Perspektif

Islam: Mendudukkan Filsafat dengan Adil

4 Mins read

Belajar filsafat pada dasarnya adalah sebuah proses mempelajari aktivitas pikir   manusia, bahkan filsafat adalah aktivitas pikir itu sendiri. Dalam banyak hal, aktivitas pikir itu memang mengalir begitu saja, berkembang seiring perkembangan usia manusia, meningkat seiring meningkatnya pengetahuan dan pengalaman manusia.

Dengan proses ini, tidak sedikit yang kemudian menemukan kearifan hidup. Di sini, filsafat dalam pengertian sebagai disiplin ilmu tidak memiliki peran, atau yang demikian ini sering disebut sebagai filsafat qadratiyah, yaitu suatu pola pikir yang terbentuk secara alamiah, tidak melalui belajar.

Definisi Filsafat

Secara harfiah, kata filsafat sendiri berasal dari kata philos yang berarti cinta kepada kebenaran, dan kata Sophos yang hikmah (wisdom). Dan kombinasi dari keduanya, lumrah diterjemahkan sebagai love of wisdom.

Namun, yang perlu di catat, ‘shopia’ (wisdom) dalam bahasa Yunani mempunyai aplikasi yang lebih luas dari pada ‘wisdom’ dalam bahasa Inggris modern.

Sophia di sini mempunyai makna penggunaan akal dalam semua bidang pengetahuan atau persoalan- persoalan praktis. Dengan kata lain, kata Sophia mengandung makna kemauan dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari tahu.

Dari pemaparan di atas, filsafat mengandung arti tahu dengan mendalam atau cinta kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula mencari hakikat sesuatu, berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.

Adapun pengertian filsafat dari segi istilah, adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu yang ada, seperti hakikat alam, hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat ilmu, hakikat pendidikan, dan seterusnya.

Antara Filsafat dan Agama

Dalam sejarahnya, filsafat dan agama merupakan pencarian panjang manusia akan kebenaran. Meskipun keduanya juga mengalami perkembangan yang melahirkan konflik di antara perbedaan akan interpretasi terhadap kebenaran itu sendiri.

Baca Juga  Gerakan Semesta Menghadang Covid-19

Perdebatan yang paling tua adalah mengenai kebenaran, apakah kebenaran tersebut diperoleh melalui akal dan indera manusia, atau justru kebenaran yang menampakan diri terhadap manusia.

Filsafat, sebagai sebuah metode berpikir yang sistematis merupakan salah satu pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran. Objek formal filsafat adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya.

Karenanya dalam hal teologi, filsafat menyelidiki dan mempelajari tentang Tuhan, adanya sifat-Nya hubunganya bagi manusia dan dunia, dan juga persoalan kenabian, kedudukan dan fungsi akal dan wahyu, penciptaan manusia, serta ibadah yang dilakukan oleh manusia.

Filsafat Menurut Islam

Lalu bagaimana filsafat itu dalam perspektif Islam? pada realitanya, para Ulama’ terdahulu menerima filsafat sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari.

Salah satu Ulama besar yaitu Imam al-Ghazali menulis buku Tahafut al-Falasilah, atau kritik prinsip pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang tidak sesuai dengan wahyu.

Prinsip-prinsip filsafat Yunani dikritik karena bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Ia percaya bahwa Islam memiliki prinsip filsafat tersendiri yang berbeda dengan konsep asing, hal tersebut ditulis dalam karyanya Ihya ‘Ulumuddin, al- Munqidz min al-Dholal, Kimiya’ al – Sa’adah.

Karya-karya tersebut menyajikan penjelasan prinsip – prinsip memperoleh pengetahuan , klasifikasi ilmu, logika, cara pemecahan persoalan sampai akar-akarnya dan sistematis, yang merupakan ciri berfilsafat secara umum.

Ibnu Rusyd seorang filsuf dan pemikir dari al-Andalus yang menulis dalam berbagai bidang ilmu, termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika,fiqih atau hukum Islam, dan linguistik dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat.

Ia menjelaskan bahwa filsafat di sini ternyata bukan filsafat anti keTuhanan dan sekular, namun cara berpikir mendalam, logis, teratur tanpa menafikan wahyu.

Bahkan Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.

Baca Juga  Film Horor, Pemicu Ketakutan dalam Beribadah

Bahkan beberapa ulama terdahulu mempelajari ilmu filsafat Yunani dalam rangka mengoreksi dan mengkritik kekeliruanya. Hanya, ada petunjuk dan kaidah untuk mempelajarinya. Dalam tradisi ulama terdahulu sudah biasa terjadi adopsi ilmu yang berasal dari Yunani. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan nilai-nilai keTuhanan dibuang dan diganti dengan konsep-konsep Islami.

Seperti yang ditulis Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, menjelaskan bahwa cendikiawan muslim bukan hanya sekedar menerjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut.

Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi, dan reformulasi konsep. Aktivitas menyeleksi konsep, tentu tidak dapat dilakukan kecuali cendekiawan Muslim memiliki pengetahuan sebelumnya tentang ilmu Mantiq (logika), filsafat dan tentunya dasar-dasar akidah Islam.

Dengan ini, mereka memiliki tradisi berpikir kritis, analitis, dan mendalam. Jika filsafat dimaknai secara umum sebagai metode berpikir yang kritis, analitis, dan mendalam, maka dalam tradisi keilmuan Islam kita menjumpainya.

Pada realitanya bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, dan Tasawuf.

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, bagi cendikiawan muslim yang mempelajari peradaban barat (khususnya filsafat) hukumnya Fardhu Kifayah. Sebab, tanpa mengetahuinya kita tidak mampu mengkritik dan membenahinya.

Kemunduran keilmuan umat Islam (karena kesalahan dan kekurangan ilmu) pada dasarnya disebabkan invasi ilmu Barat yang sangat gencar menyerang kalbu kaum Muslimin.

Tidak semua memang perlu mempelajarinya. Imam al-Ghazali mengatakan pembelajaran peradaban Barat ini bagi yang telah memiliki dasar-dasar akidah, logika, dan syariah yang kuat.

Dari uraian di atas, mudah difahami bahwa Islam mendudukkan ilmu dengan sangat adil. Dalam hardcore Islam mempunyai konsep yang baku tidak bisa digugat, karena ia berdiri sebagai parameter, sebutlah ia sebagai tsawabit (hal-hal yang tetap).

Baca Juga  Gus Yahya dan Pak Haedar, Dua Kepak Sayap Moderasi Islam di Dunia Global

Di antara konsep tsawabit ini adalah berkaitan dengan konsep ketuhanan, kenabian, hari akhir, ilmu, adil dsb. Dalam persingunggannya dengan filsafat, kita mengambil contoh al-Ghazali bagaimana ia mengkritik keras filsafat tidak semuanya, namun menitik pada konsep-konsep yang berkontradiksi dengan aqidah Islam dan kritiknyapun berdasar serta adil.

Dari tamsil inilah, seyogianya kita lebih arif, adil dan bijaksana dalam menyikapi filsafat. Untuk melaksanakan itu anjuran dari al-Attas adalah menguatkan akidah, syariah, dan logika yang kuat.

Judul              : Studi Dasar Filsafat
Penulis           : Tazkiyah Basa’ad
H
alaman        : x+197 hlm
Ukuran           :14×20 cm

ISBN               : 978-602-453-855-2
Cetakan          : Maret-2018
Penerbit         : DeePublish
Kota                : Yogyakarta

Tulisan ini adalah hasil kolaborasi dari Havizh Rizqi Prasetya & Alvin Qodry Lazuardy

Editor: Yahya FR

Havizh Rizqi Prasetya
1 posts

About author
Tenaga Pendidikan SD Muhammadiyah Pacul, Kab Tegal
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds