Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki warisan lama berupa naskah-naskah keagamaan (Islam). Warisan ini antara lain adalah peninggalan dari para penyebar agama dan ulama kesultanan dari kerajaan-kerajaan Islam yang pernah jaya di Pulau Borneo Barat. Sejumlah ulama tersebut antara lain Syekh Ahmad Khatib Sambas dan Muhammad Basiuni Imran (Sambas), dan Ismail Mundu (Kubu dan Pontianak).
Naskah-naskah hasil karya mereka kemudian tersimpan, baik di istana atau di kalangan keluarga kerajaan maupun di tengah anggota masyarakat. Keberadaan naskah di Kalimantan Barat relatif menyebar di berbagai daerah, terutama di bekas-bekas kesultanan Melayu-Islam, seperti Pontianak, Sintang, dan beberapa bekas kesultanan kecil yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu.
Salah satu daerah bekas kerajaan yang juga masih menyimpan banyak naskah keagamaan ialah Sambas. Sambas merupakan daerah yang relatif sudah terkenal memiliki tradisi keagamaan yang baik. Kawasan ini pernah melahirkan ulama tasawuf yang terkenal, yakni Syekh Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Namun, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini. Sebenarnya ada tokoh lain yang juga meninggalkan jejak berupa manuskrip yang berisikan ajaran tasawuf. Tokoh tersebut adalah Muhammad As’ad, seorang guru tarekat di daerah Selakau, Sambas di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Perkembangan Islam di Sambas
Terkait kajian Islam yang ada di Sambas, informasi paling awal antara lain menyebutkan bahwa Islam datang ke Sambas diperkirakan pada awal abad ke-15 yang dibawa oleh orang Cina. Menurut informasi tersebut, pada tahun 1407 telah terbentuk kelompok Muslim Hanafi, suatu komunitas Cina, di Sambas. Kemudian pada tahun 1463 Laksamana Cheng Ho, pengembara yang terkenal, atas perintah Kaisar Cheng Tsu atau Jung Lo, kaisar keempat Dinasti Ming, selama tujuh kali memimpin ekspedisi ke Nan Nyang ada beberapa anak buahnya yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaut dengan masyarakat setempat.
Diyakini mereka membawa dan mengamalkan ajaran Islam yang telah mereka anut. Awal abad ke-18, masa berkuasanya sultan Sambas ke-3, yakni Muruhum Adil atau Raden Miliya bin Raden Bima bergelar Sultan Umar Aqamaddin I (1702-1727 M), Islam dengan corak tasawuf telah masuk dan berkembang di Sambas.
Perkembangan awal dan eksistensi tasawuf atau tarekat di Kalimantan Barat, khususnya di Sambas, tidak dapat dilepaskan dari peran ulama yang bernama Muhammad As’ad.
Naskah Tasawuf Muhammad As’ad Sambas
Muhammad As’ad bin Muhammad Yasin al-Banjariyah lahir pada tahun 1807 merupakan salah satu guru tarekat yang menyebarkan ajaran tasawuf di Sambas. Salah satu naskah yang ditulis beliau mengenai tasawuf adalah naskah Hikam ibn ‘Athaillah. Naskah ini selesai disalin pada hari Sabtu, 29 Rabiul Awwal 1280 H atau 13 September 1863 M.
Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah pada khususnya dalam tasawuf. Di antara para tokoh sufi lainnya, seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan para tokoh tasawuf falsafi lainnya, pemikiran dalam kitab ini bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan konsep ketuhanan, tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengalaman ibadah syariat.
Adapun corak naskah tawasuf al-Hikam yang disalin oleh Muhammad As’ad Sambas, secara umum tidaklah semata-mata berisi ajaran tasawuf yang mudah dimengerti. Ungkapan-ungkapan di dalamnya sebagiannya bercorak filsafat. Walaupun agak berbeda dengan tasawuf al-Hallaj dan Ibnu Arabi yang cenderung membicarakan aspek ontologi ketuhanan, dalam naskah ini konsep yang berkaitan dengan tauhid berisi tentang relasi manusia dan Tuhan.
Beberapa isi naskah ini berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia.
“kesenangan dan kesusahan dipergilirkan oleh Allah semata-mata agar manusia menyadari adanya Allah dalam keadaan-keadaan tersebut. Dia melapangkan anda agar Dia tidak mengabadikan anda dalam kesempitan. Dia menyempitkan anda agar Dia tidak meninggalkan anda dalam kelapangan. Dia mengeluarkan anda dari kelapangan dan kesempitan agar anda tidak menjadikan sesuatu selain Dia”
Tuhan harus merupakan pusat segala niat, aktivitas dan tujuan manusia. Segala sesuatu seperti doa dan amal manusia hanya merupakan sarana menuju Tuhan. Sifat kelembutan, kedekatan dan kasih sayang Allah mendahului adil dan Murka-Nya.
“Tuhanku betapa lembut engkau kepadaku meskipun begitu besar ketololanku, dan betapa sayang_mu kepadaku meskipun buruk perbuatanku. Ilahi, betapa dekat Engkau dariku dan betapa jauh aku dari-Mu”
Sesungguhnya segala sesuatu datang dari Allah dan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, ketaatan pun merupakan nikmat Allah, sesuatu yang dianugerahkan oleh Tuhan.
“Semuanya dengan Allah, untuk Allah, dari Allah dan menuju Allah. Ketika ketaan dan kedekatan dianugerahkan kepada anda, maka ketahuilah bahwa Dia menyempurnakan nikmat-nikmatnya yang lahir dan batin untuk anda”.
Secara khusus naskah ini menyebutkan pentingnya salat, yakni salat yang ditegakkan bersamaan dengan penyucian hati. Sebab salat merupakan sarana untuk bermunajat dan pembersihan batin. Selain itu, pemikiran dalam naskah ini menunjukkan ciri ahlul-sunnah; bahwa amal dan doa sangat penting tetapi bukan sebab Tuhan memberikan balasan.
Biodata Buku
Judul: Islam di Borneo: Jejak Tasawuf Dalam Naskah Muhammad As’ad Sambas
Penulis: Hermansyah, Erwin, Rusdin Sulaiman
Penerbit: IAIN Pontianak Press
Tahun : 2017
Hlm: 100 halaman