Ada satu gugusan kata yang seringkali kita dengar dari lisan para Islamis di mana pun mereka berada di belahan dunia, gugusan kata itu berbunyi: “Dunia Islam”. Namun pernakah kita sejenak mempertanyakan, apakah yang disebut dunia Islam itu benar-benar nyata, atau hanya sekedar ilusi yang diformulasi? Lewat pertanyaan inilah kita akan berangkat menyusuri tiga penelitian yang signifikan dalam membahas topik dunia Islam.
Pertama, kita akan berkenalan dengan penelitian Recep Senturk tentang kemunduran dunia Islam. Kemudian, kita juga akan menengok argumen Cemil Aydin bahwa dunia Islam tak lain hanyalah buat-buatan. Dan terakhir, kita akan mendengar paparan kritis Mohammed Ayoob tentang mereka yang mengusung idelogi Khilafah untuk membangun imajinasi tentang dunia Islam dan tatanan politiknya.
“Pelan-pelan pak supir,” mari kita mulai pelesiran kita menyelusuri problematika gagasan dunia Islam ini.
Kesalahan Melihat Sejarah Islam
Recep Senturk lewat penelitiannya, The Decline of The Decline Paradigm (2020), menyiratkan pada kita, konsekuensi yang fatal secara metodelogis, memandang sejarah Islam, dalam bingkai satu dunia yang bersatu-padu tak terpisahkan satu sama lain. Menurut Senturk, kesimpulan tersebut dapat kita temukan dalam kajian esensialis para sejarawan orientalis dalam menulis periode kemunduran sejarah intelektual Islam, untuk membentuk sebuah imajinasi tentang Barat yang maju.
Mereka para orientalis yang memandang sejarah wilayah dengan mayoritas muslim sama dari Tangier sampai Jakarta sebab dihimpun dalam satu dunia, gagal melihat dinamika kemajuan dan kemunduran tradisi intelektual Islam yang bisa terjadi dalam satu waktu sejarah, di tempat yang berbeda-berbeda. Masyarakat Islam tidaklah tunggal, maka kemunduran yang satu tidak lantas melazimkan yang lain juga mundur, begitu pun kemajuannya.
Menurut Senturk, paradigma kemunduran yang diracik para orientalis itu pada akhirnya selalu gagap menjawab pertanyaan ini: Kalau Baghdad luluh lantak, apakah lantas Kordoba, Granada, Sevilla juga? Kalau Andalusia runtuh, lantas bagaimana dengan Istanbul yang pada saat itu di masa keemasannya? Narasi kemunduran dalam bingkai kajian dunia Islam selalu diam, sebab dia tahu, kajiannya selalu berdasar generalisir yang membabi buta.
Dunia Islam adalah Ide para Islamis
Kalau Senturk secara tersirat berargumen bahwa gagasan dunia Islam hanyalah reka-rekaan para orientalis. Cemil Aydin hanya mengubah kata Islam jadi muslim dengan maksud yang sama. Maka lewat bukunya, The Idea of the Muslim World: An Intellectual Global History (2017), ia secara terang-terangan menilai bahwa yang disebut dunia muslim bukanlah sebuah blok peradaban, melainkan sebuah ide yang dengan giat dikampanyekan para Islamis.
Dunia muslim adalah sebuah ilusi yang dibentuk untuk melegitimasi skema kekaisaran pasca kolonialisme. Para Islamis menyebutnya dengan istilah soko guru peradaban (ustāziyyatul ālam), sebuah ungkapan halus untuk menggambarkan visi peralihan yang radikal, dari yang tadinya dijajah, untuk kembali menjajah. Maka pada dasarnya ide dunia Islam, seirama dengan ide dunia Timur yang jadi mukadimah kolonialisme Eropa dan sekutunya. Keduanya melazimkan terciptanya kategori “yang lain” yang dianggap musuh.
Menurut Aydin, ide dunia muslim yang sering digembor-gemborkan para Islamis, semakin usang mengingat fakta bahwa muslim hidup di berbagai belahan dunia yang berbeda, berbicara dengan bahasa yang berbeda satu sama lain, punya tradisi, norma, suku, dan budaya yang beragam, dan yang dalam banyak perbedaan tersebut mengharuskan terjadinya konflik tersebab oleh kepentingan politik satu sama lain yang bertentangan.
Di bukunya itu Aydin mengulas sejarah konflik, perang, persaingan sesama muslim, dari mulai dinasti Umayyah sampai Usmaniyyah, dan menemukan, nyatanya muslim tidak pernah benar-benar dalam satu kesatuan politik sepanjang sejarahnya.
