Al-Qur’an memuat redaksi istifham. Redaksi ini dituturkan dalam bentuk kata tanya atau kalimat pernyataan. Banyak ayat yang menggunakan redaksi ini. Kita bisa menemukannya dalam huruf hamzah, kata ma, aina, dan kata yang lainnya.
Apa Itu Istifham?
Muhammad Ali Yusuf dalam tulisannya berjudul Uslub al-Istifham fi al-Qur’an (2020) menyebutkan tidak kurang dari 1260 bentuk pertanyaan yang ada dalam al-Qur’an. Kebanyakannya menuturkan pertanyaan Allah kepada hamba-Nya. Dalam hasil riset lainnya, ada pula penuturan makhluk yang mempertanyakan kepada Allah, seperti pertanyaan malaikat kepada-Nya terkait penciptaan khalifah di muka bumi.
Kalimat istifham dalam bahasa Arab digunakan untuk menanyakan sesuatu yang belum diketahui. Secara definitif masih menurut Muhammad Ali Yusuf (2020) seolah istifham dimaknai engkau bertanya tentang sesuatu yang tidak diketahui, sehingga istifham dimaknai meminta pengetahuan kepada pihak lain.
Dalam konteks pembelajaran, pertanyaan bisa menunjukkan tingkat berpikir lebih lanjut. Sebab, ketika sesuatu dijelaskan, terkadang mendorong seseorang untuk bertanya. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika sesuatu itu baru dan belum diketahui secara utuh oleh penanya.
Secara tekstual, hal ini dicontohkan dalam al-Qur’an pada QS. al-Qari’ah ayat 1 sd 3. Al-Qari’ah adalah gambaran hari kiamat. Akan tetapi yang digunakannya adalah lafal al-Qari’ah (hari kiamat yang menggetarkan) bukan al-qiyamah. Seolah Allah memberitahukan nama baru bagi gambaran kiamat. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan apa itu al-qari’ah dan apa yang kamu ketahui tentang al-qari’ah. Pertanyaan ini muncul setelah penjelasan tentang penyebutan al-qari’ah di awal surah.
Satu pertanyaan ke pertanyaan lain menunjukkan keseriusan penanya akan hal yang ingin diketahui. Dalam kontruks pembelajaran, hal ini selaras dengan berpikir kritis. Glaser (2017) pernah menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah analisis terhadap fakta, bukti, pengamatan, dan argumen yang tersedia untuk membentuk penilaian dengan penerapan analisis dan evaluasi yang rasional, skeptis, dan tidak bias.
Berpikir kritis dianggap penting dalam pendidikan untuk memungkinkan seseorang menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, dan merestrukturisasi pemikiran, sehingga memastikan tindakan berpikir tanpa keyakinan salah. Memperhatikan penelitian dalam psikologi kognitif, beberapa pendidik percaya bahwa sekolah harus fokus pada siswa untuk melatih keterampilan berpikir kritis, seperti yang pernah dikemukan oleh Judy E Duchscher (1999).
Contoh pada Surah Al-Baqarah ayat 30
Dalam konteks tafsir tarbawi, ada beberapa ayat yang bisa dijadikan bahan untuk isyarat berpikir kritis. Salah satunya adalah penjelasan tentang malaikat yang mempertanyakan mengapa Allah akan menjadikan khalifah di bumi. Hal ini bisa dilihat dalam QS. al-Baqarah: 30.
Isyarat ini dapat diperhatikan pada pernyataan, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” (al-Qur’an Kemenag, 2022)
Dalam rangkaian pernyataan ini dapat diklasifikasikan dua hal. Pertama, pengetahuan yang diberitakan adalah penciptaan khalifah di muka bumi ( اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً). Pernyataan ini disuguhkan oleh Allah kepada malaikat (لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ). Hal ini menggambakan fakta atau fenomena yang akan menjadi bahan pertanyaan. Seolah malaikat “heran” Allah menyatakan akan diciptakannya khalifah di muka bumi.
Kedua, pertanyaan terhadap objek yang diberitakan. Hal ini ditemui dalam redaksi “Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” (قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ). Pernyataan ini mengisyaratkan pertanyaan yang bukan hanya apa itu khalifah tetapi beranjak kepada mengapa khalifah yang baru diciptakan, bukan mereka yang sudah lama.
Rangkaian makna seperti ini menyuguhkan kritis dalam mengaitkan objek pada rangkaian pertanyaan dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Kata istifham menggunakan hamzah (اَ) yang dirangkai dengan fi’il mudhari’ yang menunjukkan makna “akan/hendak” menjadikan (تَجْعَلُ).
Obyek atau materinya disebutkan. Sementara pertanyaannya berkaitan dengan apakah Allah hendak menjadikan khalifah sementara mereka akan merusak dan menumpahkan darah di sana. Yang dibahas di sini bukan sisi makan mengapa Allah menjadikan khalifah. Akan tetapi yang difokuskan adalah isyarat pertanyaan untuk berpikir kritis. Apa isyarat pernyataan di atas untuk berpikir kritis?
Berpikir kritis tidak lepas dari obyek yang diketahui dari awal meskipun masih dalam tahap tahu teks, lafal, atau berita tertentu. Berpikir kritis diawali dengan paparan konseptual tentang sesuatu yang ketika dibedah dan diperdalam akan dilahirkan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam ayat di atas, fakta yang disebut adalah khalifah di muka bumi.
Pertanyaan hakikatnya mengaitkan apa yang awalnya diketahui dengan apa yang belum diketahui. Proses yang dibangunnya adalah mempertanyakan. Pertanyaan seolah menjadi jembatan penyampai untuk mengetahui sesuatu yang awalnya tidak diketahui. Kalimat “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana”, seolah mengisyaratkan penjamahan informasi lanjut melalui pertanyaan terkait obyek, yaitu khalifah. Hal ini tentu dimaknai adanya rangkaian pengetahuan tentang obyek kepada pengetahuan lain yang dipertanyakan.
Kalimat “apakah engkau hendak menjadikan” dapat dimaknai kritis dalam pertanyaan. Mengapa? Yang memberitahukannya adalah Allah, sementara malaikat adalah makhluk. Dalam hal ini seolah makhluk mempertanyakan kehendak Allah. Ini yang dipaparkan secara tekstual pada ayat ini. Akan tetapi, yang dibahas di sini bukan sikap malaikat terhadap Allah melainkan corak pemaparan istifham yang diilustrasikan oleh malaikat terhadap obyek yang diberitakan yaitu khalifah.
Pertanyaan malaikat yang diilustrasikan pada ayat tersebut tidak berhubungan dengan apa itu khalifah, siapakah ia, dan bagaimana dibuat oleh Allah. Pertanyaan mereka cenderung pada tingkat lebih lanjut yaitu mengapa Allah menjadikan mereka. Sebagaimana diketahui, pertanyaan dengan makna mengapa meskipun menggunakan hamzah (اَ) lebih tinggi bobotnya dibanding dengan pertanyaan apa.
Paparan ini meneguhkan bahwa al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang berpikir kritis. Kalimat yang dapat dijadikan contoh adalah pernyataan tentang pertanyaan malaikat kepada-Nya terkait penciptaan khalifah.
Contoh ayat ini mengisyaratkan bahwa pengembangan keterampilan berpikir kritis sangat penting dalam pembelajaran. Kita semua perlu menjadi pemikir kritis untuk membantu mengarahkan informasi yang benar pada dunia yang kaya informasi. Wallahu A’lam.
Editor: Soleh