Riset

Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Fisika Modern

4 Mins read

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah salah satu peristiwa mukjizat yang luar biasa. Dalam satu malam, Nabi Muhammad melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra’) dan melanjutkan perjalanan vertikal ke Sidratul Muntaha (Mi’raj). Peristiwa ini menembus batasan ruang, waktu, dan logika manusia. Jika dianalisis dengan perspektif ilmu fisika modern, terdapat kemungkinan bahwa Isra’ Mi’raj melibatkan fenomena yang jauh melampaui kapasitas teknologi dan teori fisika konvensional.

Kecepatan Cahaya

Albert Einstein melalui Theory of Relativity menyatakan bahwa tidak ada entitas material yang bisa melaju dengan kecepatan melebihi atau bahkan mencapai kecepatan cahaya 3 × 10⁸ m/s atau 299.792 km/s. Jika sesuatu melaju mendekati kecepatan cahaya, energi yang dibutuhkan menjadi tidak terbatas, dan waktu bagi pelaju tersebut akan melambat (time dilation).

Namun, kendati mungkin perjalanan Nabi Muhammad SAW dapat melibatkan kecepatan tinggi, penjelasan ini memiliki keterbatasan: Pertama, Waktu Terbatas. Meskipun dengan kecepatan cahaya, perjalanan semalam (kurang lebih 8 jam) tidak cukup untuk menjangkau alam semesta lain atau bahkan lintas galaksi. Diameter galaksi Bima Sakti diperkirakan sekitar 100.000 tahun cahaya.

Jika Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Bumi ke ujung galaksi Bima Sakti, jaraknya adalah sekitar 9,4 x 10¹⁷ km. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut dengan kecepatan cahaya adalah 100.000 tahun. Artinya, untuk sampai diujung galaksi Bima Sakti saja kita butuh 100.000 tahun dengan kecepatan cahaya (299.792 km/detik), padahal jagat raya yang sudah berhasil diamati oleh manusia terdiri dari ratusan bahkan jutaan galaksi (apakah berarti ini masih langit pertama?).

Kedua, Titik Tujuan Non-Material. Sidratul Muntaha tidak sekadar entitas fisik dalam semesta material, tetapi mungkin mengacu pada realitas non-material, melibatkan dimensi yang sepenuhnya berbeda dari konsep ruang dan waktu.

Baca Juga  Kecerdasan Manusia dan Dalil untuk Menyikapi Informasi

Kendaraan Buroq

Buroq, kendaraan yang membawa Nabi Muhammad SAW, digambarkan sebagai makhluk berbasis cahaya. Dalam pandangan ilmu pengetahuan, cahaya memiliki sifat dualitas (partikel dan gelombang) yang memungkinkan energi cahaya bergerak dengan kecepatan luar biasa. Jika Buroq dipahami sebagai entitas berbasis cahaya, maka ia beroperasi dalam dimensi yang berbeda dari materi biasa.

Lebih jauh, dalam Al-Qur’an, malaikat digambarkan memiliki “sayap” yang mengindikasikan kecepatan luar biasa. Kecepatan ini bisa dipahami sebagai kecepatan lebih tinggi dari cahaya (“supra-light speed”), yang berada di luar jangkauan kemampuan teknologi manusia saat ini. Konsep ini juga didukung oleh teori relativitas Einstein, yang menyatakan bahwa benda dengan massa nol, seperti foton (partikel cahaya) dapat bergerak dengan kecepatan cahaya tanpa batasan energi.

Alternatif Pertama: Wormhole

Dalam surat An-Najm (53:1-18), dijelaskan bagaimana Nabi Muhammad SAW diperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat tersebut menyiratkan keterlibatan dimensi yang melampaui persepsi fisik manusia biasa. Fenomena ini mirip dengan konsep wormhole atau lubang cacing dalam fisika teoretis, di mana perjalanan antar-dimensi atau melintasi ruang-waktu secara instan menjadi mungkin.