***
Ide tentang identitas muslim global (global muslim identity) nyatanya tidak pernah ada. Ide itu baru muncul pada 1878, saat ide pan-Islamisme digemakan Sultan Abdul Hamid II menyusul kekalahan Turki Usmani atas Rusia, kemudian disusul dengan invasi Inggris, Perancis dan sekutunya. Lewat 2 fatwa ulamanya, Sultan mengajak muslim di seluruh dunia untuk bersatu membantu Turki Usmani.
Sebagai kesimpulan, Aydin memaparkan, bahwa gagasan dunia muslim yang telah menciptakan kategori Barat sebagai liyan tidak lebih merupakan bagian dari kontestasi politik global berkedok agama. Gagasan tersebut telah menghambat dialog peradaban dan telah mengundang kecurigaan sesama anak Adam. Kritik tersebut juga layak disematkan untuk seorang Bernard Lewis, Samuel Huntington, Francis Fukuyama, dan intelektual semisalnya, yang memandang Islam sebagai liyan yang menghambat universalisasi liberal-demokrasi ala Barat.
Beranjak pada pemberhentian terakhir kita dalam petualangan ini, kita akan menengok sekilas pembacaan Mohammed Ayoob tentang dinamika Hizb Tahrir yang jadi promotor utama gagasan khilafah sebagai identitas global muslim di bukunya Many Faces of Political Islam (2008). Sebab berbicara tentang dunia Islam, tentu kurang afdhal rasanya tanpa membahas khilafah yang seringkali dianggap sebagai solusi bagi setiap permasalahan, sebagai obat untuk segala penyakit yang menimpa muslim di seluruh dunia.
Di bukunya itu, Ayoob menemukan, bahwa di antara kelompok transnasional Islam yang bergerak lintas negara, Hizbut Tahrir (HT) adalah organisasi yang tidak mesti disamakan dengan militan ekstrimis seperti al-Qaeda. Namun begitu Ayoob juga menggarisbawahi, tidak dapat dumingkiri, HT telah berkontribusi secara tidak langsung menyiapkan mental bagi seseorang untuk kemudian jadi ekstrimis lewat doktrin-doktrin jihadnya yang tidak dapat dilaksanakan tanpa keberadaan seorang khalifah.
Penggagas Khilafah Hanyalah Kalangan Pinggiran
Dan sebagai promotor utama ide dunia Islam lewat gagasan khilafahnya, adalah ironis membaca paparan Ayoob tentang HT yang ternyata hanyalah kelompok pinggiran di antara kelompok Islamis lainnya yang arena utamanya hanya di Inggris dan Asia Tengah.
Di Inggris, HT hanya popular di kalangan imigran muslim terdidik. Di Asia Tengah, misal Uzbekistan, HT berhasil menarik perhatian banyak kalangan sebab dapat mengadvokasi kritik mereka terhadap rezim otoritarian setempat terutama perihal kondisi ekonomi. Namun itu tidak lantas membuktikan bahwa mereka yang simpatik terhadap HT, lantas secara otomatis mendukung dan tertarik dengan gagasan khilafah. Ini hanyalah perkara temporer Menurut Ayoob, apabila kondisi perpolitikan membaik, otomatis HT akan kehilangan pamornya.
Seirama dengan Cemil Aydin, Ayoob pun menyoroti ambiguitas gagasan khilafah sebagai sarana mewujudkan identitas muslim global. Adalah ambigu ingin menciptakan negara khilafah dalam artian pan-islamis yang mencakup seluruh dunia, namun di satu sisi, menjadikan suatu wilayah jadi basis untuk menyatukan semuanya.
Pada akhirnya negara khalifah akan berperilaku selayaknya negara berdaulat yang ada saat ini. Saat terjadi perang kadang beraliansi dengan sesama negara mayoritas muslim, di lain hari sangat mungkin pula beroposisi. Begitu pun ekspor-impor akan terjadi berdasarkan logika negara bangsa saat ini. Alhasil, negara khilafah akan berakhir seperti Uni Soviet yang awalnya bermisi universal kemudian berperilaku lokal, dan siapa yang menjamin, kalau nasibnya bakal berakhir sama juga, runtuh.
***
Maka dari pemaparan itu, selesailah petualangan kita menyelusuri gagasan dunia Islam. Pertama, dari Recep Senturk kita jadi tahu, gagasan dunia Islam bermasalah secara metodologis dalam membaca periodesisasi kemunduran sejarah Islam. Sebagaimana dunia Islam, ternyata hanyalah produk muslihat kontestasi aktor-aktor politik global sebagaimana dibuktikan Cemil Aydin. Dan terakhir, dari Mohammed Ayoob agaknya kita jadi bisa menerka-nerka bagaimana nasib gagasan Khilafah nanti yang bercita-cita mewujudkan identitas muslim global.
*Artikel ini diproduksi hasil kerjasama antara IBTimes.ID & INFID
Editor: Yahya FR