Banyak fakta yang menjelaskan bahwa tumbuhnya Islam seirama dengan akal sehat. Hal inilah yang dicontohkan oleh Ibrahim as kepada para penyembah berhala. Ketika Ibrahim as muda pada waktu itu menghancurkan semua berhala ditinggalkanlah satu berhala yang paling besar. Lalu kapak yang digunakan untuk menghancurkan berhala itu diletakkan di leher patung tersebut.
Kemudian tatkala Ibrahim as ditanya prihal berhala-berhala yang hancur tersebut oleh penguasa lalim pada waktu itu, “Siapakah yang menghancurkan berhala-berhala tersebut?” Lalu Ibrahim menjawab: “Tanyakanlah kepada patung yang paling besar tersebut. Lihatlah kapak yang dikalungkan di lehernya”.
Penguasa lalim tersebut kemudian berkata: “Bagaimana patung yang tidak dapat berbuat apa-apa tersebut menghancurkan patung-patung lainnya?” Jawaban ini sebenarnya membantah keyakinan penguasa lalim tersebut.
Ibrahim as kemudian berkata: “Bagaimana bisa sesuatu yang kamu ketahui tidak dapat memberikan kerusakan pada sesuatu kamu sembah dan kamu jadikan tuhan. Betapa bodohnya kamu.”
Keyakinan Muncul dari Rasio
Penggalan dialog di atas setidaknya menjelaskan akar sebuah keyakinan berangkat dari hal yang rasional. Hanya orang yang berakal sehat yang dapat menangkap pesan agama, bahkan hakekat Tuhan.
Itulah sebabnya sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dalam keyakinan pun agama itu rasional. Jadi Iman itu tidak hanya sekedar yakin, harus dibarengi dengan rasionalitas. Agar pesepsi kita terhadap Tuhan itu benar.
Itulah sebabnya kewajiban agama itu baru ada ketika seseorng sudah mencapai aqil dan baligh. Aqil maksudnya adalah sampai pada tahap berakal, sementara baligh sampai pada ukuran biologis dan fisiologis seseorang. Jadi yang digunakan taklif (kewajiban) beragama bukan ukuran umur saja melainkan dua hal tersebut.
Memperhatikan Sifat Tuhan
Mari kita perhatikan sifat-sifat Tuhan yang dirumuskan para mutakallimin (teolog) Islam. Disebutkan salah satu sifat Tuhan adalah “qiyamuhu binafsi”. Tuhan itu ada dengan sendirinya tanpa butuh lainnya. Sementara makhluk, perhatikan saja dengan baik, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti ada yang mengawalinya.
Begitu juga sifat lainnya, bahwa Tuhan itu “laisa kamislihi syaiun”, tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Hal ini berarti Tuhan itu berbeda sama sekali dengan makhluknya. Oleh sebab itu apabila dikatakan Tuhan itu “istawa ‘ala arsy”, berada di atas Arsy. Maka bukan berarti Tuhan itu berada di singgasana layaknya seorang penguasa (raja).
Meskipun dalam kalimat “di atas Arys” bukan berarti itu berada di atas langit. Ketika kita menganggap seperti itu, hal itu disebabkan karena kita tidak dapat mengindra Tuhan, yang kemudian membuat akal kita mengasosiasikan pada hal yang paling dekat dengan pengalaman manusia. Apabila berpikir model seperti itu dianggap sebagai kebenaran maka tentu saja akan menjadi kesalahan dalam memahami Tuhan.
Tuhan memiliki dua tangan seperti dalam QS. Shaad/38: 75. Meskipun dijelaskan dalam redaksi Tuhan memiliki tangan, tetapi bukan berarti tangan Tuhan seperti tangan manusia. Mengenai bentuknya seperti apa, hal tersebut tidak patut diketahui, sebab tentu saja akal kita tidak dapat menjangkau hal tersebut. Inilah maksud Nabi saw berkata: “Jangan kamu memikirkan mengenai Dzat Tuhan, tetapi pikirkanlah apa yang diciptakan Tuhan”.
Alasannya jelas, secerdas dan sejenius apapun manusia tidak sanggup menangkap esensi dan hakekat Tuhan sesungguhnya. Perbuatan tersebut tentu sia-sia dan mustahil, jika dipaksakan menjadikan manusia tersebut terlihat sangat bodoh. Orang yang memaksakan diri seperti itu berarti tidak rasional, tidak berakal sehat.
Sisi Rasional dalam Kalimat Laa Ilaha Illallah
Dalam kalimat “laa ilaha illallah” juga tersimpan sisi rasionalnya. Namun jarang yang mengupas hal ini. Huruf “laa” sering dimaknai sebagai “laam nafii” yang artinya menegasikan (tidak ada). Maka kalimat tersebut diartikan “tidak ada Tuhan, kecuali Allah”. Hal ini menandakan bahwa Tuhan itu satu, yaitu Allah.
Dijelaskan dalam Surat Al-Ikhlas, bahwa Tuhan itu tidak beranak dan tidak diperanakan, lam yalid walam yuulad, maka berarti Tuhan tidak mungkin banyak. Sebab jika Tuhan itu banyak, lebih dari satu, maka sudah pasti itu bukan Tuhan. Itu berarti makhluk, sebab hanya makhluklah yang dapat beranak pinak.
Itulah sebabnya para teolog Katolik yang gemar filsafat, sekarang merubah pemahaman mengenai Tuhan Bapak, Ibu, dan Anak dalam keyakinan mereka. Hal ini pernah disampaikan dosen saya, seorang Romo, sewaktu menempuh kuliah S2 di UIN. Dia mengatakan bahwa “Isa as disebut anak bukan dalam pengertian biologis yang terlahir dari Tuhan. Melainkan itu sebutan “sayang” kepada seorang hamba dari Tuhan-nya.
Sebab Tuhan sangat mencintai dia (Isa as). Seperti seorang ayah atau guru yang memanggil muridnya dengan sebutan anak. Itu dilakukan tidak lain karena sayangnya dia kepada anak tersebut, bukan karena anak biologisnya”.
Inilah fakta, bahwa “akal sehat” akan menghantarkan manusia ke jalan yang benar. Masih banyak bukti dalam agama-agama lain di dunia ini, yang melakukan reformasi dalam hal teologis menggunakan rasionalitasnya. Semoga hal tersebut bukan hanya kamuflase, melainkan berangkat dari kejujuran.
Editor: Rozy