Perspektif

Amerika dalam Pusaran Konflik Israel-Palestina

4 Mins read

Nasib Palestina yang paling utama ada di tangan Amerika Serikat. Begitu kesimpulan Duta Besar RI untuk Lebanon Hajriyanto Y Tohari dan Wakil Duta Besar RI untuk Mesir M. Aji Surya dalam diskusi bertema “Antara Amerika-Israel dan Palestina” yang diselenggarakan Departemen Antarbudaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (19/5/2021). Sebelumnya, juru bicara Menteri Luar Negeri China, Zhao Lijian meminta Amerika tidak memihak dan tidak menghalangi DK PBB mengakhiri konflik Palestina-Israel (Assosiated Press, 17/5/2021).

Pernyataan itu didukung banyak fakta. Mulanya, Israel dianggap piece of cake, sendirian di tengah kepungan negara-negara Arab. Bahkan, Presiden Mesir Anwar Sadat pernah berujar, “If Israel wishes to treaten war, we tell her: ahlan wa sahlan.” Baru setelah Perang 6 Hari pada 5-10 Juli 1967, negara-negara Arab mulai sadar bahwa Israel bukan kekuatan yang remeh. Kekalahan Arab dalam perang ini meruntuhkan moral bangsa Arab.

Israel menjadi sangat kuat karena didukung penuh oleh kekuatan adidaya tunggal, Amerika Serikat. Empat jam setelah deklarasi berdirinya negara Israel, Amerika langsung memberi pengakuan. Sejak itu, Amerika sangat setia memberi proteksi dan memenuhi berbagai keinginan Israel yang telah menjadi mitra paling setia di Timur Tengah, seperti keinginan menjadikan Yerussalem sebagai ibukota. Di Amerika, Yahudi juga menjadi kekuatan lobi yang cukup kuat.

Amerika punya kepentingan besar di Timur Tengah, antara lain untuk mengamankan akses atas cadangan minyak, mengamankan pasar senjata, dukungan dan proteksi terhadap Israel, pengamanan pangkalan militer Amerika di Timur Tengah, memperkuat rezim berkuasa di negara Arab supaya tetap menjadi aliansi setia Amerika, dan membendung gerakan terorisme Islam.

***

Perang 6 Hari menjadi titik balik keterlibatan Amerika secara lebih intens di Timur Tengah. Perang 6 Hari melibatkan Israel yang didukung blok Barat pimpinan Amerika Serikat melawan Arab (Mesir, Suriah, Yordania) yang didukung blok Timur Uni Soviet. Perang 132 jam itu menyebabkan korban jiwa 20.000-an dari pihak Arab dan 800-an dari Israel. Ratusan ribu penduduk Palestina menjadi pengungsi.

Baca Juga  Haedar Nashir : Virus Pro-Israel Jangan Sampai Menular

Perang ini menyebabkan hilangnya Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, West Bank, Yerussalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Israel meluaskan wilayahnya berpuluh kali lipat, termasuk sebagian Terusan Suez. Padahal Terusan Suez punya makna sangat penting sebagai penghasil devisa bagi Mesir, menghubungkan Timur dan Barat yang merubah peta hubungan internasional sejak 1869.

Kemenangan Amerika-Israel semakin telak ketika pada Juli 1972, Anwar Sadat meminta Soviet hengkang dan menarik pasukannya dari Mesir, karena telah gagal dan tidak memenuhi komitmen memasok senjata bagi Mesir. Situasi serta krisis ekonomi Mesir pasca perang dan hilangnya Suez, memberi sinyal bagi Amerika untuk masuk.

Anwar Sadat sadar bahwa cara mengembalikan Terusan Suez adalah melalui diplomasi dan normalisasi hubungan dengan Israel. Pada 26 Maret 1979, Anwar Sadat dan Menachem Begin yang ditengahi Jimmy Carter menandatangani Camp David Accords di Gedung Putih. Hasilnya, Mesir mendapatkan kembali Semenanjung Sinai, tetapi harus mengakui kedaulatan Israel dan menjalin hubungan diplomatik. Sadat menjadi pimpinan Arab pertama yang berkunjung ke Israel pada 19 November 1977. Amerika menggelontorkan bantuan dana yang sangat besar kepada Israel dan Mesir untuk bidang ekonomi dan militer.

***

Camp David membuat Sadat dan Begin dianugerahi Nobel Perdamaian. Konsekuensinya, Mesir yang dulunya menjadi pemimpin Arab melawan Israel, kini dikeluarkan dari Liga Arab. Liga Arab memindahkan markasnya dari Kairo ke Tunis.

Krisis politik internal terjadi, Mesir menangkap 1.500-an yang diduga ingin melakukan makar, terutama kelompok Egyptian Islamic Jihad. Pada 6 Oktober 1981, Anwar Sadat terbunuh oleh anggota Jihad Islam Mesir yang menyusup dalam sebuah parade militer memperingati Perang Yom Kippur.

Tahun 2011, hubungan Mesir dan Israel sempat surut pasca penggulingan Hosni Mubarak dan naiknya Morsi dari Ikhwanul Muslimin. Setelah Jenderal Al-Sisi (yang antara lain didukung Israel) mengkudeta Morsi, hubungan Mesir-Israel kembali pulih. Di 2015, Mesir memilih Israel untuk menjadi anggota komite PBB. Pada 2016, Menlu Mesir berkunjung ke Israel.

Baca Juga  Prof Baroroh Baried (7): Wanita dan Etos Kerja

Keberhasilan Amerika mensponsori perdamaian Israel-Mesir, diterapkan pada negara Arab lainnya. Pada 24 Oktober 1994, Yordania-Israel mengadakan perjanjian dan kerjasama ekonomi, Wadi Araba Treaty. Bill Clinton menengahi Raja Hussein dan PM Yitzhaj Rabin (Rabin pernah menjadi komandan pasukan yang merebut Tepi Barat dalam Perang 6 Hari). Hasilnya, Israel mengakui peran historis Jordania di situs suci Yerussalem. Israel sepakat memberi 50 juta meter kubik air tiap tahun dan menyerahkan 75 persen kepemilikan air Sungai Yarmuk (sebagian besar sumber air Yordania dikuasai Israel pasca Perang 6 Hari).

***

Pada 15 September 2020, ditandatangani Abraham Accords Peace Agreement antara Bahrain, Uni Emirate Arab, dan Israel. Bahasannya terkait dengan kerjasama ekonomi, keamanan, stabilitas kawasan, dan penundaan ekspansi Tepi Barat. UEA dan Bahrain punya ambisi menjadi negara besar. Dengan Abraham Accords yang ditengahi Donald Trump, mereka berharap sokongan alutsista dari Amerika, terutama pesawat F-35 Strealth Fighter dan pesawat listrik Jest EA-185. UEA dan Bahrain juga mengincar potensi turis Israel dan perdagangan bebas dengan Israel sebagai pemain besar eknonomi dan teknologi global.

Pada 23 Oktober 2020, terjadi Israel-Sudan Normalization Agreement, yang antara lain: Amerika menghapus Sudan dari list negara teroris, Sudan menjadi negara penerima bantuan Covid-19, pemutihan utang bilateral USD 111 juta, dana talangan USD 120 juta untuk membayar hutang IMF. Hingga 2022, Amerika menyiapkan dana USD 700 juta untuk pemulihan ekonomi Sudan.

Pada 22 Desember 2020, terjadi Israel-Marocco Peace Deal, yang juga difasilitasi Amerika. Hasilnya, Amerika mengakui klaim kedaulatan Maroko atas Sahara Barat, Amerika mendorong otonomi wilayah Sahara Barat di bawah Maroko, yang sebelumnya dikuasai oleh kaum pemberontak, Amerika membuka Konsulat di Sahara Barat dan siap memperjuangkan Maroko di forum internasional.

Baca Juga  Blessing in Disguise, Hikmah Peniadaan Haji di Indonesia

***

Ketergantungan pada kekuatan adidaya telah membuat banyak negara Middle East dan North Africa melunak. Masing-masing negara memanfaatkan momentum normalisasi hubungan dengan Israel-Amerika. Situasi ini membuat Israel lebih stabil dan sudah hampir tidak punya musuh, pertumbuhan ekonominya membaik. Sementara negara-negara Arab yang telah melakukan normalisasi juga merasa aman, berteman dengan super power, dan menerima kucuran dana berlimpah.

Jika ada keinginan, Amerika sebagai pelaku dan broker di balik berbagai normalisasi hubungan Arab-Isarel, tampaknya mudah saja mendamaikan Israel-Palestina melalui solusi dua negara. Dunia berharap nasib Palestina kepada Amerika, bukan kepada Arab. Negara Arab tidak lagi memandang Palestina sebagai prioritas politik luar negerinya, zionisme Israel bukan lagi ancaman bagi Arab. Alasan lainnya, Amerika adalah satu negara yang bertindak dengan kehendak tunggal, sementara Arab terdiri dari 23 negara yang punya beragam kepentingan politik dan saling bersaing.

Jalan diplomasi antara Israel dan Palestina sebenarnya telah pernah terjadi, tetapi berulang kali Israel melanggar dan membatalkan perjanjian secara sepihak. Ketika Israel membatalkan perjanjian, Amerika sama sekali tidak bereaksi dan seolah memberi restu. Amerika dan Israel dengan leluasa melanggar hukum internasional seperti: keputusan LBB No. 181 (1947) tentang kota suci tiga agama; DK PBB No. 242 (1967); dan kesepakatan Oslo (1993).

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, wartawan Suara Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds