Perspektif

Isra Miraj: Dari Tuhan Menuju Manusia

3 Mins read

Oleh : Ilham Sopu

Islam itu agama kemanusiaan, ajaran Islam yang datangnya dari Tuhan, itu diperuntukkan untuk manusia. Seluruh ajaran agama tidak satupun bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan. Tuhan sudah mengukur kemampuan manusia dalam menerima ajaran ajaran yang dia turunkan. Dan Tuhan juga sudah memberikan fasilitas kepada manusia untuk menerima ajaran ajaran dari Tuhan.

Dimensi-dimensi ajaran Islam yang berasal dari Tuhan mempunyai  nilai nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Ajaran Islam itu tergambar dalam ajaran salat yang disimbolkan dengan takbir dan salam, bahwa takbir itu tidak bisa dipisahkan dari salam. Takbir di permulaan salat adalah simbol bahwa kita berasal dari Tuhan, dan salam diakhir salat bahwa manusia itu menyebarkan nilai nilai ketuhanan dalam kehidupan kemanusiaan.

Agama Manusia

Jadi agama itu diturunkan oleh Tuhan untuk kepentingan kemanusiaan. Nilai-nilai takbir hendaklah berbuah untuk keselamatan kemanusiaan, kita berangkat dari Tuhan dan menyebarkan virus ketuhanan, supaya nilai nilai kemanusiaan terbimbing dalam bingkai ketuhanan. Bukan takbir untuk menghancurkan seperti yang dilakukan oleh komunitas tertentu, itu bertentangan dengan esensi dari takbir.

Takbir itu harus mengandung keselamatan baik diri sendiri maupun orang lain. Bacaan takbirlah yang mendominasi dalam kegiatan shalat, perpindahan dari satu posisi ke posisi yang lain senantiasa disertai dengan bacaan takbir.  Ini artinya bahwa Tuhan itu sangat dekat dengan kita. Bahwa mengingat Tuhan tidak mengenal tempat, berdiri, duduk, maupun dalam keadaan berbaring seharusnya keberadaan senantiasa kita rasakan kehadirannya.

Namun demikian di akhir salat disimbolkan dengan salam. Ini artinya bahwa kedekatan dengan Tuhan lewat simbol takbir harusnya teraktualisasi dalam hubungan yang baik dengan sesama manusia lewat simbol salam. Takbir dan salam itulah inti dari shalat. Semakin banyak kita bertakbir seharusnya semakin terimbas dalam kehidupan sosial sehari hari.

Baca Juga  Ingat Ibadah Ritual, Jangan Lupa Ibadah Sosial!

Takbir yang tidak punya imbas ke aspek sosial, itulah yang disindir Tuhan dalam surah al maun, “Maka celakalah orang yang shalat, yakni orang orang yang lalai dalam shalatnya” (QS. Almaun: 4 – 5).

Salah satu bentuk penafsiran dari ayat ini adalah tidak nyambungnya antara simbol takbir dan simbol salam. Takbir jalan tapi taslim mandeg itu adalah salah satu bentuk dari “lalai dalam shalatnya”. Jadi kalau kita analisa salat ini bagaimanapun kalimat takbir itu mendominasi kegiatan shalat kita dari awal sampai akhir, tapi kalau akhir dari salat itu yakni salam tapi tidak terimplementasi dalam aktivitas sosial yang baik antar sesama, maka takbirnya itu muspra, tapi sandaran dari salam itu haruslah mengacu kepada takbir.

Sebab nilai nilai kemanusiaan mestilah terbingkai dalam bingkai ketuhanan. Kemanusiaan yang terputus dari mata rantai ketuhanan akan menjadi liberalisme atau terputus dari bingkai moral.

Isra Miraj

Itulah sebenarnya yang menjadi inti dari isra miraj, bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan nilai ketuhanan itu menyatu dalam diri Nabi. Oleh sebab itu dalam peristiwa isra miraj yang dimulai isra’,  peristiwa horizontal atau perjalanan yang sifatnya mendatar. Perjalanan yang sifatnya horizontal ini, memuat nilai-nilai spritual menjadi bagian dari perjalanan. Karena awal dari perjalanan ini dimulai dari Masjid al-Haram di Makkah.

Simbol masjid sebagai tempat pemberangkatan dalam peristiwa isra‘ membuktikan bahwa sebuah perjalanan hendaklah diawali dengan nilai nilai ketuhanan yang dilambangkan masjid sebagai simbol pemberangkatan. Kemudian yang menjadi tujuannya adalah Masjid al-Aqsa, perjalanan isra‘ itu adalah perjalanan dari masjid ke masjid.

Ini artinya  perjalanan isra itu yakni perjalanan yang dalam bahasa Qur’an adalah perjalanan “yang diberkati”. Karena perjalanan itu berangkat dari masjid menuju masjid, yakni dari Masjid al-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina. Perjalanan yang diberkati seperti ini, Tuhan akan memperlihatkan ayat ayatnya atau kekuasaannya kepada hambanya yang betul-betul melibatkan Tuhan dalam perjalanannya. Menurut bahasa al-Qur’an “Linuriyahu min ayatina”. Perjalanan yang diberkati dan Tuhan memberikan kekuasaannya itulah yang akan mengangkat seorang hamba untuk sampai kepada Tuhannya.

Baca Juga  Bu Tejo, Kelompok Radikal, dan Hari Asyura

Perjalanan menuju Tuhan adalah perjalanan suci, berangkat dari tempat yang suci menuju ke tempat yang suci. Banyak keajaiban-keajaiban yang diperlihatkan oleh Tuhan kepada Nabi, di antaranya dipertemukan oleh nabi nabi sebelumnya. Ini adalah berkah dan kekuasaan Tuhan, disebabkan karena perjalanan yang dilakukan oleh Nabi adalah perjalanan suci.

Setelah perjalanan yang sifatnya horizontal, dengan mudah kita bisa melakukan perjalanan yang sifatnya vertikal, atau mi’raj kepada Tuhan. Dalam peristiwa mi’raj Nabi sampai ke Sidratul Muntaha, atau pohon sidratul muntaha, yang terletak diatas langit ketujuh, berdekatan dengan surga. Sidratul Muntaha itu secara bahasa berarti “pohon lotus pada batas yang terjauh”. Atau secara simbolik adalah lambang kebijakan tertinggi dan terakhir yang dapat dicapai seorang manusia pilihan.

Kebahagiaan Nabi

Menurut Nurcholish Madjid yang biasa disapa Cak Nur, Nabi telah sampai ke Sidratul Muntaha artinya Nabi telah mencapai kebijakan atau wisdom tertinggi yang pernah dikaruniakan Tuhan kepada hamba atau makhluk-nya. Nabi telah mencapai tingkat kedamaian, ketenangan dan kemantapan batin yang tertinggi, yang tidak didapat oleh siapapun yang lain.

Oleh sebab itu, pasca isra dan mi’raj Nabi menjadi semakin mantap dalam perjuangannya. Setelah sebelumnya mengalami ujian demi ujian ketika istrinya dan kakeknya dipanggil oleh Tuhan sehingga pada tahun disebut sebagai tahun kesedihan.

Sekalipun Nabi mengalami suatu kedamaian dan ketenangan karena mencapai suatu puncak kebahagiaan, bertemu dengan Tuhannya di Sidratul Muntaha, namun Nabi bukanlah manusia yang egois dalam beragama. Nabi tidak ingin berlama lama menikmati kenikmatan di Sidratul Muntaha. Nabi ingin cepat cepat kembali untuk menemui umatnya. Nabi sangat rindu untuk mendistribusikan kebahagiaan yang telah dicapai ketika berada di Sidratul Muntaha.

Baca Juga  Hyperthymesia, Obat Vital Untuk Penegak Hukum Indonesia

Nabi ingin membahagiakan umatnya, pengalaman-pengalaman Nabi dalam ber-isra miraj adalah pengalaman yang sangat berharga. Nabi tidak mau pengalaman yang berharga tersebut, hanya dia yang menikmatinya.

Itulah ajaran islam yang mempunyai banyak simbol, tetapi beragama itu tidak boleh berhenti pada simbol. Simbol itu penting tetapi yang lebih penting dari pada itu bagaimana menerjemahkan simbol dalam realitas keseharian.

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds