Perspektif

Islam Progresif: Kontestasi Pemikiran Islam di Indonesia

5 Mins read

Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, telah menjadi ladang subur bagi perkembangan berbagai corak pemikiran Islam. Dalam konteks ini, munculnya gagasan tentang “Islam Progresif” menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji.

Pemikiran ini tidak hanya mencerminkan dinamika intelektual yang berkembang di kalangan Muslim Indonesia, tetapi juga menunjukkan bagaimana umat Islam berusaha menjawab tantangan zaman dalam bingkai tradisi keagamaan yang kaya dan beragam.

Saya akan mengupas secara mendalam tentang Islam Progresif, termasuk bagaimana pemikiran ini muncul, berkembang, serta bagaimana ia dipandang dan dikontestasikan dalam spektrum pemikiran Islam lainnya di Indonesia.

Apa itu Islam Progresif?

Islam Progresif, dalam pengertian umum, merujuk pada pendekatan terhadap Islam yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai progresif seperti kesetaraan gender, keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia, ke dalam pemahaman dan praktik keagamaan.

Pemikiran ini tidak hanya melihat Islam sebagai agama yang statis dan tertutup terhadap perubahan, tetapi sebaliknya, Islam dipandang sebagai agama yang dinamis, yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya.

Islam Progresif sering kali dianggap sebagai jawaban terhadap Islam konservatif atau tradisional yang cenderung mempertahankan tafsir keagamaan yang kaku dan tidak terbuka terhadap perubahan.

Pemikir-pemikir Islam Progresif di Indonesia berusaha menafsirkan ulang teks-teks suci dengan pendekatan kontekstual, di mana mereka mempertimbangkan situasi sosial, politik, dan budaya dalam proses penafsiran.

Islam Progresif di Indonesia tidak muncul dalam ruang vakum; ia merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan berbagai interaksi antara Islam, budaya lokal, serta pengaruh global.

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia sendiri telah menunjukkan keberagaman dalam cara umat Islam menafsirkan ajaran agama mereka. Dari masa Walisongo hingga pergerakan reformis pada awal abad ke-20, pemikiran Islam di Indonesia selalu berada dalam kontestasi antara yang ingin mempertahankan tradisi dan yang berusaha merespons tantangan baru.

Era pasca-kemerdekaan Indonesia menjadi momen penting bagi perkembangan pemikiran Islam. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, muncul sejumlah tokoh dan gerakan Islam yang mencoba menawarkan tafsir keagamaan yang lebih relevan dengan situasi kebangsaan Indonesia.

Pemikiran ini dipengaruhi oleh dinamika politik, seperti hubungan antara Islam dan negara, serta kebutuhan untuk merespons ideologi-ideologi global seperti komunisme dan kapitalisme.

Baca Juga  Saya Malu Menjadi Peneliti LIPI!

***

Pada periode Orde Baru, wacana Islam lebih banyak dibungkam atau dikendalikan oleh negara. Namun, pada era Reformasi setelah jatuhnya Suharto, terjadi kebangkitan intelektual Islam yang luar biasa. Pada periode inilah Islam Progresif mulai mendapatkan tempat yang signifikan dalam wacana keagamaan di Indonesia.

Pemikiran ini banyak dikembangkan oleh intelektual muda yang belajar dari tradisi intelektual Islam di Timur Tengah, serta pemikir-pemikir progresif dari Barat.

Sejumlah tokoh dan gerakan memainkan peran kunci dalam pengembangan Islam Progresif di Indonesia. Salah satu yang paling menonjol adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Presiden Indonesia dan pemimpin Nahdlatul Ulama (NU).

Gus Dur dikenal sebagai seorang pemikir yang berani menawarkan tafsir keagamaan yang inklusif dan toleran, terutama dalam isu-isu yang terkait dengan minoritas, pluralisme, dan hak asasi manusia. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh tradisi keilmuan Islam klasik, tetapi dengan pendekatan yang sangat kontekstual.

Selain Gus Dur, ada juga Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur. Cak Nur adalah tokoh intelektual yang menjadi pelopor pemikiran Islam modern di Indonesia. Ia sebelumnya pada tahun 1970, dikenal dengan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”, yang menekankan bahwa Islam seharusnya menjadi nilai universal yang melampaui sekat-sekat politik.

Gagasan Cak Nur banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosofis dan sosiologis dari dunia Barat, namun ia tetap berakar kuat pada tradisi Islam.

Di sisi lain, ada juga gerakan-gerakan yang lebih kolektif, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didirikan oleh Ulil Abshar Abdalla. JIL secara terbuka mengusung pemikiran Islam yang progresif dan liberal, menekankan pentingnya penafsiran ulang terhadap teks-teks suci serta relevansi Islam dalam menjawab isu-isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak individu.

