Dalam perspektif Islam, penyandang disabilitas identik dengan istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr: orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur. Islam memandang para penyandang difabel sebagai entitas yang wajib diperhatikan karena beberapa alasan kuat. Paling mendasar ialah atas nama kemanusiaan.
Satu fakta yang tak bisa dimungkiri bahwa mereka sama-sama makhluk Allah SWT yang wajib dihormati. Apalagi, para penyandang tersebut juga manusia yang dimuliakan oleh Allah.
Fikih Disabilitas
Secara fikih, penyandang difabel tetap dibebani kewajiban menjalankan kewajiban syariat (taklif) selama akal mereka masih mampu bekerja dengan baik. Tentunya pelaksanaan kewajiban itu dengan mempertimbangkan konidisinya. Mereka diperbolehkan menjalankan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya dengan tanpa mengurangi nilai afdlaliyyah sedikitpun. Lebih spesifik Al-Quran, Hadis, dan pendapat para ulama secara tegas menyampaikan pembelaan terhadap penyandang disabilitas:
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ
Artinya: “Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian …” (Q.S. An-Nur: 61).
Islam mengecam sikap dan tindakan diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. pada prinsipnya al-Qur’an memang memberikan perlakuan khusus terhadap orang secara fisik terbatas, tetapi dari keterbatasan itu sesungguhnya mereka memiliki lahan beribadah serta kontribusi aktivitas sosial yang sama luasnya serta juga dapat memberikan kemanfaatan terhadap orang banyak seperti manusia pada umumnya.
Q.S. An Nur ayat 61 ini juga menjadi indikator penghargaan Islam terhadap kelompok yang memiliki keterbatasan fisik. Hendaknya Kemampuan seseorang tidak hanya diukur dengan kesempurnaan fisik, melainkan banyak faktor lain yang turut menentukan. Oleh sebabitu, tidak ada pijakan teologis maupun normatif dalam Islam untuk mentoleransi tindakan diskriminatif terhadap siapapun. Termasuk para penyandang difabel
Difabel yang Sesungguhnya
Islam sebagai agama yang rahmatan lil `alamin dapat mewujud dan ada dalam bentuk kepedulian yang menyelimuti masyarakat luas. Penting untuk digarisbawahi bahwa kelompok difabel bukanlah kelompok yang mesti dimarjinalkan. Apalagi dianggap sebagai kutukan serta pembawa aib dalam keluarga dan masyarakat.
Jika dahulu masyarakat Arab Jahiliyah menempatkan kelompok difabel dalam status sosial rendah, disebabkan persepsi bahwa kesempurnaan fisik sebagai hal utama guna mempertahankan ego dan kehormatan suku tertentu. Maka Islam datang untuk menghapus stigma tersebut dan bahkan berbalik melabeli orang yang cacat teologisnya sebagai difabel yang sesungguhnya. Tidak mau beribadah kepada Allah swt, serta hidupnya banyak merugikan sesama manusia. Meskipun secara fisik semua yang mereka miliki berfungsi dengan baik, namun yang menjadi value tambahan di hadapan Allah. Kemampuan dan kesempurnaan itu untuk mengambil manfaat yang bermuara pada tauhidullâh.
Dengan kata lain, Islam memandang setara seluruh umatnya. Islam sendiri lebih menekankan pengembangan karakter dan amal shaleh, daripada melihat persoalan fisik seseorang. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadikan persoalan keterbatasan fisik sebagai sebuah masalah atau problem, tapi justru sebagai tangga atau batu pijakan bagi tercapainya derajat yang tinggi.
Karena kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah, melainkan kebersihan hati dan kekuatan iman kepada-Nya. karena sesungguhnya yang membedakan derajat manusia satu dengan yang lain dihadapan allah adalah bukan bagaimana kondisi fisik nya namun nilai ketakwaannya.
Nilai-nilai ini menjadi landasan atau dasar perlindungan terhadap hak-hak kaum difabel. Harapannya, sikap dan perilaku diskriminatif kepada mereka pun bisa diminimalisir. Kaum difabel berhak mendapatkan sikap dan perilaku yang manusiawi, tidak terkecuali akses yang mudah untuk beribadah.
Hal ini dipertegas dalam sebuah sabda Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Mâjah
عَنْ أَبِ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَ يَنْظُرُ إِلَ صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَ قلُُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan hartamu, akan tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu”.
Begitulah Islam lebih menekankan pentingnya amal atau perbuatan-perbuatan baik. Hal ini bisa dimaklumi, karena Islam sendiri merupakan kesatuan antara amal dan iman yang tidak bisa dilepaskan.
***
Selain itu, dalam khazanah kajian-kajian ilmu keislaman, khususnya tafsir al-Qur’an, selama ini belum tampak perhatian khusus terkait persoalan penyandang cacat ini. Barangkali salah satu faktor yang menyebabkan minimnya kajian mengenai persoalan ini disebabkan minimnya pengkaji atau penafsir yang muncul dari kalangan penyandang difabel itu sendiri.
Hal ini menjadi penting juga pada kaum difabel. Seorang yang mempunyai keterbatasan fisik hendaknya difasilitasi. Ia berhak untuk mengawal, mengarahkan dan mengoreksi segala tindakan intoleransi yang terjadi demi kemaslahatan umat. Nantinya perlahan-lahan bisa melunturkan stigma atau bahkan tindakan diskriminatif yang masih acap kali terjadi di masyarakat. Agar umat Islam di Indonesia menjadi pelopor islam ramah dan sayang terhadap peyandang disabilitas.