokoh-tokoh muslim. Tiga sarjana ini melihat bahwa Islam liberal (dalam pengertian Islam yang mengadopsi atau sejalan dengan nilai-nilai liberal Barat) adalah Islam yang paling layak untuk dipromosikan.
Bertolak belakang dengan hal tersebut, bagi Massad, liberalisme adalah murni produk Barat yang tidak layak dijadikan kerangka teoretik untuk melihat Islam. Liberalisme bukanlah produk pemikiran yang lahir secara organik dari kebudayaan Islam. Singkatnya, menurut Massad, Islam bertentangan dengan nilai-nilai liberalisme.
Kedua, betapapun liberalisme adalah barang asing dalam kebudayaan Islam, Massad meyakini bahwa dalam proses terbentuknya identitas Barat yang liberal, terdapat ‘peran’ sentral Islam di dalamnya. Peran tersebut bukan dalam bentuk injeksi nilai-nilai moral filosofis ke dalam nya, tetapi dalam proses self-identification.
Sejak awal periode modern sampai saat ini, pada saat Barat mengkonstruksi dirinya sebagai peradaban liberal, Barat selalu membuat bayangan imajiner yang mereka anggap sebagai anti tesis dari konstruksi liberal yang ideal. Bayangan imajiner yang mereka hindari tersebut menurut Massad tidak lain adalah Islam. Jadi, Islam diciptakan sebagai the other (yang lain), untuk kemudian diingkari dan ditolak kembali.
Dengan kata lain, bagi Massad, peran Islam dalam lahirnya liberalisme Barat adalah sebagai anti tesis dan lawan dari ideologi ini. Islam adalah kebalikan dari apa yang ingin dibangun oleh Barat tentang dirinya sendiri. Massad menyebut contoh, pada saat Barat mengidenfikasi diri sebagai sekular dan demokratik, mereka membayangkan Islam sebagai teokratik dan despotik.
Ketiga, Massad mengingatkan bahwa liberalisme Barat bukan hanya sekedar pemikiran dan ideologi, tetapi juga proyek penjajahan. Menurutnya, liberalisme sesungguhnya sudah menyatu bahkan menjadi pelayan bagi kepentingan imperial Barat.
Barat menurut Massad bukan hanya terobsesi untuk mempromosikan nilai-nilai liberal yang mereka anut, tetapi juga menganggap bahwa nilai itulah yang paling unggul di atas sistem nilai lainnya. Di balik promosi nilai tersebut, ada keinginan terselip untuk menjajah. Barat ingin menciptakan tatanan dunia yang sesuai dengan liberalisme.
Siapapun yang menolak dan bertentangan dengan nilai liberalisme Barat, akan mendapatkan stereotype (cap negatif) sebagai irasional, patologikal, intoleran, psikopat, misoginis, neoretik, dan totalitarian. Massad mengingatkan muslim bahwa “penanaman nilai-nilai Barat harus dilawan melalui gerakan anti imperalisme”.
* Penulis adalah alumni PCIM Mesir dan anggota PCIM USA