Teori fisika modern memberikan konsep alternatif seperti wormhole atau jembatan Einstein-Rosen. Wormhole memungkinkan perjalanan instan melalui shortcut antar-dimensi ruang-waktu karena alternatif ini menghubungkan dua lokasi yang berjauhan di alam semesta. Penemuan ini bukan lagi sekadar teori fiksi ilmiah, tetapi memiliki landasan teoritis dari relativitas umum Einstein, meskipun belum dapat dibuktikan secara empiris. Dalam konteks Mi’raj, portal wormhole bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad:

Pertama, Melintasi Dimensi Lain. Dalam tradisi Islam, langit yang dimaksud mungkin tidak bersifat fisik melainkan lapisan dimensi yang bertingkat, seperti multiverse. Kedua, Pertemuan dengan Para Nabi. Jika alam semesta ini adalah bagian dari multiverse, kemungkinan adanya dunia atau realitas di mana para nabi sebelumnya tetap “hidup” sesuai kehendak Allah bisa diterima secara konseptual.

Baca Juga  Klaim “Umat Terbaik” yang Disalahgunakan

Alternatif Kedua: Mesin Waktu

Isra’ Mi’raj tidak hanya melibatkan perjalanan horizontal dari Mekah ke Yerusalem, tetapi juga perjalanan vertikal menuju Sidratul Muntaha. Hal ini seolah menggambarkan Nabi Muhammad SAW keluar dari dimensi ruang-waktu linear dan memasuki dimensi non-linear atau melakukan perjalanan ke masa lalu atau masa depan.

Dalam konteks ini, konsep mesin waktu relevan untuk menjelaskan bagaimana Nabi SAW bisa bertemu dengan nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Adam, Nabi Musa, dan Nabi Isa, meskipun mereka telah meninggal. Selain itu juga, Nabi Muhammad ditunjukkan siksaan di neraka yang mengasumsikan bahwa beliau juga melakukan perjalanan ke masa depan.

Surat An-Najm ayat 14-18 menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diperlihatkan “tanda-tanda yang sangat besar”. Hal ini menunjukkan keterlibatan dimensi yang tidak terikat oleh waktu sebagaimana manusia pahami. Dalam dimensi ini, masa lalu, masa kini dan masa depan bisa saling terhubung. Teori relativitas waktu mendukung kemungkinan ini, di mana kecepatan tinggi atau gravitasi ekstrem dapat memengaruhi jalannya waktu.

Alternatif Ketiga: Langit Ketujuh dan Multiverse

Langit yang dijelaskan dalam Isra’ Mi’raj bisa dianalogikan dengan hipotesis multiverse, yaitu teori yang menyatakan bahwa alam semesta kita hanyalah satu di antara banyak alam semesta yang eksis. Menariknya, para nabi terdahulu seperti Nabi Musa dan Nabi Isa, yang telah meninggal dalam dimensi dunia kita, bisa jadi masih eksis dalam dimensi lain.

Bukti pendukung dari fisika modern: Pertama, Teori String. Menyatakan adanya dimensi ekstra di alam semesta yang tak bisa kita pahami atau akses dalam kondisi normal. Kedua, Quantum Mechanics. Partikel bisa berada di dua lokasi sekaligus (quantum superposition), yang membuka peluang adanya fenomena “keberadaan simultan” dalam dimensi berbeda.

Baca Juga  Ibn Haitsam, Filsuf Muslim yang Terlupakan

Dimensi Metafisika dalam Isra’ Mi’raj

Selain sains modern, penting untuk mencatat bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tidak bisa sepenuhnya dijelaskan melalui fisika atau teknologi konvensional. Mukjizat sifatnya melebihi akal manusia. Namun, sebagai Muslim yang memahami bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran, pendekatan ilmu tidak mengurangi iman, tetapi memberikan rasa kekaguman yang lebih besar kepada Sang Pencipta.

Al-Qur’an menyatakan:

سُبْحَانَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Artinya: “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1).

Meskipun masih menjadi misteri, fenomena ini memperlihatkan luasnya kuasa Allah SWT yang menciptakan langit, bumi, dan dimensi yang tak terjangkau logika manusia. Studi semacam ini membuka peluang bagi umat Islam untuk merenungkan hubungan sains dan agama, memahami alam semesta dan menjelajahi ilmu untuk menambah keyakinan. Dengan demikian, sains modern bukan menjadi alat untuk menafikan mukjizat, tetapi memperkuat keimanan. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

M Ainul Yaqin Ahsan
5 posts

About author
Penulis dan Pegiat Literasi Minat Kajian Keislaman, Politik, dan Sosial
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds