Oleh: Abdul Rasyid*)
Rasisme
Belakangan ini kasus rasisme yang terjadi di Surabaya cukup menggemparkan mIndonesia. Buntut dari kasus rasisme tersebut diikuti dengan aksi di berbagai daerah oleh Mahasiswa Papua dalam rangka menuntut keadilan dan pengutukanan tindakan perlakuan rasialisme.
Kemudian diikuti demontrasi besar-besaran di Manokwari dan Sorong. Kasus yang terjadi sangat mencekam karena terjadi di tengah perayaan ulang tahun negara ini yang ke 74 tahun. Namun suasana yang seharusnya diliputi dengan suka cita dan gegap gempita malah berujung mencekam dan mengerikan bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oknum Sebagai Penyulut Api Masalah
Kasus bermula ketika Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya didatangi oleh oknum tentara dan ormas karena diduga merusak tiang bendera dan dibuang ke dalam selokan. Motif tentara dan ormas mendatangi asrama dan berujung pada tindakan rasialisme karena mendapatkan foto dibuangnya bendera beserta tiangnya ke dalam got di depan Asrama Papua yang disebar melalui media WhatsApp.
Padahal, belum tentu sosok yang melakukan perbuatan tersebut adalah Mahasiswa Papua, bisa saja ada oknum yang sengaja merusaknya.
Faktanya masyarakat dan oknum tentara yang melihat foto tersebut langsung tersulut amarahnya. Karena dibalut dengan api amarah, kata-kata rasisme keluar secara serampangan yang tentunya membuat Mahasiswa Papua merasa semakin tersakiti.
Kejadian tersebut sangat disayangkan, mengapa tidak diselesaikan dengan cara yang bijak dan penuh keadaban. Bukankah mereka adalah bagian dari entitas masyarakat kita, Indonesia?
Bukankah mereka juga sebagai anak bangsa yang semestinya mendapatkan perlakuan yang sama. Perbedaan suku, ras, dan etnis rasanya tidak perlu dijadikan sebagai alat untuk membedakan status kita sebagai warga negara.
Jelas, perlakuan yang dilakukan oleh oknum tentara dan beberapa ormas sangat jauh dari keadaban moral. Padahal kasus tersebut bisa dibicarakan secara baik-baik, kenapa harus bersitegang dan sampai diterjunkan tentara bersenjata untuk mengamankannya. Sebegitu menakutkan dan mengancamkah keberadaan mereka?
Budaya untuk tabayun (klarifikasi) terhadap berbagai informasi yang beredar perlu di kedepankan agar masing-masing diri tidak gampang tersulut emosinya. Sehingga berujung pada tindakan amoral yang dapat merugikan diri, orang lain, atau bagi kerukunan hidup antar suku, ras, dan etnis. Semoga kasus tersebut dapat diselesaikan dengan baik agar persatuan dan kesatuan antar anak bangsa dapat terjalin kembali.
Dimana Peran Badan Eksekutif Mahasiswa ?
Isu tentang kemanusiaan, lebih-lebih seputar isu rasisme yang belakangan mencuat dan ramai diperbincangkan tampaknya tidak menjadi isu yang menarik dan seksi bagi BEM. Tampak memang sepi ruang-ruang diskusi untuk membicarakan soal rasisme di tengah persatuan dan kesatuan bangsa yang telah terjalin lama.
Dari sekian banyaknya perguruan tinggi negeri yang ada, hanya hitungan jari saja yang menaruh perhatian lebih terhadap isu ini. Entah mereka sedang apa dan ada di mana? Mungkin bagi BEM isu-isu politik seperti pemerintahan beserta kebijakannya dan pemilihan presiden lebih menarik dan seksi daripada isu kemanusiaan.
Mungkinkah BEM sedang disibukkan dengan pemilihan rektor dan penyambutan mahasiswa baru? Atau memang karena masa baktinya sebentar lagi selesai? Ataukah memang karena menganggap kasus ini sama sekali tidak penting? Entahlah. Bukan bermaksud apa-apa. Memang sangat sensitif untuk mengkaji atau membahas kasus ini karena kasusnya memang masih didalami oleh pihak yang berwenang.
Namun gejalanya sampai hari ini masih terasa, sampai-sampai Presiden harus turun gunung dalam menyelesaikannya. Mungkin tidak perlu sampai ada kajian yang serius untuk menyelesaikan problematika tersebut.
Paling tidak bentuk kepedulian, rasa kemanusiaan, lebih-lebih rasa persaudaraan sebagai mahasiswa bersama mahasiswa yang berasal dari Papua pun harusnya hadir.
BEM setidaknya tampil dan mengakomodasi semua mahasiswa dari berbagai daerah untuk bersama-sama memberikan dukungan moril. BEM jangan bungkam seribu bahasa dan menganggap semua sedang baik-baik saja.
Tidak. Kita bisa menyaksikan di berbagai daerah Ikatan Mahasiswa Papua melakukan aksi demonstrasi. Sebab mereka juga merasa tersakiti ketika saudaranya yang berasal dari Papua diperlakukan semena-mena, tidak manusiawi.
Perlunya kita sebagai mahasiswa, khususnya bagi BEM untuk menunjukkan sikap keberpihakannya kepada mereka sebagai wujud kepedulian, rasa persaudaraan, dan persatuan dan kesatuan antar anak bangsa.
Menolak segala bentuk rasisme dan rasialime yang terjadi kepada saudara kita. Sebab bukan tidak mungkin, Mahasiswa Papua di berbagai kampus negeri atau swasta merasakan tekanan psikis (mental) yang sama seperti saudara-saudaranya di luar sana yang keberadaanya seolah-olah tidak merasakan keamanan dan terancam.
Oleh karena itu, di sinilah dukungan moril perlu untuk diberikan agar mereka tidak merasa sendirian dan merasa tidak memiliki saudara yang berasal dari suku, ras, dan etnis yang berbeda dengannya. Kita disatukan atas nama bangsa Indonesia dengan keberagamannya, juga disatukan dalam satu almamater yang sama.
Bukankah hampir di setiap perguruan tinggi di seluruh penjuru daerah terdapat mahasiswa yang berasal dari Papua? Jika kampus adalah miniatur keberagaman Indonesia, tempat bertemunya antar anak bangsa dari Sabang hingga Merauke untuk bersama-sama belajar, memupuk rasa persatuan, persaudaran dan kesatuan bangsa demi keutuhan dan kemajuan bangsa di masa depan, lantas mengapa kita masih diam ketika melihat saudara kita terluka?
Perbedaan merupakan keniscayaan, segala bentuk tindakan rasisme dan rasialisme harus kita lawan! Bukankah negara ini didirikan oleh banyak perbedaan dan keberagaman yang kemudian menjadi kekuatan yakni persatuan dan kesatuan?
*Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Institut Pertanian Bogor