Kritik terhadap Islam Progresif

Meskipun Islam Progresif mendapat banyak dukungan, terutama dari kalangan intelektual dan kaum muda, ia juga tidak luput dari kritik. Kalangan konservatif sering kali menuduh pemikir-pemikir Islam Progresif sebagai terlalu banyak dipengaruhi oleh ide-ide Barat yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Baca Juga  Membaca Kang Jalal Lewat Bukunya Islam Alternatif (2021)

Mereka menolak gagasan-gagasan seperti kesetaraan gender dalam konteks pembagian peran domestik dan publik, atau kebebasan beragama yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Kritik lain datang dari kelompok Islam tradisionalis yang melihat Islam Progresif sebagai upaya untuk melemahkan otoritas ulama dan institusi-institusi keagamaan tradisional.

Mereka berpendapat bahwa tafsir keagamaan tidak boleh hanya diserahkan kepada individu, terutama mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang memadai.

Dalam konteks politik, Islam Progresif juga kerap kali dianggap sebagai alat untuk melemahkan posisi politik Islam itu sendiri. Kelompok-kelompok Islamis mengkritik pemikiran ini sebagai bentuk sekularisme terselubung yang berusaha memisahkan Islam dari kehidupan publik dan politik.

Kontestasi Islam Progresif vs Islam Konservatif

Kontestasi antara Islam Progresif dan Islam Konservatif menjadi salah satu dinamika yang paling mencolok dalam wacana keagamaan di Indonesia saat ini.

Pertarungan ini bukan hanya terjadi di ranah intelektual, tetapi juga dalam ranah politik dan sosial. Islam Konservatif, yang sering kali diwakili oleh gerakan-gerakan Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), lebih menekankan pentingnya penerapan syariah secara literal dan menolak interpretasi kontekstual yang diajukan oleh kalangan Progresif.

Islam Konservatif di Indonesia cenderung memiliki pengaruh yang kuat di tingkat akar rumput, terutama melalui pengajian-pengajian, pesantren, dan lembaga-lembaga dakwah.

Mereka sering kali menggunakan retorika yang memanfaatkan ketakutan akan “dekadensi moral” atau “serangan budaya asing” untuk menarik dukungan massa. Di sisi lain, Islam Progresif lebih dominan di kalangan intelektual, akademisi, dan kelas menengah perkotaan yang cenderung lebih terbuka terhadap ide-ide baru.

Perdebatan ini juga merambah ke ranah media sosial, di mana kedua kelompok saling beradu argumen dan mempengaruhi opini publik. Media sosial menjadi arena baru bagi penyebaran pemikiran Islam, di mana baik Islam Progresif maupun Islam Konservatif berusaha memperluas pengaruhnya.

Tantangan ke Depan

Islam Progresif di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh global. Pemikiran ini mendapat inspirasi dari gerakan-gerakan serupa di dunia Islam lainnya, seperti gerakan feminis Muslim di Timur Tengah, atau pemikir-pemikir Islam liberal di Iran dan Mesir.

Baca Juga  Di Indonesia, Matinya Kepakaran karena Tergila-gila pada Gelar!

Namun, tantangan terbesar bagi Islam Progresif di Indonesia adalah bagaimana ia dapat tetap relevan dan mendapatkan penerimaan yang lebih luas di kalangan umat Islam, terutama di tengah arus globalisasi yang semakin kompleks.

Tantangan lain yang dihadapi oleh Islam Progresif adalah bagaimana menjawab isu-isu kontemporer seperti lingkungan hidup, teknologi, dan ekonomi yang semakin mendesak.

Pemikir-pemikir Islam Progresif harus mampu menawarkan solusi yang tidak hanya sesuai dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga relevan dengan kebutuhan zaman.

Di sisi lain, keberlanjutan Islam Progresif di Indonesia juga sangat bergantung pada keberhasilan para pendukungnya dalam membangun institusi-institusi pendidikan dan dakwah yang dapat memperkuat penyebaran pemikiran ini. Tanpa dukungan institusi yang kuat, Islam Progresif berisiko hanya menjadi wacana intelektual yang elitis dan tidak mampu menyentuh lapisan masyarakat yang lebih luas.

***

Maka, Islam Progresif merupakan salah satu arus pemikiran yang memainkan peran penting dalam dinamika keagamaan di Indonesia. Meskipun menghadapi banyak tantangan, baik dari kalangan konservatif maupun dari tantangan internal, pemikiran ini menawarkan perspektif yang segar dan relevan dalam menghadapi isu-isu kontemporer.

Dengan terus mengembangkan dirinya, Islam Progresif berpotensi menjadi salah satu kekuatan intelektual yang dapat membawa Islam Indonesia ke arah yang lebih inklusif, toleran, dan berkeadilan.

Kontestasi pemikiran Islam di Indonesia, antara yang progresif dan konservatif, adalah cerminan dari proses demokrasi yang dinamis dalam kehidupan keagamaan di negara ini.

Dalam proses ini, pemikiran Islam Progresif mungkin akan terus diuji oleh waktu, tetapi ia juga berpotensi menjadi katalisator bagi pembaruan dan revitalisasi pemikiran Islam yang lebih sesuai dengan semangat zaman.

Pemikiran Islam di Indonesia akan terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi. Dan dalam konteks inilah, Islam Progresif memiliki peran yang sangat signifikan: sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas, antara teks dan konteks, serta antara nilai-nilai Islam dan tantangan global yang terus berubah.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds