AfkarunaFikih

Islam Enteng-entengan (2): Tatacara Dzikir, Bolehkan Dikerjakan Berjamaah?

2 Mins read

Oleh: Pak AR

Seorang hamba Allah (tidak bersedia disebut namanya) dari Kecamatan Gondomanan bertanya kepada Pak AR tentang tatacara dzikir dalam Kuliah Subuh yang disiarkan RRI Nusantara II Yogyakarta.

***

Pertanyaannya sebagai berikut:

“Saya sering mendengar di beberapa masjid atau langgar/mushalla, pada tiap selesai shalat Subuh, Maghrib, dan ‘Isya, imam beserta para makmum bersama-sama dengan suara keras membaca Istighfar tiga kali. Kemudian membaca Fatihah sampai habis, disambung dengan ayat: “Ilahukum ilahun wahid …” sampai selesai. Kemudian disambung membaca ayat kursi. Diteruskan dengan ayat: “La ikraha fiddin … dan seterusnya, yang saya sendiri tidak hafal.

Kemudian membaca: Subhanallah 33 kali. Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, diteruskan dengan “La ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Kemudian ditutup dengan tahlil, entah berapa kali saya tidak sempat menghitung. Ditutup dengan do’a oleh Imam yang diamini oleh para makmum dengan suara keras bersama-sama.

Cara demikian itu baik atau tidak? Dan bagaimana hukumnya, apakah wajib atau sunat? Apakah Rasulullah juga mengerjakan cara demikian? Apakah ada dalil hadits yang menerangkan cara demikian itu?

***

Jawab   Pak AR: “Menurut pengetahuan saya, sepertinya Rasulullah belum pernah menuntunkan suatu wiridan atau dzikir dengan cara yang tentu-tentu (ajeg). Memang benar beliau memerintahkan kepada kita supaya tiap selesai shalat membaca do’a. Tetapi beliau tidak memerintahkan untuk membaca bersama-sama harus dengan suara keras dan urut-urutannya harus demikian. Maka para ulama yang hati-hati dalam soal agama mengatakan bahwa cara demikian itu termasuk bid’ah.

Adapun mengenai pertanyaan, cara demikian itu baik atau tidak, tentu saya akan mengatakan bahwa bacaan dzikir itu semua baik. Bahkan ada yang diambil dari ayat Al-Qur’an dan ada juga yang memang diperintahkan oleh Rasulullah untuk membacanya. Tetapi yang menjadi kaidah dalam kita mengerjakan ibadah itu bukan “baik atau jelek.” Yang kita jadikan kaidah ialah, apakah ada perintah dari Allah atau dari Rasul. Kalau tidak ada perintah dari Allah atau dari Rasul, akan lebih selamat bila kita tinggalkan atau tidak kita kerjakan.

Baca Juga  Haruskah Bermazhab Fikih di Zaman Sekarang?

***

Itulah jawaban ringan dari pertanyaan seputar praktik kehidupan beragama sehari-hari yang oleh Pak AR disebut dengan istilah “Islam enteng-entengan.” Berisi materi pengajian yang pernah Pak AR sampaikan dalam Kuliah Subuh RRI Nusantara II Yogyakarta. Singkat, padat, dan lugas.

Pak AR menyebutkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para jamaah dijawab dengan merujuk pada kitab-kitab seperti: Bulughul Marom, Fiqhus Sunnah, Madyur-Rasul, Zadul Ma’ad, Riyadlush Sholihin, dan lain-lain. Apabila terdapat jawaban yang masih samar atau meragukan, Pak AR menyarankan agar penanya bisa merujuk secara langsung ke kitab-kitab tersebut.    

Sumber: buku Tanya Jawab Enteng-entengan karya Pak AR. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…
Fikih

Hukum Isbal Tidak Mutlak Haram!

3 Mins read
Gaya berpakaian generasi muda dewasa ini semakin tidak teratur. Sebagian bertaqlid kepada trend barat yang bertujuan pamer bentuk sekaligus kemolekan tubuh, fenomena…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds