Perspektif

Islam Melarang Keras Marital Rape!

2 Mins read

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri (marital rape) selama ini tidak pernah mendapat perhatian khusus dari publik. Seorang suami yang memaksakan aktivitas seksual sangat jarang dibawa ke permukaan oleh istrinya. Karena adanya anggapan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan hanya terjadi di luar perkawinan.

Namun pada kenyataannya, pemerkosaan juga bisa terjadi di dalam perkawinan. Pandangan publik juga yang menganggap bahwa laki-laki memiliki hak berkuasa dalam keluarga. Karena laki-laki dianggap berhak melakukan apa saja terhadap perempuan yang sudah menjadi istrinya. Lebih buruk lagi, kebanyakan laki-laki melihat pernikahan sebagai legitimasi resmi kekuasaan mereka terhadap perempuan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menjelaskan aturan yang berkaitan dengan marital rape sebagai perkosaan terhadap perempuan.

Namun ironisnya, pelaku kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang penganiayaan. Hukuman yang tidak sebanding dengan delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan paling parah yang dialami perempuan. Akibatnya, tidak hanya organ fisik saja tetapi juga psikis yang hancur.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasangan korban marital rape (seringnya istri) mengalami trauma berat setelah diperkosa oleh pasangannya sendiri. Karena korban disakiti oleh pasangannya, yang seharusnya menjadi tempat bersandar melalui ikrar pernikahan.

Korban marital rape dapat menderita masalah fisik dan psikologis untuk waktu yang cukup lama. Efek ini juga termasuk perasaan terhina, menyalahkan diri sendiri, dan ketakutan.

Belum lagi, korban pemerkosaan pernikahan yang mengalami kekerasan fisik. Sebagian besar istri yang menjadi korban marital rape merasa lebih sulit membuat keputusan untuk diri mereka sendiri. Karena mereka tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga untuk anak-anak, suami, dan keluarga besar mereka.

Baca Juga  Menunda Tradisi Karena Pandemi

Larangan Marital Rape dalam Agama

Imam Syafi’I berpendapat bahwa tidak diperbolehkan seorang suami melakukan hubungan seksual jika hal itu dapat mendatangkan kemudaratan bagi istrinya. Hubungan ideal antara suami dan istri dalam Islam didasarkan pada prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf (Pergaulan yang baik antara suami dan istri). Hal ini ditegaskan di dalam QS. An-Nisa’: 19,

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ

Dan bergaulah dengan mereka (istri) dengan cara yang baik (patut).

Keharusan mempergauli istri dengan cara yang ma’ruf ini berlaku bagi suami pada setiap keadaan. Hal ini dapat dipahami dari kelanjutan ayat di atas,

فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Ayat ini mengandung makna bahwa dalam suatu pernikahan, Allah menghendaki hubungan yang kuat antara suami dan istri dalam pola interaksi yang harmonis dan positif dengan hati yang tentram. Juga ditandai dengan keseimbangan hak dan kewajiban dari keduanya. Keluarga sakinah tidak dapat dibangun kecuali hak-hak dasar antara suami dan istri telah terpenuhi.

Marital Rape adalah tindak kekerasan berbasis gender yang pada penanganannya harus fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, memuliakan sesama, dan menaruh manfaat serta menghilangkan kemudaratan bagi manusia.

Dalam upaya penanganan korban marital rape, termasuk ke dalam hukum pidana Islam karena perbuatan penganiayaan yang mengganggu hak individu orang lain dan mengandung kemudaratan, bertentangan juga dengan maqasid as-syar’iyah dalam kategori hifz an-nafs (pemeliharaan jiwa).

Hifz an-nafs (pemeliharaan jiwa), kekerasan terhadap martabat kemanusiaan seperti halnya perilaku marital rape merupakan tindakan diskriminasi yang mengarah pada tindakan intervensi kepada pihak yang dilemahkan.

Baca Juga  Bolehkah Menikah Beda Agama?

Sesungguhnya, dalam rumah tangga, tugas seorang suami yaitu memberi bimbingan dengan perlakuan yang baik terhadap istri dan anak, bukan melakukan tindakan kesewenangan atau pengekangan terhadap jiwa seseorang.

Dalam Islam, seorang suami sangat diperintahkan menggauli istrinya secara ma’ruf dengan larangan untuk berbuat kemudaratan terhadap istri. Seperti budi pekerti yang baik, akhlakul karimah dalam bergaul dengan keluarganya, dan dalam masyarakat.

Dari sinilah, masing-masing suami istri mempunyai hak dan kewajiban guna membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah. Apabila istri dianggap berada di bawah kepemilikan suami dan menerima perlakuan intervensi, ancaman, maupun perlakuan kasar lainya, maka ini adalah tindakan kekerasan yang dilarang ajaran Islam.

Wallahua’lam.

Editor: Yahya FR

Nur Lina Afifah Litti
1 posts

About author
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Univeristas Muhammadiyah Surakarta. Sekretaris Umum PC IMM Cirendeu
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds