Jika kita menilik lebih dalam kondisi negeri kita sekarang ini. Permasalahan sebenarnya yang sedang kita hadapi bukan terletak di masalah politik, sosial, ekonomi ataupun budaya. Permasalah yang kita hadapi sebenarnya berdasar pada ranah pemikiran. Hal ini yang melatarbelakangi setiap konflik dan permasalahan yang terus-menerus bermunculan sampai detik ini.
Musuh-musuh Islam ingin menghancurkan Indonesia lewat jalur ini. Tidak memakan banyak biaya dan dirasa ini paling efektif untuk melumpuhkan kejayaan umat Islam.
Misalnya, RUU Minerba yang timbul karena paham kapitalis, pernikahan sesama jenis (LGBT) yang timbul karena paham feminis, dan sekarang kebijakan Menteri Agama (KMA) 183 tahun 2019 yang ingin menghapus pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Wacana meleburkan PAI, budi pekerti dan PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) menjadi satu. Jika kita rasakan terselip sekularisme yang ingin memisahkan agama dengan urusan sehari-hari kita.
Jika PAI ingin digabung dengan PKN berarti sudah tidak mencerminkan nilai pancasila. Di mana pancasila meletakan ketuhanan pada sila pertama. Barulah kemanusiaan (humanity) pada sila berikutnya.
Perubahan Kurikulum PAI
Lalu yang terjadi akhir-akhir ini, tepatnya tanggal 13 Juli 2020 Kemenag ingin menyempurnakan kurikulum PAI dan Bahasa Arab yang dirasa tumpang tindih dan struktural. Sehingga perlu diubah supaya relevan dengan umat abad 21 yang berwajah masyarakat dunia.
Memang tidak ada perubahan yang signifikan untuk kurikulum PAI, ujar Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin. Namun, tetap saja kita berhak curiga atas apa yang melatarbelakangi perubahan kurikulum ini.
Berikutnya konten radikal yang termuat di 155 buku pelajaran agama Islam telah dihapus oleh Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi. Namun, untuk materi Khilafah tetap ada di buku-buku tersebut hanya saja perspektifnya yang berubah. Dilansir dari mediaumat.news, menurutnya dengan menghapus kata-kata vital atau merubah tafsirannya dalam PAI misal: munafik, kafir, khilafah, dan jihad bisa menangkal radikalisme.
Hal ini sangat lucu, bagaikan menggoyang-goyang apa yang sudah ditetapkan di ayat muhkamat dan justru meneguhkan sesuatu yang bergoyang-goyang tidak tetap bagai ayat mutasyabihat. Apalagi yang mereka ingin teguhkan pandangan barat terhadap Islam. Tidak menutup kemungkinan ini akan menggerogoti ghirah (semangat) generasi ke depan dalam beragama.
Dia menambahkan, semua buku-buku ajar di MI, MTs, dan MA berorientasi pada penguatan karakter, ideologi Pancasila, dan anti korupsi. Paling utama mengajarkan Islam moderat. Di sini awal mula munculnya ide moderasi Islam, yang dianggap dapat membendung permasalahan yang terkait dengan pemikiran radikal yang dianggap merusak dan mengancam persatuan NKRI.
Apa itu Islam Moderat?
Islam Moderat itu sendiri sulit untuk kita artikan secara gamblang karena pemahaman keberagamaannya berbeda-beda menyesuaikan siapa yang memandang. Secara generik, konsep moderatisme bermakna jalan tengah, pilihan di antara dua kutub ekstremitas pemikiran keagamaan, kubu barat dan timur (Islam).
Kemudian dalam tradisi pemikiran keagamaan, kutub ekstremitas seringkali didefinisikan sebagai al-guluw–Yûsuf al-Qardhâwî sering menyebutnya sebagai al-mutatarrif—dan moderatisme sering disebut sebagai al-wast yang berarti jalan tengah (middle-path atau middle-way)
Lagi-lagi semoga kita tidak tertipu dengan istilah, untuk menyamakan dengan Islam moderat dengan Islam wastiyah. Sebab hal ini berbeda. Menurut beberapa ulama, Islam moderat ini yang akan melumpuhkan umat Islam untuk mencapai kejayaannya kembali.
Siapa lagi biang keladinya yang menjadi dalang jika bukan Amerika Serikat. Saat mereka menuduh umat Islam termasuk teroris namun mereka gagal membuktikan. Akhirnya mereka menggeser opini untuk menuduh umat Islam yang berislam dengan sungguh-sungguh dengan predikat radikal.
Salah Kaprah Islam Moderat
Menerapkan Islam Moderat di Indonesia yang termasuk negara dengan umat Islam sebagai mayoritasnya bukan hanya termasuk salah kaprah. Tapi hal ini sangat berbahaya. Memandang Islam dengan framework Barat.
Tercium bau-bau sekulerisme dan liberal karena sumber Islam Moderat digali bukan pemahaman orisinil dari Islam dan tidak memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Ide ini setelah ditelaah banyak ulama ternyata berniat ingin memukul umat Islam dari dalam dan menancapkan ideologi barat di tubuh Islam.
Bisa dianalogikan negeri kita dewasa ini, bagaikan seorang yang terkunci di dalam rumah. Namun, ia tidak bisa membuka pintu untuk keluar dikarenakan kuncinya hilang di dalam rumah dan rumahnya gelap gulita. Sebab ia jarang membayar tagihan listrik. Dan mirisnya ia hanya memiliki satu jendela dan nampak terpasang teralis.
Ia pun kebingungan dan malah ia justru mencari dan bertanya-tanya di luar rumah lewat jendela yang diteralisnya ke tetangga sekitar. Secara logis tidak akan ada kunci yang cocok di luar. Karena satu-satunya kunci yang berada di dalam rumahnya. Hanya satu usaha yang ia lakukan yaitu dengan membayar listrik.
Yang dimaksud membayar listrik di sini yaitu mengisi wawasan kita dengan pengetauhan sebanyak mungkin. Entah itu ilmu dari timur (islam) ataupun ilmu barat. Yakinkan diri kita bahwa semua ilmu itu baik. Yang menjadi permasalahnya ialah implementasi ilmu tersebut. Kita justru juga perlu memperlajari ilmu-ilmu barat dan memperluas wawasan seluas-luasnya dengan tujuan menghantam pemikiran-pemikiran yang menyesatkan.
***
Tulisan ini bukan ingin menjatuhkan Kemenag (Kementerian Agama) di mata publik. Tetapi ini bentuk kasih sayang kami pada benteng terakhir perjuangan umat Islam yaitu Kementerian Agama.
Semoga kita mampu mengupayakan sebisa mungkin mulai dari diri sendiri untuk menemukan minat membaca dan mempelajari segala sesuatu keilmuan. Bagaimana pun kita harus ingat tugas kita sebenarnya di muka bumi ini sebagai khalifah fiil ardh’. Bagaimana kita bisa mengatur semua yang ada di bumi ini jika kita tidak memiliki ilmunya. Dengan begitu kita bisa mengawal segala kebijakan di negeri ini, untuk menimbang baik buruknya. Wa’allahu a’lam Bishawab
Editor: Dhima Wahyu Sejati