Sesungguhnya kata radikalisme atau extremisme bukan baru dan asing. Bahkan dalam ajaran agama, hal ini sejak awal telah diingatkan. Dalam Al-Qur’an misalnya disebutkan, “Wahai Ahli Kitab, jangan kamu berlebihan dalam agamamu”.
Arti “al-ghuluw” atau berlebihan pada Surah 4 atau 171 itu adalah melebih-lebihkan dari makna sebenarnya. Isa (alaihis salaam) misalnya dilebihkan posisinya dari posisi manusia ke posisi “Tuhan”.
Intinya, radikalisme itu adalah keluar dari batas-batas (al-huduud) yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Menjalankan ajaran agama pada baras-batas yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dengan penuh sungguh hati dan komitmen, justru itu memang tuntutan dan tuntunan agama.
Di sinilah kita seringkali melihat ada klaim-klaim radikalisme yang membingunkan (confusing) dan menyesatkan (misleading). Karena pertama, tidak jelas arah dan defenisinya. Dan kedua, seringkali pelemparan itu secara konotasi penuh dengan nuansa politik dan kepentingan.
Kata Radikalisme dan Ekstremisme yang Kembali Populer
Kata radikal-isme atau ekstrem-isme kembali dipopulerkan oleh Bush Jr. pasca peristiwa 9/11 di tahun 2001 yang lalu di Amerika Serikat. Walaupun Islam memang sejak lama dikonotasikan sebagai agama radikal dan teror, peristiwa 9/11 itu seolah menemukan justifikasinya.
Kebijakan-kebijakan yang kemudian diambil oleh Presiden Bush ketika itu, termasuk peperangan yang disebut “war on terror” (peperangan kepada terror) menjadi justifikasi atau pembuktian tentang kebijakannya yang memang memerangi Islam atau dunia Islam.
Peperangan kepada Afghanistan mendapat justifikasi karena memang bertujuan memberantas kekuatan Al-Qaida pimpinan Osama bin Laden. Tapi yang terjadi kemudian adalah pengambilalihan pemerintahan Afghanistan dengan menempatkan boneka Amerika, Khalmai KhaliZad, yang mengendalikan pemerintahan di Afghanistan.
Peperangan kepada Islam semakin terbuka ketika Amerika kemudian memaksakan perang kepada Irak atas tuduhan mengembangkan senjata kimia. Bahkan dituduh melindungi Al-Qaida. Kesemuanya di kemudian hari terbukti hanya kebohongan yang dipaksakan untuk membenarkan serangan militer Amerika ke Irak.
Kata radikal juga diadopsi oleh beberapa pemimpin dunia untuk menekan mereka yang dianggap bersebelahan. Termasuk para pemimpin yang justru bermusuhan dengan Bush Jr. sendiri, seperti Saddam, Qaddafi, maupun Bashar Al-Asad.
Kata radikal atau terroris itu bahkan menjadi senjata ampuh untuk membungkam mulut para oposisi di banyak negara. Hal yang paling menonjol saat ini di Timur Tengah, termasuk Saudi dan Mesir.
Radikal ala Menteri Agama RI
Hari-hari ini, di tanah air kembali terjadi perbincangan hangat tentang kata radikal di kalangan masyarakat, khususnya tokoh agama dan aktivis. Konon kabarnya, dipicu oleh pernyataan Menteri Agama RI tentang radikal beberapa hari lalu.
Menurutnya orang-orang radikal itu benihnya ada di masjid-masjid. Dan yang lucu lagi, disebutkan bahwa radikal itu boleh jadi justru Ustaz, para hafiz Al-Qur’an, dan juga “good looking” alias tampan.
Serentak, pernyataan ini mendapat respon keras dari banyak kalangan, termasuk dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo. Bahkan sebagian di berbagai media sosial membuat ragam lelucon tentang hubungan paras tampan dan radikalisme.
Sejak dilantik menjadi Menteri Agama RI, memang terasa jika Pak Menteri ini telah menjadikan isu radikalisme sebagai program prioritasnya. Sehingga seolah Kementrian Agama telah disulap menjadi Kementrian penanganan krisis radikalisme di tanah air.
Radikalisme Tak Hanya Bercokol di Agama Tertentu
Saya pribadi melihat jika negara ini memang perlu dan harus serius menangani kemungkinan tumbuhnya radikalisme. Sebab semua setuju Jika radikalisme memang bisa menjadi kanker bagi pembangunan sebuah bangsa. Bahkan radikalisme boleh jadi penyebab hancurnya bangsa tersebut.
Masalahnya adalah, seolah radikalisme yang digaungkan selama ini hanya di bidang agama saja. Dan lebih runyam lagi seolah tuduhan radikalisme agama ini tertuju kepada kelompok agama tertentu (baca Islam). Padahal sejujurnya, pada semua kelompok agama ada elemen-elemen yang memang radikal.
Selain itu, radikalisme juga mencakup seluruh aspek ideologi dan gaya hidup manusia. Bahkan ada tendensi terjadi radikalisme Pancasila. Yaitu membangun pemahaman tentang Pancasila di luar batas-batas ketentuan dan kewajaran.
Salah satu konsekwensi nyata dari radikalisme adalah perasaan paling hebat. Tidak jarang justeru terbangun keangkuhan. Radikalisme dalam beragama misalnya membangun sikap paling beragama dan angkuh dalam keagamaan.
Demikian juga radikalsime ideologi Pancasila justru mengantar kepada perasaan paling Pancasilais. Bahkan tumbuh sikap arogansi dengan aksi-aksi intimidasi kepada mereka yang dianggap kurang atau tidak Pancasilais.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa tuduhan atau minimal kecurigaan radikal kepada para Ustaz dan hafiz Al-Qur’an adalah kecurigaan yang boleh jadi justru juga salah satu bentuk pandangan radikal tanpa disadari.
Orang radikal itu selain merasa paling hebat, bahkan angkuh seperti yang saya sebutkan di atas, juga selalu curiga bahkan melihat orang lain sebagai ancaman. Apalagi jika orang lain itu memiliki penafsiran atau pandangan yang berbeda dari dirinya. Tentu termasuk penafsiran maupun pandangan politik dan kebijakan publik.
Menteri Agama Harus Kembali Ke Fungsinya
Akhirnya saya ingin mengingatkan, tentu saja dalam kapasitas saya sebagai bagian dari anak bangsa, agar kiranya Kementerian Agama kembali memposisikan diri pada posisi keagamaan.
Posisi keagamaan yang kita maksud tentunya adalah mengedepankan hati, akal, serta nilai kebenaran dan kedailan. Bukan tuduhan dan kecurigaan yang tidak logis dan tidak berdasar.
Selain itu Menteri Agama harusnya menyadari bahwa cara terbaik untuk menangani radikalisme di masyarakat bukan dengan pernyataan-pernyataan yang membingunkan, apalagi menyesatkan. Tapi melalui perbaikan mutu pendidikan.
Pertanyaan yang sesungguhnya perlu direspon oleh Menteri Agama adalah program apa yang telah dicanangkan sehingga mutu pendidikan di madrasah-madrasah atau pesantren-pesantren dapat dipastikan?
Untuk memastikan mutu atau kwalitas para mubalig dan penceramah misalnya, bukan sekedar dengan sertifikat. Tapi dengan meningkatkan pendidikan dan latihan kepada mereka. Jika perlu, Kementrian Agama memberikan beasiswa khusus kepada para mubalig dan da’i untuk melanjutkan pendidikan dan menambah wawasan.
Maka pak Menteri, berhentilah melemparkan kata dan wacana yang hanya menambah kekisruhan dan perdebatan. Bangsa ini sudah kenyang dengan hal-hal seperti itu. Masanya melakukan kerja nyata dan solusi yang benar, rasional, imbang, dan berkeadilan bagi seluruh bangsa. Semoga!