Teks-teks Islam yang ditulis oleh sarjana-sarjana muslim terdahulu; hasil dari pembacaannya terhadap Qur’an dan konteks kebudayaan zamannya mayoritas dirancang dengan paradigma tekstual-bayani (Amin Abdullah, 1996).
Dengan implikasi pembacaan turunan yang normatif. Teks-teks itu; baik ilmu kalam, tasawuf, fiqh, dan lain-lain dianggap sebagai sebuah korpus yang tertutup dan telah sempurna—sehingga berakhir pada kesimpulan ia mesti ‘baik’ dan ‘salih’ untuk diterapkan dalam bermacam kondisi ruang dan waktu.
Sebuah buku (baca: kitab) yang terbit satu milenium lalu dibaca dan diterapkan sebagaimana adanya; mengikuti bunyi teks an sich. Konteks historis yang melatarbelakangi penulisan dan kegelisahan intelektual penulis dalam melihat kondisi sekitarnya tidak diletakkan sebagai sesuatu yang penting. Selanjutnya, ini melahirkan nalar epistemologis yang terputus.
Rekonstruksi Atas Teks Agama
Mayoritas muslim di Indonesia, tokoh-tokoh agamawan, merekontruksi nalarnya dalam mendekati teks sebatas di wilayah normatif. Artinya, sesuai kaidah-kaidah yang tertulis saja. Bagi kelompok ini, mendekati teks dengan imajinasi dan metafora adalah sesuatu yang patut dihindari—untuk tidak mengatakan dilarang sama sekali. Beberapa karena memang memilih menghindar, beberapa yang lain sebab tidak memiliki alat bantu analisis yang cukup untuk mendekati, membongkar dan mengurai sebuah teks.
Dalam pengertiannya yang luas, teks tidak dapat dikatakan hanya sebagai sesuatu yang tertulis saja pada lembar-lembar kertas atau buku. Kebudayaan, tradisi, paradigma berpikir (the way of thinking), kebiasaan-kebiasaan dan laku-hidup sebuah masyarakat adalah bagian dari teks—bahkan adalah teks itu sendiri; meminjam Habermas, realitas sosial sebagai teks.
Bila realitas sosial dibaca sebagai teks—layaknya buku, maka tidak ada teks yang sakral dan luput dari rekonstruksi serta cacat. Sebuah buku yang relevan tentang keislaman dalam tema-tema tertentu pada masa lampau di kebudayaan Arab dan Islam Timur Tengah belum tentu masih relevan saat dibenturkan dengan realitas hari ini di Indonesia. Tantangan dan fenomena sosialnya berbeda. Tafsir-tafsir atau penjelasan-penjelasan turunan terhadap teks-teks itu perlu dikoreksi dan dikembangkan.
Dari Normatif ke Historis: Sebuah Pendekatan Baru pada Islam
Bagaimana cara membaca teks-teks yang lampau itu? Salah satu syarat paling awal dan harus dipenuhi adalah; pendekatan-pendekatan tekstual-bayani yang bertumpu pada ilmu manthiq dan ilmu-ilmu alat lain di pesantren mesti dilengkapi dengan metodologi berpikir ilmu-ilmu sosial.
Teks-teks itu dibaca dengan kritis melalui kerangka antropologis, psikologis dan sosiologis. Tanpa meminjam kacamata itu, kajian keislaman atau studi Islam secara umum tidak akan berkembang, dan masyarakat masih akan memakai cara-cara lama dalam beragama atau merekontruksi realitas sosial di sekitarnya.
Ketidakmampuan dalam menalar karena keterbatasan metodologi dapat dikurangi dengan membaca. Membaca teks-teks dengan tema yang sama, namun dengan kerangka berpikir sosial-kritis (baca: filsafat kritis). Ini yang kurang dalam pendekatan studi keagamaan dan keislaman di Indonesia.
Literatur-literatur keislaman Indonesia; yang berbicara tentang rekonstruksi terhadap teks masa lampau sangatlah terbatas. Kalaupun ada, ia ditulis oleh para sarjana Eropa, yang tidak hidup dan menjiwai problematika kebudayaan Indonesia sendiri.
Intellectual Imperialism: Academic Dependency
Di tengah-tengah problem itu, ini menjadi semakin kompleks. Terdapat apa yang disebut oleh Farid Alatas sebagai intellectual imperialism (Farid Alatas, 2022).Hal ini membawa pada kecenderungan sentralistik simpulan-simpulan dan hipotesa-hipotesa akademik pada segelintir sarjana. Dengan tendensi ‘lebih berkualitas’ dibanding yang ditulis oleh sarjana-sarjana dalam negeri. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sarjana-sarjana muslim di Indonesia.
Produk turunan dari apa yang disebut sebagai intellectual imperialism adalah academic dependency; ketergantungan akademik. Hal ini telah lama hidup dalam paradigma-paradigma sarjana studi keislaman di Indonesia. Para sarjana itu menganggap Barat (baca: sarjana-sarjana Eropa) sebagai mercusuar, panutan dan figur bagi pengembangan-pengembangan keilmuan dalam negeri.
Sebagai usaha rekonstruksi metodologis dalam studi keislaman, hipotesa-hipotesa akademik para sarjana itu sah-sah saja, tetapi sebagai ideologi baru; maksudnya, dipercaya sebagai sesuatu yang baku dan mesti dipakai secara umum dalam setiap tema dari kajian keislaman merupakan suatu tiang yang ringkih. Mengingat, kebudayaan dan produk alam pikir Islam Indonesia sangatlah kompleks dan bercabang.
Usaha-usaha mendekatinya hanya sampai pada aksioma—titik awal bagi argumentasi-argumentasi akademik lanjutan. Artinya, proses rekonstruksi paradigma dan kerja metodologis dalam satu atau dua bidang keilmuan tidak pernah selesai.
Tidak bisa sarjana-sarjana muslim yang mengkaji soal-soal keislaman itu menganggap apa yang dihasilkan oleh proyeksi sarjana-sarjana ‘mercusuar’ itu sebagai produk yang siap pakai di pasar bebas produksi pengetahuan. Alih-alih demikian, produk pemikiran yang dianggap terlanjur ‘mercusuar’ itu juga mesti diletakkan pada tempat yang sama dengan teks lampau; dibedah, dibongkar dan diurai—seperti yang saya bicarakan di awal. Itu.
Editor: Soleh